Oleh A Ponco Anggoro
Gambar wajah berukuran kecil, berwarna merah, di salah satu bagian ceruk—tebing cadas yang cekung— di Ohoidertawun menjadi titik awal perjumpaan dengan ratusan gambar peninggalan manusia prasejarah lain.
Ratusan gambar lainnya itu berada di ceruk sepanjang 1 kilometer jauhnya dari gambar pertama. Semuanya berada di tebing cadas yang berbatasan langsung dengan laut di sekitar Kepulauan Kei, kepulauan yang berjarak sekitar 500 km sebelah tenggara Ambon, ibu kota Maluku.
Untuk mencapai lokasi lukisan-lukisan manusia prasejarah di kawasan Kei Kecil, Maluku Tenggara, itu, kita harus terlebih dahulu ke Ohoidertawun Atas, sekitar 12 km dari ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara, Langgur.
Setiba di Ohoidertawun Atas, kita harus berjalan kaki menembus hutan sekitar 2 km jauhnya ke arah pantai. Kemudian menuruni tebing cadas dan berjalan di pantai berpasir putih menyusuri tebing cadas setinggi 30 meter.
Siang sampai malam hari pantai itu tertutup air laut pasang setinggi setengah meter sampai 2 meter. Karena itu, waktu yang tepat untuk melihat ratusan lukisan manusia prasejarah tersebut adalah pagi sampai siang hari, saat pasang surut.
Lukisan peninggalan manusia prasejarah di Ohoidertawun tidak hanya berbentuk wajah. Ada juga yang berupa cap tangan manusia, gambar garis, lingkaran, dan matahari. Selain itu, ada juga yang bentuknya rumit, seperti gambar orang sedang menari dan gambar perahu.
Kebanyakan warnanya merah. Hanya sebagian kecil yang berwarna kuning dan hitam.
Kepala Balai Arkeologi Ambon Gusti Made Sudarmika menduga lukisan-lukisan itu dibuat dengan getah kayu.
Peneliti Balai Arkeologi Ambon, Wuri Handoko, mengatakan, peneliti dari Australia National University, Chris Ballard, pernah melakukan penelitian di sana, sekitar tahun 1980. Saat itu ia mendata, sedikitnya ada 300 desain lukisan.
Dari banyaknya lukisan prasejarah itu, Ballard membaginya menjadi dua macam variasi, yaitu jenis figuratif dan nonfiguratif dengan rasio 12 persen berbanding 88 persen.
Desain nonfiguratif misalnya garis, lingkaran, dan motif berbentuk matahari. Yang figuratif antara lain tubuh manusia yang lengkap, wajah, manusia menari, ikan, dan perahu.
Ballard juga mengklasifikasikan lukisan-lukisan itu dengan dua cara berbeda. Sebanyak 84 persen berupa lukisan yang dibuat dengan tangan, sedangkan 16 persen lainnya dilukis dengan teknik stensil atau cap. Lukisan cap tangan adalah desain yang menggunakan teknik stensil.
Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, mengatakan, belum ada yang tahu persis kapan lukisan itu dibuat. Dari hasil sejumlah penelitian, lukisan prasejarah tersebut dikaitkan dengan penyebaran manusia Austronesia, sekitar 3.500 tahun yang lalu.
Migrasi manusia Austronesia itu bermula dari Taiwan-Filipina-Filipina Selatan-Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Nusa Tenggara hingga Papua. Jadi, tidak heran jika lukisan serupa bisa dijumpai di tempat lain, seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Maksud pembuatan
Lukisan di Ohoidertawun bukan tanpa maksud dibuat. Setidaknya berkembang dua interpretasi alasan gambar-gambar itu dibuat. Gusti Made Sudarmika menyebutkan, interpretasi pertama adalah propan, yakni gambar mencerminkan kehidupan sehari-hari manusia prasejarah, sedangkan interpretasi kedua adalah religi.
Daud termasuk yang menginterpretasikan semua gambar itu pada interpretasi religi, yaitu terkait dengan pemakaman manusia Austronesia. Jadi, ceruk yang dindingnya dihiasi ratusan lukisan itu sebenarnya makam manusia Austronesia. ”Dugaan ini kuat karena di ceruk-ceruk itu pernah ditemukan sejumlah tulang manusia,” kata Daud.
Gambar-gambar tersebut diyakini dibuat untuk membimbing arwah manusia Austronesia ke tempat asalnya.
Lukisan motif seperti matahari digambarkan sebagai tempat nenek moyang mereka, tempat semua arwah akan kembali. Motif seperti matahari sampai sekarang masih dijumpai di perahu-perahu masyarakat Kei.
Soal gambar seperti perahu, menurut Daud, dipercayai sebagai benda yang bisa mengantarkan arwah kembali ke tempat nenek moyang. Adapun gambar-gambar yang menyerupai wajah merupakan representasi orang-orang yang dikuburkan di sana, tetapi ada juga yang mengaitkan dengan cara menolak bala karena wajah manusia dianggap memiliki kekuatan itu.
Mengenai gambar manusia menari diartikan sebagai upacara saat pemakaman berlangsung.
Gusti Made Sudarmika meyakini ceruk-ceruk di Ohoidertawun itu tak sekadar tempat pemakaman, tetapi juga tempat tinggal manusia prasejarah. ”Mereka tinggal cukup lama di tempat itu, tecermin dengan banyaknya gambar yang dibuat. Karena itu, selain tinggal di sana, tidak tertutup kemungkinan ada manusia prasejarah yang dimakamkan di sana,” ujarnya.
Berpotensi rusak
Saat ini di lokasi tempat lukisan tersebut berada tidak terlihat ada upaya konservasi. Padahal, ombak yang mengikis tebing, angin, air hujan, belum lagi kemungkinan tebing longsor, berpotensi merusak jejak-jejak manusia prasejarah itu.
Satu hal yang juga memprihatinkan, sama sekali tidak ada petunjuk ke lokasi lukisan. Peninggalan itu seakan hendak dilupakan. Padahal, seni cadas merupakan bagian dari jembatan seni cadas yang tidak terputus dari Asia daratan, kepulauan Asia Tenggara, Papua, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan. Selain itu, tempat itu juga bisa dijadikan obyek wisata yang menarik.
Sebagaimana dikatakan Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata Maluku Tenggara Budi Tofi, sejak 2005, tepatnya ketika ia memperkenalkan ratusan lukisan itu di suatu pameran di Bali dan mempromosikannya melalui majalah Lonely Planet (majalah pariwisata), cukup banyak wisatawan dan peneliti asing yang datang ke sana.
”Saya antarkan sendiri mereka ke lokasi lukisan di cadas itu. Dalam satu tahun, bisa ada sepuluh grup turis asing datang. Satu grup jumlahnya bisa sampai 22 orang,” katanya.
Sumber: http://cetak.kompas.com
Gambar wajah berukuran kecil, berwarna merah, di salah satu bagian ceruk—tebing cadas yang cekung— di Ohoidertawun menjadi titik awal perjumpaan dengan ratusan gambar peninggalan manusia prasejarah lain.
Ratusan gambar lainnya itu berada di ceruk sepanjang 1 kilometer jauhnya dari gambar pertama. Semuanya berada di tebing cadas yang berbatasan langsung dengan laut di sekitar Kepulauan Kei, kepulauan yang berjarak sekitar 500 km sebelah tenggara Ambon, ibu kota Maluku.
Untuk mencapai lokasi lukisan-lukisan manusia prasejarah di kawasan Kei Kecil, Maluku Tenggara, itu, kita harus terlebih dahulu ke Ohoidertawun Atas, sekitar 12 km dari ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara, Langgur.
Setiba di Ohoidertawun Atas, kita harus berjalan kaki menembus hutan sekitar 2 km jauhnya ke arah pantai. Kemudian menuruni tebing cadas dan berjalan di pantai berpasir putih menyusuri tebing cadas setinggi 30 meter.
Siang sampai malam hari pantai itu tertutup air laut pasang setinggi setengah meter sampai 2 meter. Karena itu, waktu yang tepat untuk melihat ratusan lukisan manusia prasejarah tersebut adalah pagi sampai siang hari, saat pasang surut.
Lukisan peninggalan manusia prasejarah di Ohoidertawun tidak hanya berbentuk wajah. Ada juga yang berupa cap tangan manusia, gambar garis, lingkaran, dan matahari. Selain itu, ada juga yang bentuknya rumit, seperti gambar orang sedang menari dan gambar perahu.
Kebanyakan warnanya merah. Hanya sebagian kecil yang berwarna kuning dan hitam.
Kepala Balai Arkeologi Ambon Gusti Made Sudarmika menduga lukisan-lukisan itu dibuat dengan getah kayu.
Peneliti Balai Arkeologi Ambon, Wuri Handoko, mengatakan, peneliti dari Australia National University, Chris Ballard, pernah melakukan penelitian di sana, sekitar tahun 1980. Saat itu ia mendata, sedikitnya ada 300 desain lukisan.
Dari banyaknya lukisan prasejarah itu, Ballard membaginya menjadi dua macam variasi, yaitu jenis figuratif dan nonfiguratif dengan rasio 12 persen berbanding 88 persen.
Desain nonfiguratif misalnya garis, lingkaran, dan motif berbentuk matahari. Yang figuratif antara lain tubuh manusia yang lengkap, wajah, manusia menari, ikan, dan perahu.
Ballard juga mengklasifikasikan lukisan-lukisan itu dengan dua cara berbeda. Sebanyak 84 persen berupa lukisan yang dibuat dengan tangan, sedangkan 16 persen lainnya dilukis dengan teknik stensil atau cap. Lukisan cap tangan adalah desain yang menggunakan teknik stensil.
Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, mengatakan, belum ada yang tahu persis kapan lukisan itu dibuat. Dari hasil sejumlah penelitian, lukisan prasejarah tersebut dikaitkan dengan penyebaran manusia Austronesia, sekitar 3.500 tahun yang lalu.
Migrasi manusia Austronesia itu bermula dari Taiwan-Filipina-Filipina Selatan-Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Nusa Tenggara hingga Papua. Jadi, tidak heran jika lukisan serupa bisa dijumpai di tempat lain, seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Maksud pembuatan
Lukisan di Ohoidertawun bukan tanpa maksud dibuat. Setidaknya berkembang dua interpretasi alasan gambar-gambar itu dibuat. Gusti Made Sudarmika menyebutkan, interpretasi pertama adalah propan, yakni gambar mencerminkan kehidupan sehari-hari manusia prasejarah, sedangkan interpretasi kedua adalah religi.
Daud termasuk yang menginterpretasikan semua gambar itu pada interpretasi religi, yaitu terkait dengan pemakaman manusia Austronesia. Jadi, ceruk yang dindingnya dihiasi ratusan lukisan itu sebenarnya makam manusia Austronesia. ”Dugaan ini kuat karena di ceruk-ceruk itu pernah ditemukan sejumlah tulang manusia,” kata Daud.
Gambar-gambar tersebut diyakini dibuat untuk membimbing arwah manusia Austronesia ke tempat asalnya.
Lukisan motif seperti matahari digambarkan sebagai tempat nenek moyang mereka, tempat semua arwah akan kembali. Motif seperti matahari sampai sekarang masih dijumpai di perahu-perahu masyarakat Kei.
Soal gambar seperti perahu, menurut Daud, dipercayai sebagai benda yang bisa mengantarkan arwah kembali ke tempat nenek moyang. Adapun gambar-gambar yang menyerupai wajah merupakan representasi orang-orang yang dikuburkan di sana, tetapi ada juga yang mengaitkan dengan cara menolak bala karena wajah manusia dianggap memiliki kekuatan itu.
Mengenai gambar manusia menari diartikan sebagai upacara saat pemakaman berlangsung.
Gusti Made Sudarmika meyakini ceruk-ceruk di Ohoidertawun itu tak sekadar tempat pemakaman, tetapi juga tempat tinggal manusia prasejarah. ”Mereka tinggal cukup lama di tempat itu, tecermin dengan banyaknya gambar yang dibuat. Karena itu, selain tinggal di sana, tidak tertutup kemungkinan ada manusia prasejarah yang dimakamkan di sana,” ujarnya.
Berpotensi rusak
Saat ini di lokasi tempat lukisan tersebut berada tidak terlihat ada upaya konservasi. Padahal, ombak yang mengikis tebing, angin, air hujan, belum lagi kemungkinan tebing longsor, berpotensi merusak jejak-jejak manusia prasejarah itu.
Satu hal yang juga memprihatinkan, sama sekali tidak ada petunjuk ke lokasi lukisan. Peninggalan itu seakan hendak dilupakan. Padahal, seni cadas merupakan bagian dari jembatan seni cadas yang tidak terputus dari Asia daratan, kepulauan Asia Tenggara, Papua, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik Selatan. Selain itu, tempat itu juga bisa dijadikan obyek wisata yang menarik.
Sebagaimana dikatakan Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata Maluku Tenggara Budi Tofi, sejak 2005, tepatnya ketika ia memperkenalkan ratusan lukisan itu di suatu pameran di Bali dan mempromosikannya melalui majalah Lonely Planet (majalah pariwisata), cukup banyak wisatawan dan peneliti asing yang datang ke sana.
”Saya antarkan sendiri mereka ke lokasi lukisan di cadas itu. Dalam satu tahun, bisa ada sepuluh grup turis asing datang. Satu grup jumlahnya bisa sampai 22 orang,” katanya.
Sumber: http://cetak.kompas.com