Oleh : Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul buku : Seluas Segala Kenyataan
Penulis : Adelbert Snijders
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 334 halaman
Seringkali manusia alpa substansi di balik yang senyatanya. Manusia kerap terjebak dalam altar kenyataan, karena menggapai seluas segala kenyataan tak diperhitungkan dalam kalkulasi positivistic kemanusiaan modern. Kenyataan kerap kabur, dan manusia kerap kebingungan menghadapi kenyataan disekitarnya. Ironisnya lagi, manusia gampang “mendewakan” kenyataan yang “menentramkan” diri normatifnya. Dalam terlena dalam ruas luar sebuah kenyataan, manusia akhirnya banyak yang bimbang menghadapi kenyataan yang tertangkap dalam ruang kehidupannya. Tidak sedikit manusia modern yang bunuh diri karena gagal menangkap kenyataan yang hadir dalam sudut kehidupan yang sedang mereka jalani.
Karena kerap kalau dengan kenyataannya sendiri, sudah saatnya manusia belajar memahami dan menghayati kenyataan itu sendiri. Dengan membedah seluas kenyataan itulah manusia akan bisa menemukan hakekat kemanusiaannya, sehingga menjalani hidup tanpa kegalauan dan kehampaan. Disinilah menarik untuk menjelajah buku bertajuk “Seluas Segala Kenyataan” karya Adelbert Snijders. Penulis merupakan pakar kajian metafisika, sehingga jalan penelusuran dalam mengkaji kenyataan dalam buku ini merupakan kajian terhadap metafisika. Namun menjadi menarik, karena menyajikan analisis kenyataan dengan penuh makna dan mengandung siratan kajian yang filosofis, penuh renungan.
Penulis melihat kenyataan dalam persektif kebaikan. Kebaikan sebagai sifat transcendental dari kenyataan cara klasik. Dirumuskan: “tiap kenyataan adalah baik” (omne ens est bonum). Dasar kebaikannya adalah “karena” (quia) berada dan “sejauh” (quatenus) menurut derajat mengada. Sifat kebaikan melihat kenyataan dalam relasinya dengan kehendak atau (secara lebih umum) dalam realasinya dengan hasrat (apetitus). Kenyataan disebut baik karena kehendak terarah dan tertarik kepadanya. Kenyataan disebut baik karena dapat menyempurnakan. Kenyataan bergerak menuju kepenuhan yang sesuai dengan tingkat mengadanya.
Dalam hal ini, antara Plato dan Aristoteles ada pertentangan. Menurut Plato, pengetahuan tentang ide kebaikan diakui sebagai pengetahuan tertinggi (yang ia umpamakan sebagai matahari) yang memungkinkan kenyataan inderawi menjadi kelihatan dan memungkinkan kenyataan ruhaniah dapat dikenal. Namun ide kebaikan menurut Plato terletak diseberang segala yang berada. Lain halnya dengan tradisi Aristoteles dan Skolastik. Menurut kedua tradisi itu, kebaikan tidak berada diseberang segala yang ada, tetapi bersifat instrinsik untuk kenyataan mengada. Kenyataan dan kebaikan itu secara ontis merupakan identitas. Seperti halnya kenyataan dalam relasinya dengan budi disebut benar (knowable). Demikianlah pula kenyataan disebut baik dalam relasinya dengan relasinya dalam kehendak yang tertarik kepadanya (desirable). Kebenaran yang sudah diperoleh menjadi actuated knowledge dan kebaikan yang telah didapatkan menjadi actuated goodness. (hal 271-272).
Selain dengan kebaikan, penulis juga menyuguhkan analisis bahwa kenyataan juga sebuah keindahan. Dengan keindahanlah kita akan menemukan kenyataan. Penulis menjelaskan bahwa untuk menikmati keindahan alam atau keindahan seni, kondisi dari subjek menjadi penting. Kepekaan untuk menikmati keindahan alam pasti berbeda jika seseorang merasa sedih, gembira, tenang, sibuk, atau putus semangat. Keindahan saat matahari terbenam dengan berbagai macam warna dihayati secara berbeda oleh orang yang sedang merindukan orang tuanya atau mendambakan kehadiran kekasihnya. Kepekaan religius dapat membuat penghayatan estetis menjadi penghayatan religius. Dalam penghayatan estetis dasar onjektivitasnya tidak dipersoalkan. Refleksi atas dasar objektif dari penghayatan estetis tidak berasal penghayatan estetis, tetapi menjadi refleksi bagi ilmu atau filsafat. (hal. 322).
Penyelaman atas sebuah kenyataan sebagai kebaikan dan keindahan bisa menerobos dinding kenyataan itu sendiri. Karena manusia tidak terjebak dalam formalisme sebuah kenyataan, tetapi mencoba menghayati basis ontologism dari segala sesuatu yang disebut dengan kenyataan. Mendalami basis ontologis ini akan mengantarkn manusia pada sebuah pemaknaan yang substansial, tidak terjebak dalam pemaknaan dangkal yang kerap membuat silau. Dengan menjelajajah basis ontologisnya, manusia bisa mampu memahami disekitarnya dengan segala yang dimilikinya.
Pemahaman seni dalam kehidupan menjadi kekuatan tersendiri yang dijelaskan penulis dalam buku ini, karena apreasiasi kesenian bisa membuka jalan baru pemaknaan yang tidak dogmatis atas formalisme kenyataan. Karena dengan seni, manusia mudah tersentuh basis emosionalnya, sehingga manusia akan mampu membuka tabir factual dari yang terjalin dalam dirinya. Kenyataan justru akan dinikmati dengan seksama, karena manusia bisa menggunakan jiwa estetisnya dalam menggapai pemaknaan substansial atas yng melingkupi dirinya. Manusia menjadi tidak galau dan gamang atas fakta, karena manusia tidak terjebak dalam ruang hampa formalisme. Manusia bisa menikmati dengan segenap rasa yang menyelinap dalam jiwanya, sehingga tumbuh kekuatan keindahan yang bisa menyingkap segala kenyataan lainnya.
Demikian yang diurai penulis untuk menjelaskan ihwal metafisika dalam kajian yang lebih estetis. Memahami metafisika dengan nuansa keindahan lebih memberikan daya makna yang membekas pada diri manusia, karena manusia bisa memanfaatkan jaringan emosionalnya untuk meraih segala kenyataan yang dihadapinya. Tanpa meragukan segala yang lainhya, seluas segala kenyataan yang diketengahkan penulis menjadi sebuah inspirasi menatap masa depan kenyataan yang penuh simbolisme dan fatamorgana. Jangan sampai manusia kehilangan jiwa estetisnya mendalami segala kenyataan.
Berjalan dalam seluas segala kenyataan memang asyik, membuat kita berselancar dalam aliran sungai yang indah untuk menatap masa depan.
*Penikmat buku
Sumber: http://oase.kompas.com
Judul buku : Seluas Segala Kenyataan
Penulis : Adelbert Snijders
Penerbit : Kanisius Yogyakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 334 halaman
Seringkali manusia alpa substansi di balik yang senyatanya. Manusia kerap terjebak dalam altar kenyataan, karena menggapai seluas segala kenyataan tak diperhitungkan dalam kalkulasi positivistic kemanusiaan modern. Kenyataan kerap kabur, dan manusia kerap kebingungan menghadapi kenyataan disekitarnya. Ironisnya lagi, manusia gampang “mendewakan” kenyataan yang “menentramkan” diri normatifnya. Dalam terlena dalam ruas luar sebuah kenyataan, manusia akhirnya banyak yang bimbang menghadapi kenyataan yang tertangkap dalam ruang kehidupannya. Tidak sedikit manusia modern yang bunuh diri karena gagal menangkap kenyataan yang hadir dalam sudut kehidupan yang sedang mereka jalani.
Karena kerap kalau dengan kenyataannya sendiri, sudah saatnya manusia belajar memahami dan menghayati kenyataan itu sendiri. Dengan membedah seluas kenyataan itulah manusia akan bisa menemukan hakekat kemanusiaannya, sehingga menjalani hidup tanpa kegalauan dan kehampaan. Disinilah menarik untuk menjelajah buku bertajuk “Seluas Segala Kenyataan” karya Adelbert Snijders. Penulis merupakan pakar kajian metafisika, sehingga jalan penelusuran dalam mengkaji kenyataan dalam buku ini merupakan kajian terhadap metafisika. Namun menjadi menarik, karena menyajikan analisis kenyataan dengan penuh makna dan mengandung siratan kajian yang filosofis, penuh renungan.
Penulis melihat kenyataan dalam persektif kebaikan. Kebaikan sebagai sifat transcendental dari kenyataan cara klasik. Dirumuskan: “tiap kenyataan adalah baik” (omne ens est bonum). Dasar kebaikannya adalah “karena” (quia) berada dan “sejauh” (quatenus) menurut derajat mengada. Sifat kebaikan melihat kenyataan dalam relasinya dengan kehendak atau (secara lebih umum) dalam realasinya dengan hasrat (apetitus). Kenyataan disebut baik karena kehendak terarah dan tertarik kepadanya. Kenyataan disebut baik karena dapat menyempurnakan. Kenyataan bergerak menuju kepenuhan yang sesuai dengan tingkat mengadanya.
Dalam hal ini, antara Plato dan Aristoteles ada pertentangan. Menurut Plato, pengetahuan tentang ide kebaikan diakui sebagai pengetahuan tertinggi (yang ia umpamakan sebagai matahari) yang memungkinkan kenyataan inderawi menjadi kelihatan dan memungkinkan kenyataan ruhaniah dapat dikenal. Namun ide kebaikan menurut Plato terletak diseberang segala yang berada. Lain halnya dengan tradisi Aristoteles dan Skolastik. Menurut kedua tradisi itu, kebaikan tidak berada diseberang segala yang ada, tetapi bersifat instrinsik untuk kenyataan mengada. Kenyataan dan kebaikan itu secara ontis merupakan identitas. Seperti halnya kenyataan dalam relasinya dengan budi disebut benar (knowable). Demikianlah pula kenyataan disebut baik dalam relasinya dengan relasinya dalam kehendak yang tertarik kepadanya (desirable). Kebenaran yang sudah diperoleh menjadi actuated knowledge dan kebaikan yang telah didapatkan menjadi actuated goodness. (hal 271-272).
Selain dengan kebaikan, penulis juga menyuguhkan analisis bahwa kenyataan juga sebuah keindahan. Dengan keindahanlah kita akan menemukan kenyataan. Penulis menjelaskan bahwa untuk menikmati keindahan alam atau keindahan seni, kondisi dari subjek menjadi penting. Kepekaan untuk menikmati keindahan alam pasti berbeda jika seseorang merasa sedih, gembira, tenang, sibuk, atau putus semangat. Keindahan saat matahari terbenam dengan berbagai macam warna dihayati secara berbeda oleh orang yang sedang merindukan orang tuanya atau mendambakan kehadiran kekasihnya. Kepekaan religius dapat membuat penghayatan estetis menjadi penghayatan religius. Dalam penghayatan estetis dasar onjektivitasnya tidak dipersoalkan. Refleksi atas dasar objektif dari penghayatan estetis tidak berasal penghayatan estetis, tetapi menjadi refleksi bagi ilmu atau filsafat. (hal. 322).
Penyelaman atas sebuah kenyataan sebagai kebaikan dan keindahan bisa menerobos dinding kenyataan itu sendiri. Karena manusia tidak terjebak dalam formalisme sebuah kenyataan, tetapi mencoba menghayati basis ontologism dari segala sesuatu yang disebut dengan kenyataan. Mendalami basis ontologis ini akan mengantarkn manusia pada sebuah pemaknaan yang substansial, tidak terjebak dalam pemaknaan dangkal yang kerap membuat silau. Dengan menjelajajah basis ontologisnya, manusia bisa mampu memahami disekitarnya dengan segala yang dimilikinya.
Pemahaman seni dalam kehidupan menjadi kekuatan tersendiri yang dijelaskan penulis dalam buku ini, karena apreasiasi kesenian bisa membuka jalan baru pemaknaan yang tidak dogmatis atas formalisme kenyataan. Karena dengan seni, manusia mudah tersentuh basis emosionalnya, sehingga manusia akan mampu membuka tabir factual dari yang terjalin dalam dirinya. Kenyataan justru akan dinikmati dengan seksama, karena manusia bisa menggunakan jiwa estetisnya dalam menggapai pemaknaan substansial atas yng melingkupi dirinya. Manusia menjadi tidak galau dan gamang atas fakta, karena manusia tidak terjebak dalam ruang hampa formalisme. Manusia bisa menikmati dengan segenap rasa yang menyelinap dalam jiwanya, sehingga tumbuh kekuatan keindahan yang bisa menyingkap segala kenyataan lainnya.
Demikian yang diurai penulis untuk menjelaskan ihwal metafisika dalam kajian yang lebih estetis. Memahami metafisika dengan nuansa keindahan lebih memberikan daya makna yang membekas pada diri manusia, karena manusia bisa memanfaatkan jaringan emosionalnya untuk meraih segala kenyataan yang dihadapinya. Tanpa meragukan segala yang lainhya, seluas segala kenyataan yang diketengahkan penulis menjadi sebuah inspirasi menatap masa depan kenyataan yang penuh simbolisme dan fatamorgana. Jangan sampai manusia kehilangan jiwa estetisnya mendalami segala kenyataan.
Berjalan dalam seluas segala kenyataan memang asyik, membuat kita berselancar dalam aliran sungai yang indah untuk menatap masa depan.
*Penikmat buku
Sumber: http://oase.kompas.com