Memunggungi Laut, Karena Tinggalkan Budaya Maritim

Jakarta - Hilmar Farid, sejarawan sekaligus Ketua Perkumpulan Praxis menyentil hilang atau meredupnya kebudayaan maritim sebagai negara kepulauan. Dalam pidato kebudayaan yang dia sampaikan, dia membeberkan lagi kisah matinya dua kerajaan maritim hebat di nusantara.

Hilmar menyampaikan pidato kebudayaannya berjudul Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik di Teater Besar, Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Senin malam, 10 November 2014. Dewan Kesenian Jakarta setiap tahun sejak 1998 menggelar pidato kebudayaan untuk memperingati ulang tahun Taman Ismail Marzuki.

Dalam pidato itu Hilmar menyebut pidato Presiden Joko Widodo yang menyatakan bangsa ini telah lama memunggungi laut. Dia lantas menyebut tentang Majapahit, Sriwijaya yang megah dengan kejayaannya, Suku Mandar, Bajau sebagai komunitas maritim yang eksotik, unik.

“Kita perlu belajar tentang Majapahit bukan tentang kejayaannya tapi kejatuhannya yang menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah,” ujar Hilmar. “Pelaut Mandar untuk memahami bagaimana mereka bertahan sebagai pelaut di tengah gerakan memunggui laut yang hebat.”

Dia juga menyitir novel karya Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, tentang keruntuhan Tuban, kota pelabuhan terakhir di pantai utara Jawa yang setia kepada Majapahit. Dalam novel ini diceritakan degenerasi penguasa Tuban yang berpikir sempit dan kehilangan orientasi. Namun kemudian jaya ketika pemuda Wiranggaleng memimpin ekspedisi militer ke Malaka.

Dua kerajaan maritim lain yang menjadi contoh sempurna matinya kerajaan maritim adalah Banten dan Makasar. Hilmar mengutip sejarawan Anthony Reid , kedua kerajaan ini adalah kerajaan hebat. Keduanya mencapai zaman keemasan dalam dua abad namun akhirnya tumbang. Kedua kerajaan maritim ini dipimpin oleh penguasa yang cakap. Mereka juga mampu bergaul dengan berbagai kerajaan dan menata kerajaannya dalam tata niaga yang besar antar kerajaan. Tetapi kerajaan-kerajaan ini jatuh lantaran perubahan orientasi serta keturunan penguasa yang tidak cakap dan bermental feodal.

“Ada baiknya menyimak kisah jatuh bangun kerajaan maritim di Nusantara sebagai akar dari gerak memunggungi laut,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan lagi pada Profesor Adrian Lapian—pelopor studi sejarah maritim di Indonesia. Lalu Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja yang mendeklarasikan Indonesia sebagai archipelagic-state atau negara kepulauan pada 1957.”Terobosan yang luar biasa.” Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja lalu merumuskan gagasan Djuanda.

Di sela-sela pidato itu, Hilmar juga menyampaikan pujian kepada Menteri Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti. Dia dinilai sebagai orang yang berani membuat terobosan baru.

Sejumlah kendala masih menghadang upaya untuk mengklaim ruang maritim, baik dari sisi kebijakan perdagangan, infrastruktur, keamanan dan sebagainya. Menurutnya arus balik dari utara—negara-negara tetangga cukup hebat. Tidak cukup hanya dengan membuat sejumlah kebijakan baru, menambah jumlah kapal, pengembangkan infrastruktur, memberi insentif pemodal saja. “Karena sejatinya ini adalah masalah kebudayaan.”

Menurutnya ada beberapa hal yang bisa ditempuh antara lain; menyadari laut adalah bagian dari ruang sosial dan kultural, mempelajari beragam ritme kehidupan msayarakat dan keluar dari pikiran linier bahwa ritme yang satu unggul dari yang lain. Yang ketiga, perlunya tindakan.

-

Arsip Blog

Recent Posts