Oleh : Bagyo Suharyono
Keris adalah salah satu senjata adat suku–suku bangsa di Nusantara, yang merupakan senjata penusuk jarak pendek dikenal dan dipakai oleh sebagian masyarakat di Asia Tenggara. Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan, dihormati bahkan dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia, juga bangsa lain di sebagian Asia Tenggarajuga mengenal dan memakainya. Misalnya saja bangsa Malaysia, Brunai, Sabah, Tailand, Kamboja, Laos, Suku Moro di Pilliphina Selatan juga mengenal atau memakai Keris. (Karsten Sejr Jensen , 1998 , 5 -7.)
Selain senjata penusuk, keris merupakan benda yang berfungsi sebagai senjata yang dianggap mempunai daya magis, benda Pusaka, sebagai benda kehormatan, sebagai benda sejarah, sebagai benda komoditi perdagangan, sebagai symbol, sebagai tanda kehormatan, sebagai benda pelengkap upacara, dan sebagai benda pelengkap busana. (Garret 7 Bronwen Solyom, 1987. 12.).
Bagaimana kedudukan keris keris dalam sejarah bangsa, tidak dapat dipungkiri lagi, dalam ceritera, babad maupun sejarah modern, keris banyak berfungsi sebagai obyek sejarah, bahkan keris kadang- kadangdapat menjadi benda penentu sejarah. (Surono, 1979, 2.)
Keris selalu muncul dalam legenda, ceritera tutur atau oral tradisi, babad atau sejarah tradisi, sampai pada sejarah modern. Ternyata bila dicari dalam ceritera tutur atau penulisan sejarah, keterangan mengenai keris banyak yang dapat diketahui.seperti misalnya dalam ceritera legenda Ajisaka, Pararaton, Babad Tanah Jawi sampai penulisan sejarah modern De Graaf, perang Diponegoro. Bahkan keris masih juga hadir dalam masyarakat modern masa kemerdekaan contohnya panglima besar besar Soedirman dan Bung Karno., sampai kepada pak Harto.
Ceritera Jawa yang paling tua, yaitu Serat Ajisaka, walaupun ini masih merupakan ceritera tutur yang bersifat legenda menghadirkan keterangan tentang keris. Pada masa Sang Aji Saka telah menjadi raja menguasai tanah Jawa, maka berkenan mengambil pusaka keris yang ditinggalkan di Gunung Kendil., Keris itu dibawa dan dikuasakan kepada abdinya yang bernama Sambada. Sang Ajisaka mengutus abdinya yang bernama Dora untuk mengambil pusaka keris itu. Setelah sampai di Gunung Kendhil, Sambada tidak mau memberikan keris pusaka itu, karena dia mendapat pesan dari Sang Ajisaka, bahwa keris itu tidak boleh diberikan kepada siapapapun kecuali sang Aji saka. Maka terjadi percekcokan meningkat menjadi perkelahian, dua abdi tersebut mati bersama. Sang Aji saka telah menunggu lama tetapi utusannya tak kunjung datang, kemudian menyusul ke Gunung Kendhil. Ajisaka kemudian merasa berdosa karena mati bersama(sampyuh) maka sebagai peringatan akan dosana diciptakan aksara yang kelak kemudian menjadi huruf Jawa, ha, na, ca, ra, ka. da,ta, sa, wa, la. Pa, da, ja, ya, nya. ma, ga, ba, tha, nga. Artinya : ada utusan, sama –sama berkelahi , sama - sama saktinya , sama- sama menjadi bangkai. (Serat Ajisaka, N.D. halaman 9 –34 ).
Walaupun serat Ajisaka ini merupakan legenda atau ceritera tutur, tetapi cerita ini sampai masa sekarang masih menjadi dasar pandangan masyarakat Jawa atau Bali, ini merupakan mantifac atau facta mental yang masih hidup dalam kehidupan masyarakat sampai masa sekarang.
Ceritera dari Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Ciung Wanara setelah dewasa diserahkan oleh Ki Buyut untuk mengabdi pada pandai besi istana, setelah tahu cara kerja pandai besi kemudian membuat banyak senjata keris, pedang, kudi, kujang. Kemudian Ciung Wanara membuat tempat tidur kantil yang dibuat dengan terali besi, yang dinamakan Balai Sawo. Setelah itu Ciung Wanara mengabdi pada raja Pajajaran Arya Bangah. Karena banyak berjasa Ciung wanara dianugerahi nama Banyak Wide. Kelak dengan tempat tidur berterali besi ini dapat membalas dendamnya kepada raja Pajajaran Arya Bangah. yang kemudian dihanyutkan kesungai Karawang. Ciung Wanara menjadi raja besar di Pajajaran, begelar Harya Banyak Wide. Kemudian berperang dengan adik Arya Bangah yang bernama Jaka Sesuruh. Jaka Sesuruh yang kalah melarikan diri dari Pajajaran menuju ke Jawa Timur. (Babad Tanah Jawi, Sudibyo ZH, 1980, 17 –24.).
Dalam serat -serat Panji yang terdiri atas beberapa versi, Panji Inu Kertapati Pangeran dari Kerajaan Jenggala yang kemudian menjadi raja dan dapat menjatukan kerajaan Jenggala dan kerajaan Kediri, setelah menjadi raja bergelar Kameswara, adalah seorang yang pandai mengolah curiga, atau bermain silat dengan keris. Walaupun ceritera ini sekedar hanya sastra sejarah, atau ceritera tutur, ceritera Panji pangeran dari Panjalu ini masa lampau menjadi suri tauladan dan menjiwai kehidupan masyarakat Jawa yang agraris feodal. Ceritera Panji ini bahkan tersiar sampai Vietnam dan Kamboja. ( Poerbotjaroko, 1969, 4.).
Dalam masa kerajaan di Jawa Timur dari masa Kediri sampai Singhasari sejarah keris tampak kelam, tetapi diketahui bahwa akibat adanya kepercayaan baru yaitu Tantrayana, keris pada masa itu berkembang mencapai bentuknya. Keris yang tadinya berbentuk gemuk pendek berbadan lebar cenderung seperti keris Budha atau Katga pada masa ini berubah ramping walaupun uga masihtampak dempakdan sangkuk . Contohnya keris- keris Jenggala dan Singhasari, dalam relief di Candi Panataran, keris sudah lebih ramping bentuknya, (Wawancara dengan Suprapto Suryodarmo 1986.).
Baru dalam kitab Pararaton didapatkan keterangan yang luar biasa tentang keris. Kemelut Tumapel dengan tokoh Ken Angrok seorang rakyat jelata anak Ken Endog yang dipercaya titisan Dewa Brahma, membuat sejarah besar. Kitab Pararaton memberi keterangan yang banyak tentang keris. Karena Ken Angrok jatuh cinta dengan Ken Dedes, wanita yang secara paksa menjadi istri Akuwu Tunggul Ametung. Untuk membunuh tunggul Ametung Ken Angrok memesan keris sakti kepada Empu Gandring, Keris Empu Gandring kemudian mulai memakan korban, pertama adalah Empu Gandring, kemudian Tunggul Ametung, Keboijo, Ken Anggrok sendiri, Panji Anusapati, Panji Tohjaya, dan Ranggawuni, Jadi keris Empu Gandring, telah memakan tujuh korban diantaranya Ken Angrok sendiri dan keturunanya. Tetapi Ken Angrok sendiri telah berhasil merebut Kerajaan Singhasari, yang kelak kemudian keturunanya akan meneruskan menjadi raja- raja sesudahnya. Oleh sebab kitab yang memuat ceritera itu disebut kitab Pararaton. Dalam peristiwa ini keris yang merupakan senjata penusuk berperan serta dalam penentuan sejarah. Serat pararaton yang menghebohkan ini ditemukan ditulis pada keropak atau Ron Tal dalam bahasa kawi. Ceritera ini menjadi penelitian sarjana Belanda yang bernama Brandes, dan pernah diterjemahkan dalam bahasa Belanda ( Mangkudimedjo, 1979,25.).
Peristiwa - peristiwa besar yang melibatkan peran keris dalam masa kerajaan Majapahit apabila dikaji dari sejarah formal maupun ceritera tutur akan banyak ditemukan. Raja Jayanegara terbunuh oleh keris Ra Tancha yang masih termasuk keluarga raja atau Darmaputra. Ra Tancha kemudian ditangkap dan dibunuh oleh Gajah mada. Peristiwa ini selanjutnya mengakibatkan Hayam wuruk mewarisi takhta, dan kebesaran kerajaan Majapahit mencapai puncaknya.
Begitu juga dalam ceritera tutur atau babad, banyak peran keris dalam sejarah yang hadir. Ceritera Bondan Kejawan atau pangeran Lembu Peteng. diperintahkan oleh prabu Brawijaya untuk belajar dan mengabdi pada ki Gede Tarub. Sang Prabu memberikan dua keris pusaka. Setelah berkelahi dengan perampok salah satu kerisna patah tetapi mengalami kemenangan. Bondan kejawan ini kemudian dikawinkan dengan putri ki Gede satu-satunya yang benama Nawangsih. Selanjutnya Bondan Kejawan menurunkan sederetan nama besar dalam sejarah masa kerajaan Demak. Cerita ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Jawi, babad Pajang, dan Babad Para Wali
Dalam Babad Tanah Jawi Terdapat sebuah bagian khusus yang memuat banyak keterangan tentang keris yaitu riwayat hidup dari empu - empu pande keris. Dalam babad diceriterakan riwayat empu Supa Gati, Supa Jigja, Supa Driya Supa Pangeran Sendang, empu Pitrang, Empu ki Sura, dan ki Supa Anom.
Dalam babad Tanah Jawi itu diceriterakan tentang raja Majapahit, yang memesan keris pada para empu, begitu juga para Wali yang membuat keris dapur-dapur yang baru. Muncul nama nama keris Pusaka seperti Condong Campur, Sabuk inten, Nagasasra, Sengkelat, Carubuk, Kala munjeng, pedang kyai lawang, kendali rangah macan guguh.dan lain sebagainya yang kelak menjadi pusaka raja - raja Jawa selanjutnya. Pusaka tersebut sedikit banyak ikut berperan dalam sejarah. (Panji Prawirajuda ; 1984, 225 –271).
Pada masa kerajaan Islam di Demak begitu banyak keterangan tentang keris. dan keris merupakan benda sebagai penentu sejarah., banyak ceritera tutur, serat,babad, bahkan sejarah modern tulisan H.J de Graaf menulis tentang peristiwa pembunuhan, perebutan takhta, dan balas dendam di masa kerajaan Demak. Pembunuhan dengan keris pada masa ini ternyata merajalela. Raja Demak pertama adalah Raden Patah atau Sultan Jim Bun sebenarnya putra Bra Wijaya raja Majapahit, yang dipelihara oleh Harya Damar, adipati Palembang. Setelah Sultan Fatah meninggal digantikan oleh Puteranya yang tertua yaitu Pangeran Sabrang Lor, tetapi pangeran ini meninggal pada masa mudanya, belum menikah dan belum mempunyai putera. Seharusnya yang menggantikan adalah putra yang kedua yaitu Sekar Seda Lepen. Tetapi Sekar Seda Lepen dibunuh ditusuk dengan keris dari belakang, sewaktu pulang dari sholat Jumat di masjid Demak. Sepulang dari sholat Jumat, Seda Lepen dikutit dari belakang dan kemudian ditusuk pingangnya dengan keris. Seda lepen meninggal di tepian sungai, oleh sebab disebut Sekar Seda Lepen. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang prajurit pejineman atau prajurit sandi bernama Surawiyata, orang suruhan atau abdi dari Raden Mukmin, yaitu nama muda Sunan Prawata.
Putera laki laki Sekar Seda Lepen bernama Haryo Penangsang, yang masih kecil diangkat menjadi murid terkasih Sunan Kudus. Haryo Penangsang kelak kemudian setelah menjadi Adipati di Jipang akan membalas dendam. Kerajaan Demak jatuh ke tangan putra ketiga bernama Sultan Trenggana. Tetapi Sultan Trenggana gugur waktu berperang melawan Kerajaan Brang Wetan atau Blambangan di Beteng Panarukan. Yang menggantikan menjadi raja kemudian adalah putra Trenggana yaitu Sunan Prawata. Tetapi masa pemerintahanya dipenuhi oleh kemelut persaingan kekuatan dan perebutan takhta. Harya Penangsang, putra Seda Lepen mulai membalas dendam. Pertama kali yang menjadi korban adalah Sunan Prawata sendiri, sewaktu Sunan Prawata sedang sakit tiduran duduk di pangku atau di ” sundang “ oleh Permaisurinya, datanglah dua orang prajurit Sureng yang berhasil menyelinap ke tempat tidurnya. Prajurit sureng suruhan Arya Penangsang ini segera menusuk Sunan Prawata, tusukan begitu kuat sehingga menembus dada sampai kepunggung, permaisuri yang memangkunya ikut tertusuk dan langsung mati. Sunan Prawata yang sakti walaupun terluka belum juga mati. Sunan Prawata meraih kerisnya Kyahi Bethok, dilemparkan kearah prajurit Sureng. Sureng itu hanya tersentuh keris sedikit pada kakinya luka tergores, prajurit Sureng itu kemudian segera mati. Sunan Prawata. Kemudian mati menebus dosanya karena telah membunuh Sekar Seda lepen.
Haryo Penangsang belum puas membalas dendam, maka terjadilah pembunuhan selanjutnya terhadap Sunan Hadiri. Sewaktu Sunan Hadiri dengan isterinya Ratu Kalinyamat melaporkan peristiwa itu dan minta pengadilan pada Sunan Kudus, kepulanganya ke Kalinyamat dihadang oleh prajurit Sureng utusan Harya Penangsang. Sunan Hadiri terbunuh di jalan ditikam dengan keris namun untungnya Ratu Kalinyamat berhasil selamat . Balas dendam Harya Penangsang juga belum berhenti ingin menumpas habis keturunan Trenggana sampai menantu - menantunya.
Sasaran ketiga adalah Hadiwijaya (Jaka Tingkir) Adipati Pajang, yang merupakan menantu Sultan Trenggana paling muda. Hadiwijaya pada masa itu telah menjadi Adipati di Pajang. Harya Penangsang kembali mengutus dua orang prajurit Sureng untuk membunuh Hadiwijaya. Para Sureng berhasil masuk ke tempat tidur menemukan Hadiwijaya yang baru tidur. Kemudian Sureng itu menusuk dengan keris. Hadiwijaya memang sakti, tidak mempan ditusuk dengan keris, bahkan kedua Sureng terjengkang pingsan karena kibasan kain dodot selimut sakti Hadiwijaya. Para Sureng kemudian diampuni disuruh kembali ke Jipang, bahkan diberi uang yang banyak. Para Sureng kemudian melapor kepada Harya Penangsang, Harya Penangsang marah besar, dan membunuh dua Sureng dengan kerisnya Kyai Brongot Setan Kober. Kedua Sureng telah mempermalukan Penangsang dan gagal dalam melakukan tugas.
Harya Penangsang kemudian gugur ditangan kerabat Sela. Ki gede Pemanahan, Ki gede Penjawi, dan putra Pemanahan, Danang Sutawijaya , yang berperang dengan segala taktik dan tipu daya. Akhirnya Adipati Jipang Haryo penagsang gugur . Maka tinggallah hanya satu orang terkuat pewaris kerajaan Demak. Jaka Tingkir atau Adipati Hadiwijaya kemudian menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. (De Graaf. H J, 1985, 23-30.).
Pada jaman kerajaan Mataram Islam yang ber ibukota di Kotagede kemudian berpindah ke Plered, sejak pemerintahan Panembahan Senapati sampai Amangkurat Agung, diketahui keterangan yang banyak tentang keris.
Beberapa peristiwa penting terjadi masa Panembahan Senapati mulai berkuasa di Mataram. Pada awal pemerintahan Senapati mulai membangun istana Kotagede, telah membelokkan rombongan Mantri Pemajegan dari daerah Bagelen yang akan menyampaikan hasil pajak daerah Bagelen dan Banyumas ke Pajang. Di Istana Mataram mereka diundang mampir dan dijamu makan- makan besar dan melihat tari –tarian. Ada seorang mantri Pemajegan yang bernama Ki Bocor, yang membenci Senapati dan ingin mencoba kesaktiannya. Pada malam hari waktu Panembahan Senapati baru duduk di atas tikar di pendapa, bersantai menghadapi meja pendek, datanglah ki Bocor dari belakang. Dengan cepat Ki Bocor menusuk punggung Panembahan Senapati dengan keris pusaka yang bernama Kyai Kebo Dengen. Tetapi setelah ditusuk berkali - kali Panembahan Senapati sama sekali tidak terluka. Ki Bocor kehabisan tenaga dan jatuh duduk berlutut minta ampun. Panembahan Senapati membalik kebelakang dan memaafkan perilaku ki Bocor. Ki Bocor segera pergi, meninggalkan kerisnya ang masih tertancap di tanah. Sejak saat itu para mantri dan pejabat dari Bagelen dan Banyumas sangat kagum dan menghormati Senapati.. Peristiwa ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Djawi, Babad Pajajaran, Babad Baron Sekender, Dari babad Pajajaran diketahui bahwa Mantri Pamajegan Ki Bocor adalah Bebahu desa Bocor di Banyumas, keturunan Pangeran Tole yang membenci Mataram karena mulai berkembang menjadi kota yang ramai.(De Graaf, HJ. 1987, 73.).
Peristiwa yang besar sesudah itu menyusul lagi. Pangeran Alit, atau Pangeran Mas saudara ipar sultan Hadiwijaya yang menjabat Adipati Madiun, yang bernama Panembahan Madiun, memberontak terhadap kekuasaan Mataram.. Setelah Panembahan Senapati memimpin perang ke Madiun, Adipati Madiun merasa takut karena perajuritnya selalu kalah. Adipati Madiun mundur dan melarikan diri. Kadipaten dipertahankan oleh para prajurit yang dipimpin oleh Retna Jumilah, putri Adipati Madiun yang gagah berani. Panembahan Senapati berhasil menyeberangi bengawan Madiun, langsung memasuki Kadipaten. Kedatangan Senapati di hadapi oleh Retna Jumilah, yang telah siaga dengan para prajuritnya. Retna jumilah membawa keris sakti pusaka Madiun yang bernama kyahi Gumarang (keris dapur Kala Gumarang adalah keris berdapur sepang dengan sogokan dan grenengan pada kedua kepet ganjana).. Senapati menghentikan para prajurit pengawalnya di bawah pohon beringin, dan sendirian memasuki Pendapa Kadipaten. Kedatangan senapati dihadapi oleh Retna jumilah sendiri. Retna Jumilah menusuk - nusuk Senapati dengan keris Kyahi Gumarang tetapi Senapati tidak terluka sedikitpun. Kemudian Retna Jumilah kehabisan tenaga, berlutut minta ampun. Senapati mengampuni Retna Jumilah, akhirnya Retna Jumilah putri Madiun kemudian diambil sebagai isteri Senapati. Senapati kagum pada kecantikan dan keberaniannya. Sejarah ini banyak ditulis dalam babad, terutama Babad Tanah Jawi, Babad Matawis, dan buku sejarah tulisan De Graaf. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1590. (De Graaf, HJ 1987.).
Setelah Panembahan Senapati wafat, kemudian berkuasa Susuhunan Seda Krapyak atau Raden mas Jolang bergelar Susuhunan Hadi Hanyakrawati. Digantikan oleh raden Mas Rangsang, yang kemudian menjadi raja besar di Jawa bergelar Sultan Agung Hanyakra Kusuma. Pada masa awal pemerintahanya Sultan Agung mempersiapkan ekspansi ke Jawa Timur, atau daerah Brang Wetan, Sultan Agung mempersiapkan diri melengkapi peralatan perang. Sultan agung mengumpulkan empu – empu dan pande besi yang ada didaerah kekuasaan Mataram. Para empu diharuskan membuat senjara perang, tombak pedang, keris, bahkan sampai meriam Jawa. Ratusan empu dan pandai besi bekerja keras dibawah koordinasi tujuh orang empu ternama (tindih empu pitu). Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa Pakelun. Pada masa itu banyak dibuat keris, keris - keris itu dinamakan tangguh Mataram Pakelun,. sampai masa sekarang keris-keris itu masih banyak dijumpai. Sedangkan meriam ang dibuat masa itu masih dapat dijumpai di keraton Kasunanan Surakarta. (Riya Yasadipura , wawancara 1984.).
Setelah Berhasil menaklukkan Blambangan sampai Madura, Maka terjadi pemberontakan kadipaten Pati, Adipati Pragola II, atau Adipati Pragolapati penguasa daerah Pati memberotak. Dalam ceritera tutur Jawa, dikatakan orang orang Pati kebal senjata. Kekebalan itu hanya dapat ditawarkan kalau senjata orang- orang Mataram diberi susuk emas. Setelah rahasia itu diketahui, maka keris Mataram diberi tatahan emas untuk menawarkan kekebalan orang dari Pati. Maka kadipaten Pati segera jatuh dan dikuasai Mataram. Setelah jatuhna blambangan dan Pati, Sultan Agung berkenan memberi pada para prajurit dan perwira yang berjasa dengan keris bertatah emas. Maka pada masa itu keris keris penghargaan banyak diberikan kepada para abdi dalem yang berjasa. Keris tanda penghargaan tersebut adalah keris bertatah emas Gajah Singa, Keris Gana Gajah Singa sebenarnya adalah cronogram (sengkalan) tahun jatuhnya Pati. Tatahan emasnya disesuaikan dengan besarnya jabatan atau jasa dari para pahlawan yang ikut berperang menaklukkan Blambangan dan Pati. Tahun Keruntuhan Pati menurut catatan Belanda adalah tahun 1627.
Setelah Sultan Agung Surut, maka raja yang menggantikan adalah Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung. Masa pemerintahan Amang -kurat ini diliputi suasana yang mencekam, penuh kekerasan dan pembunuhan. Begitu banak peristiwa sejarah yang melibatkan keris sebagai alat pembunuh.
Pertama kali adalah peristiwa Pangeran Alit, Pangeran Alit sebenarnya adalah adik Sunan sendiri, yang dicurigai akan memberontak karena banyak merekrut dan dicintai para lurah yang menjadi bawahannya. Lurah –dan pengikut Pangeran Alit dibunuh satu persatu dengan jalan pembunuhan politis yang rahasia. Karena marah, Pangeran Alit memprotes dengan datang di Alun- alun Plered membawa para lurah yang hanya sedikit jumlahnya. Terjadi perkelahian di alun- alun, para lurah bayak yang terbunuh,. Pangeran Alit kemudian mengamuk di alun -lun dengan kerisnya yang sakti. Beberapa orang telah menjadi korban keris Pangeran Alit. Demang Malaya atau juga disebut Cakraningrat I dari Madura membujuk agar Pangeran Alit menghentikan pertumpahan darah, berlutut dihadapan Pangeran Alit dan memohon dengan menangis. Karena marah yang tak tekendalikan, Demang Malaya ditusuk keris lehernya oleh Pangeran Alit, Demang Malaya meninggal seketika. Pengikut Demang Malaya kemudian mengeroyok pangeran alit, sampai pangeran Alit gugur. Orang-oang Madura yang mengeroyok Pangeran Alit juga dibunuh dengan keris oleh Prajurit Amangkurat. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1647 Masehi, Menurut catatan Belanda (De Graaf, 1987, 34-36.).
Peristiwa kedua adalah pembunuhan kaum ulama. Amangkurat Agung selalu curiga dan khawatir terhadap para ulama, yang masa itu jumlah dan pengaruhnya semakin besar di kerajaan Mataram. Maka Amangkurat Agung menugaskan empat orang terkemuka membentuk kesatuan prajurit rahasia khusus, yang menyelidiki kaum ulama terkemuka di wilayah Mataram. Setiap jumat para perajurit rahasia ini mengutit para ulama ang sedang sholat Jumat. Setelah sholat Jumat, dibunyikan meriam Sapujagad sebagai tanda rahasia. Maka pada saat per tanda itu ratusan bahkan ribuan santri dan ulama dihabisi dengan keris.
Meriam besar sebagai tanda itu sebenarnya bernama Kyahi Pancawara dibuat masa Sultan Agung, yang kemudian diganti nama dengan Kyahi Sapu Jagad. Meriam besar itu masih dapat dilihat sampai sekarang terdapat dimuka Pagelaran Alun -alun utara Kraton Surakarta, Peristiwa ini tidak tertulis pada ceritera tutur dan babad Jawa, tetapi terdapat pada sejarah Banten, Cirebon dan Belanda, Peristiwa ini terjadi kira - kira seputar tahun 1648. (De Graaf, 1987, 35-37.)
Peristiwa ketiga adalah pembunuhan Kai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang dhalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak yang amat cantik tapi sudah bersuami, Suami anak Ki Wayah benama Kyahi Dalem. Sunan menginginkan wanita tersebut menjadi isterinya. Sekonyong konyong Ki Dalem meninggal terbunuh oleh keris, dan tidak ketahuan pembunuhnya. Wanita istri ki Dalem kemudian diboyong ke kraton dan dinikahi Sunan Amangkurat walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini kemudian terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah diracun. Sunan setelah kematian Ratu Malang menjadi tertekan jiwanya seperti orang tidak waras. Bersama kematian Ratu Malang telah dihukum mati 43 orang wanita dayang, pelayan, emban dari keputren , sebagai hukuman karena keteledoran mereka. melayani Ratu Malang (De Graaf ; 1987, 18-24.).
Peristiwa besar terjadi lagi, gudang mesiu Mataram meledak meninmbulkan malapetaka dan kematian yang banyak. Yang dituduh bertanggung jawab atas meledaknya gudang peluru tersebut adalah Raden Wiramenggala atau Riya menggala dan Raden Tanureksa. Bersama kerabat mereka sejumlah 27 orang mereka dihukum mati dengan ditusuk keris.Lebih menyedihkan lagi Raden Wiramenggala yang diperintah membunuh adalah kakanya sendiri, yaitu Pangeran Purbaya. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan tahun 1670 (De Graaf, 1987 27-28). Beberapa babad telah menuliskan peristiwa itu, yaitu Babad Tanah Jawi, Babad Momana, dan catatan Belanda (raporten).
Peristiwa lain adalah pembunuhan Pangeran Selarong, Pangeran Selarong adalah putra Sunan Seda Krapyak dengan Putri Lungayu dari Ponorogo. Karena Pangeran Selarong dituduh menggunakan racun Anglung Upas, maka Pangeran Selarong dihukum mati dengan ditusuk keris, peristiwa ini terjadi didesa Bareng, Kuwel (dekat Delanggu) pada tahun 1669. Peristiwa itu ditulis dalam Sedjarah Dalem, Babad momana, Babad Tanah Jawi dan catatan atau laporan Van Goens kepada Gubernur Jendral di Batavia.
Peristiwa kekejaman dengan keris muncul lagi, raja mempunyai simpanan gadis kecil yang sangat cantik namanya Rara Oyi. Karena belum haid, maka gadis cantik itu dititipkan kepada Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Sampai nanti dewasa akan dijadikan isteri. Pangeran Pekik kemudian menyuruh Ngabehi Wirareja dan keluarganya untuk mengasuh anak gadis itu. Setelah menanjak dewasa Rara Oyi yang sangat cantik kebetulan berjumpa dengan Pangeran Dipati Anom, putera raja. Pangeran Adipati Anom segera jatuh cinta pada Rara Oyi. Rara Oyi kemudian dilarikan Pangera Dipati Anom. Amangkurat Agung sangat murka, memerintahkan membunuh Pangeran Pekik dengan seluruh keluarganya, sejumlah 40 orang, Mereka dihukum mati dengan ditusuk keris. Wirareja juga dihukum mati beserta keluargana jumlah korban dalam peristiwa ini adalah 60 Orang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1670.
Betapun pada masa pemerintahan Amangkurat I telah sering terjadi pembunuhan pembunuhan dengan keris. Ketidak puasan, ketakutan, dan keresahan menyelimuti Mataram, dan akhirnya terjadi Pemberontakan Trunajaya yang bersekutu dengan mertuanya Pangeran Kajoran, Sehingga kerajaan Mataram menjadi runtuh dan Amangkurat melarikan diri, wafat di Tegalwangi.
Setelah Wafatnya Amangkurat Agung di Tegalwangi, maka Pangeran Adipati Anom menjadi raja. Amangkurat II atau Amangkurat Amral (Admiral) memindah kan ibukota mataram ke Wana Karta, kemudian diganti nama Kartasura. Amangkurat Amral berhasil mengalahkan Pemberontak Trunajaya dengan bantuan Kompeni dan para adipati. Trunajaya ditangkap di Gunung Antang Kediri. Trunajaya ditawan dibawa ke Surabaya, di Alun - alun Amangkurat Admiral menghukum Trunajaya dengan keris Kyahi Blabar, Maka berakhirlah pemberontakan Trunajaya ( Sudibjo ZH. 1980, 250- 252)
Masih begitu banyak peran keris dalam sejarah, misalnya Untung Surapati yang selalu membawa keris kecil yang disembunyikan dalam cadik untaian daun sirih, apabila berjumpa dengan Belanda cadik itu disabetkan pada orang Belanda, Karena kesaktian keris orang Belanda itu mati.
Begitu Juga Paku Buwana II telah memberikan keris Kyahi Kopek kepada pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwana I di Kasultanan Yogyakarta. ini tertulis dengan jelas pada sejarah sesudah perjanjian Gianti. Keris Kyahi Kopek menjadi lambang pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Paku Buwana II.
Pangeran Diponegoro, yang mengorbankan perang Jawa (Java oorlog 1825-1830), selalu memakai dan membawa keris pusaka dipinggangnya. Dalam gambar kuno akan selalu tampak Diponegoro memakai keris warangka gayaman gaya Yogyakarta. (Muhammad Yamin; 1956, 27.)
Bagaimanapun juga keris keris tunggul, dan pusaka kraton Jawa tetunya mempunai karisma sendiri-sendiri, kedudukanya, dan sejarahnya masing-masing. Sejarawan keris masih harus banyak menggali latar belakang dan sejarah tentang keris – keris pusaka seperti, Kyai Joko Piturun, Kyai Mahesa Nempuh, Kyahi Mega Mendhung, Kyahi Banjir, Kyai Babar Layar, Kanjeng Ki ageng, Kyahi Kebo Nengah, Kyai Karawelang, dan masih banyak lagi keris pusaka yang harus dikaji sejarahnya lebih lanjut.
Keris juga masih saja berperan, dan muncul dalam sejarah modern. Pada masa revolusi fisik, Panglima Besar Soedirman memimpin perang gerilya melawan pendudukan Belanda. Jendral Soedirman tidak memakai seragam militer modern dengan pistol atau senapan. Jendral Soerdirman justru memakai udheng ikat kepala, dan memakai jubah di pinggangnya terselip keris. Jendral Soedirman lebih suka memakai pakaian rakyat seperti pendeta atau kyai pedesaan, karena akan terasa lebih akrab berintegrasi dengan rakyat pedesaan. (Roto Suwarno, 1985, 80, 103, 146).
Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia. pada masa kejayaanya selalu membawa keris. Keris yang dibawa Bung Karno sebenarnya bukan keris melainkan pedang suduk ang memakai ganja, atau keris dapur Cengkrong yang diberi warangka perak yang ditatah. Menurut ceritera pedang tangguh Belambangan itu pusaka dari ayah Bung Karno. Raden Mas Sosro pemberian Sunan Paku Buwana ke X. Menurut kepercayaan pada masa itu, Bung Karno menjadi sangat berani, berwibawa dan ditakuti, karena pusaka kerisnya. Keris atau pedang suduk ini sering terlihat pada foto – foto Bung Karno.
Pak Harto, semasa menjadi Presiden Republik Indonesia, dalam hubungan diplomasi denbgan negara sahabat,sering memberikan tanda mata untuk kepala negara atau wakil negara sahabat cideramata berupa keris. Keris yang diberikan adalah keris Bali dan ada juga keris Jawa. Peristiwa ini berlangsung berkali kali, dan pada masa itu sering ditayangkan oleh media masa.
Begitu banyaknya peran keris dalam sejarah bangsa ini, Tulisan ini dibuat sebenarnya hanya menghadirkan serba sedikit peran keris dalam sejarah dari bagian besar sejaah bangsa Indonesia Untuk mengkajinya diperlukan waktu yang panjang, tenaga dan beaya yang besar. Tentunya para ahli dan pecinta keris sangat memaklumi masalah itu. Terlebih lagi masa kini, keris sudah dianggap menjadi milik dunia.
Rata Penuh
Kepustakaan
Buku – buku :
De Graaf. H. J. Awal Kebangkitan Mataram, Jakarta, Pt Pustaka Grafiti pers, 1987
-------,,----------; Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta. PT Pustaka Grafiti pers,1990
--------,,----------: Dis Integrasi Mataram dibawah Amangkurat I, Jakarta, PT Pustaka Grafiti pers.Nas, 1987
--------,,----------: Rumtuhnya Istana Mataram. Jakarta, Pustaka Utama Grafiti.1987.
---------,,--------- De Opkomst Van Raden Troenadjaja, Batavia, Overdruk uit 1940 Djawa, XX. ste. jaar gang 1940.
Surono : Pidato Sambutan, Tosan Aji dan Pembangunan Bangsa, pengarahan 1979 dalam rangka Ulang tahun Boworoso Tosan Aj, Pengembangan Kebudayaan Jawa Tengah, Sasono Mulyo, Surakarta.
Pandji Prawirajuda : Babad Majapahit dan Para Wali, Jakarta, Proyek Perbitan buku satra Indonesia dan daerah, DepartemenPendidikandan kebudayaan, 1984.
Mangkudimedja, R M : Serat pararaton, Ken Angrok , Jakarta, Depatemen P&K Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1979.
Sudibyo. H Z : Babad Tanah jawi , Jakarta, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, proyek penerbitan buku sastra Indonesia dan daerah, 1980.
Karsten Sejr Jensen : Den Indonesiske Kris, et symbolladet Vaben, Devantier, Vaben Historiske Aarborger, Deutsland, 1998.
Poerbotjaroko ; Tjerita Pandji dalam Perbandingan, Jakarta, Gunung Agung, 1968.
Mohammad Yamin ; Lukisan Sedjarah, Jakarta, penerbit Djambatan, 1956.
Manuskrip jawa
----------- , Serat Ajisaka, Naskah tulisan carik Jawa, copy dari perpustakaan Reksa pustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta, N.D.
Nara sumber ;
- Suprapto Suryadarma ; budayawan, tokoh masyarakat, pengamat seni, tokoh agama Budha di Surakarta.
- Riyo Yosodipuro; budayawan, sejarawan, sastrawan, protokoler kraton Kasunanan Surakarta.
Sumber: http://kerisologi.multiply.com