Jakarta - Di sebuah ruangan kecil yang menyerupai ruang rapat kantor, anak-anak itu menyanyikan lagu 'Naik Kereta Api' dengan logat yang terdengar lucu. Maklum, mereka tidak terbiasa dengan bahasa Indonesia. Dari kecil, mereka sudah menggunakan bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari. Di sekolah pun mereka menggunakan Inggris sebagai bahasa pengantar.
Anak-anak itu adalah keturunan orang Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat. Mereka sedang belajar Bahasa Indonesia melalui kursus yang diselenggarakan oleh Rumah Indonesia, sebuah yayasan di Washington DC yang didirikan oleh perempuan-perempuan Indonesia.
Kelas Bahasa Indonesia adalah salah satu kegiatan utama Rumah Indonesia, selain belajar membatik, story telling, dan pengenalan wayang dan gamelan.
“Rumah Indonesia berdiri bulan Agustus 2012. Tujuan kita adalah untuk menghimpun anak-anak yang salah satu atau kedua orang tuanya orang Indonesia supaya mereka lebih mengenal keindonesiaan mereka. Kelas Bahasa Indonesia adalah salah satu program utama kita,” kata Debbie Sumual-Patlis, salah satu pendiri Rumah Indonesia, kepada detikcom di Washington DC, Amerika Serikat, Sabtu (22/11/2014).
KBI dibagi ke dalam dua kategori, yaitu untuk anak berusia 4-6 tahun dan 6-12 tahun. Seperti kursus pada umumnya, KBI dilaksanakan dalam dua semester selama satu tahun denganjumlah pertemuan 8 kali per semester. Bedanya, KBI hanya mengambil semseter fall dan winter. Untuk semester fall tahun ini, jumlah muridnya adalah 21 anak, terdiri dari 12 murid untuk kategori pertama yang dipecah ke dalam dua kelas dan 9 murid untuk kategori kedua.
“Kita ingin dalam satu kelas terdiri dari maksimal 10 anak supaya belajarnya efektif,” kata Elzsa Palar-Purdy, kepala sekolah KBI.
Biaya pendaftaran untuk kursus tersebut adalah USD 90 per semester per murid. Uang tersebut digunakan untuk sewa tempat, membayar guru dan asisten, serta membeli perlengkapan kelas.
Dengan jumlah guru lima orang, biaya tersebut sebenarnya jauh dari cukup. Honor untuk guru dan asisten boleh dibilang sekedar uang kepantasan karena besarnya tidak seberapa.
“Biaya yang dibutuhkan sebenarnya jauh lebih besar dari uang pendaftaran. Namun kita tidak ingin menaikkan biaya pendaftaran supaya tetap banyak muridnya. Karena itu kita mengandalkan bantuan dari para sponsor dari Indonesia,” papar Elzsa.
Mengajarkan bahasa Indonesia ke anak-anak yang bahasa utamanya adalah bahasa Inggris tentu merupakan tantangan tersendiri bagi guru. Mereka dituntut telaten dan kreatif dalam menyampaikan materi agar anak-anak tersebut merasa tertarik.
Bagi Nona Kurniani yang terbiasa mengajarkan Bahasa Indonesia kepada mahasiswa, hal itu menjadi tantangan tersendiri. Sudah belasan tahun alumnus Ohio University ini mengajarkan Bahasa Indonesia kepada mahasiswa di berbagai kampus di Amerika, seperti Johns Hopkins University dan Winconsin University.
“Sebelumnya saya hanya mengajar mahasiswa yang motivasi belajarnya lebih kuat. Kalau mengajar anak-anak berbeda sekali. Saya harus membuat aktivitas yang melibatkan badan mereka sehingga saraf motorik mereka bekerja. Kalau sekedar duduk mereka akan bosan,” kata Ibu Guru Nona.
Nona merasa mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak-anak adalah pengalaman yang sangat menarik. Baginya, dia tidak sekedar mengajarkan bahasa, melainkan juga menanamkan kecintaan terhadap Indonesia pada diri anak-anak tersebut.
“Kita ingin membantu anak-anak ini menyadari jati diri mereka sebagai keturunan Indonesia,” tutur Nona.
Ketersambungan dengan tradisi leluhur itulah yang ingin diwariskan orang tua terhadap anak-anak mereka. Hal itu seperti diungkapkan oleh Rhonda, salah seorang wali murid yang menyekolahkan anaknya di KBI. Rhonda adalah warga Amerika yang menikah dengan orang Indonesia. Dengan memberikan pelajaran Bahasa Indonesia, dia ingin anaknya mengenal tradisi nenek moyangnya.
“Saya ingin dia mengenal tradisi Indonesia. Selain itu, kakek-neneknya di Indonesia tidak bisa Bahasa Inggris, jadi saya ingin dia bisa berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia,” kata Rhonda.
Anak-anak itu pun tampak menikmati pelajaran mereka. Selain menyanyi, mereka juga diajari membaca dan menulis. Mereka diminta mengidentifkasi gambar-gambar dan menuliskannya di papan tulis dalam Bahasa Indonesia.
Bagi anak-anak itu, belajar bahasa Indonesia sepertinya tidak terlalu sulit. Terlebih di rumah mereka memiliki orang tua yang bisa mengajak bicara mereka dalam Bahasa Indonesia. Seperti kata Benjamin Baladewa Patlis, salah seorang murid yang berumur 9 tahun.
“Belajar bahasa Indonesia tidak sulit karena tulisan hurufnya sama dengan bahasa Inggris,” ujarnya dengan polos dalam bahasa Inggris.
Pada akhirnya, pendidikan bahasa anak tergantung dari orang tua. Kelas bahasa yang diselenggarakan delapan kali dalam satu semester itu tidak akan memadai untuk membuat anak-anak lancar berbahasa Indonesia.
“Kalau berharap dengan ikut kelas ini terus anak-anak bisa Bahasa Indonesia dengan lancar, itu jauh sekali. Tapi paling tidak mereka jadi menyadari tentang nenek moyang mereka. Syukur kalau nantinya mereka mau belajar Bahasa Indonesia lebih serius lagi,” kata Nona.
Meski dengan segala keterbatasan, Rumah Indonesia bercita-cita agar kelas bahasa Indonesia dapat diselenggarakan di kota-kota lain di Amerika. Karena itu, pada saat digelar kongres Indonesian Diaspora beberapa waktu lalu, mereka datang dan berbagi pengalaman dengan masyarakat Indonesia dari kota-kota lain.
“Kita ingin mereka juga bisa bikin sendiri program seperti ini. Ternyata bisa kok, dan tidak terlalu susah. Hanya memang perlu dedikasi yang tinggi,” ungkap Debbie.