Oleh: Yatie Asfan Lubis
Danau Hangzhou menarik perhatian saya ketika saya berkunjung ke Cina pada Mei tahun lalu. Danau yang semula merupakan sebuah laguna di muara Sungai Qiantang, sekitar 200 kilometer dari Shanghai, itu mempunyai beraneka daya tarik. Selain panorama alam yang indah sehingga disebut “surga kecil” Negeri Tirai Bambu, di kawasan itu banyak peninggalan sejarah dan seni budaya.
Chen Gengtao, sopir taksi yang mengantar saya, menganjurkan untuk singgah lebih lama di kawasan danau. Saya menolak, bahkan ketika dia melukiskan betapa indahnya panorama bulan purnama di tempat wisata itu. Namun, ketika sopir yang pandai berbahasa Inggris itu menyarankan untuk menyinggahi Kuil Lin Yin, saya pun menyetujuinya.
Ling Yin adalah kuil terkenal di Cina, yang sejak 1993 ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Terletak di lembah sempit memanjang di antara dua bukit granit yang menjulang tinggi, di antara rimba menghijau seputar Danau Hangzhou. Kuil kuno itu diyakini sebagai tempat bersemayam sukma nan abadi. Baik kuilnya, prasasti, pagoda, gua-gua batunya, maupun arca Buddha di sana memang istimewa. Semua itu menjadi kenangan tersendiri di hati.
Saya menaiki tangga kuil tersebut sambil memandang ke arah atap yang bersusun dua. Saat itu halaman yang diteduhi pohon pelindung diramaikan oleh wisatawan yang akan melaksanakan upacara pembakaran hio di dalam aula utama. Umat Buddha selalu melakukan ziarah ke kelenteng kuno itu, khususnya pada hari-hari besar mereka.
Saat memasuki ruang pertama kuil, ada sebuah prasasti bertuliskan nama Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing (1644-1911). Rupanya, sang Kaisar jatuh cinta pada panorama alam yang luar biasa indah di seputar wihara itu. Ia terkesan pada kabut yang menyelimuti pepohonan rindang, membentang ke rumah ibadah itu. Di situ tertulis ”Wihara Hutan Berkabut”, nama yang dipilih sang Kaisar.
Bangunan dengan atap cungkup ganda itu, setinggi kurang-lebih 18 meter, dinamai “Hall of the Heavenly Kings”. Kira-kira terjemahannya “Balairung Para Raja Surga”. Tepat di atas pintu, ada syair yang membuat saya tercenung beberapa lama. Ada terjemahan yang tertulis di sana:
“… duduk dan nantikan di ambang pintu ini… akan tampak puncak lain terbang dari tempat di kejauhan… senyumlah saat menyongsong musim semi tiba… sementara salju mencair… dan sungai mulai mengalir tenang…”
Rupanya, sajak puitis itu punya sejarah yang menarik!
Puncak lain terbang dari kejauhan? Bait dalam syair itu rupanya terkait dengan kesan seorang biksu India bernama Huili. Ia datang berkunjung ke kawasan Danau Hangzhou pada masa kekuasaan Dinasti Jin Timur (317-420). Bentuk puncak bukit itu memang tampak unik bagi warga Tiongkok, namun kerap ditemukan di India sana. Alhasil, ia yakin bahwa bukit tersebut terbang dari negerinya dan menclok di tempat itu.
Huili menganggap kuil yang ada di tempat itu adalah tempat tinggal keabadian sukma. Nama “Ling Yin” yang diberikannya itu berarti “kuil tempat sukma beristirahat”. Memang tepat kiranya. Suasana begitu hening, memberikan ketenangan untuk menyendiri dan merenung panjang.
Keberadaan kuil ini semakin diperhitungkan pada masa Dinasti Lima dan Tiga Raja (907-960). Raja dari wilayah Wu You memperluas wilayah kuil sebagai bukti pemujaannya kepada sang Buddha. Pada masa kejayaan itu, di halaman berpagar tinggi tersebut berdiri sejumlah bangunan megah. Ada sembilan gedung luas tempat berkumpul untuk melaksanakan ritual, 18 paviliun, 77 puri, dan balairung serta sekitar 13 ribu kamar untuk asrama sekitar 3.000 biksu. Akibat bencana alam dan perang, luas bangunan-bangunan itu sudah banyak berkurang. Dipugar kembali setelah terjadi revolusi budaya di Cina, alhasil batas-batas wilayah zaman tersebut telah hilang ditelan masa.
Lukisan dua hewan mitologi yang dikeramatkan, naga dan burung phoenix, bersemburat warna-warni semarak pada langit-langit ruang berikutnya. Empat Dewa Surga berdiri mengapit Maitreya, Buddha dalam sikap tertawa dengan menunjukkan perutnya yang tambun seolah mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung.
Keluar dari aula ini, saya turun melintasi halaman belakang dan tiba di aula para pahlawan terkemuka atau Da Xiong Bao Dian. Ruang luas ini mempunyai atap ganda setinggi 33,6 meter. Diperkirakan, inilah ruang persembahan Buddha tertinggi di Cina. Pantaslah bila Sakya Muni ditempatkan di sini. Patung Buddha terbuat dari 24 bagian kayu camphor itu tingginya mencapai 24,8 meter. Warna emas menutupi seluruh permukaan patung yang disebut-sebut paling besar di antara seluruh kuil-kuil Buddha yang ada. Dua belas pasang patung ”makhluk suci” mengapit di sisi kanan dan kiri. Mereka bertugas melindungi keadilan. Sementara itu, pada dinding belakang, 12 murid pilihan berjaga sebagai pengawal.
Beragam bangunan dan pagoda yang dibangun pada masa Dinasti Song Utara, Ming dan Tang, dilestarikan di kawasan tertutup ini. Koleksi perpustakaan Buddha yang utama dan penting, serta benda-benda berharga lainnya, melengkapi rumah ibadah yang indah ini. Sehingga para pemerhati sejarah Buddha di Negeri Naga selalu mendapatkan catatan-catatan lengkap dari masa lalu yang gemilang.
Berdekatan dengan ruang itu, saya memasuki Shang Tian Zhu, bagian dari kuil tempat tiga arca Buddha duduk berjajar. Mereka berada di singgasana setinggi dua meter, tampil menjulang setinggi sekitar 9,5 meter. Warna-warni semarak khas Negeri Naga, serta lilin-lilin pemujaan yang senantiasa menyala, menggugah rasa hormat dan kagum saya kepada pemimpin umat Buddha ini.
Tak jauh dari gerbang keluar, ada pagoda setinggi 9 meter dengan delapan tingkat yang dipenuhi catatan prasasti. Dibangun pada tahun 960, dan disebut sebagai bangunan tertua di kawasan kuil ini. Kuil ini berada di tempat yang istimewa karena dibangun pada sebuah lembah memanjang yang sempit. Persisnya antara Bukit Fei Lai Feng dan Bukit Guoziding, di wilayah utara Danau Hangzhou. Nah, di lereng Bukit Fei Lai Feng terdapat gua batu tempat patung-patung Buddha berdiri. Oleh UNESCO, wilayah gua batu itu diresmikan dengan nama China Grotto Art Garden. Sekitar 330 patung Buddha dalam beragam sikap--duduk, berdiri, berbaring--dibuat pada abad ke-10 hingga abad ke-14.
Saya terpana lama waktu menatap arca Buddha berukuran besar yang dipahat dalam gua batu. Maitreya atau “Sang Buddha tertawa” duduk santai dengan roman wajah tertawa bahagia. Perutnya yang tambun dibiarkan terbuka. Saya membayangkan pekerjaan rumit para seniman pada masa itu memahat patung batu sepanjang 9 meter, setinggi 2,6 meter, di bukit itu. Luar biasa.
Satu rombongan wisatawan kulit putih asyik mengabadikan arca yang satu ini. Saya beringsut mendekati dan memasang telinga baik-baik. Pemandu wisata yang fasih omong Inggris bercerita bahwa perut tambun sang Buddha adalah tempat menampung semua kesulitan dunia.
Saya mengekor rombongan turis yang mengunjungi arca Vaisvraba itu. Menurut si pemandu, arca yang menampakkan sang Buddha bersikap gagah, mengendarai seekor singa, adalah salah satu arca terbaik di kawasan itu. Tak jauh dari gua itu saya memandang takjub pada satu arca Buddha dengan sikap yang tidak umum. Vajra Dhara, The Buddha is Mighty, seperti diucapkan pemandu wisata itu, berwajah kekanak-kanakan. “Such a baby face,” bisik perempuan berambut pirang di samping saya. Komentarnya membuat saya berpaling kembali, menatap postur sang Buddha yang terbilang “mungil” dibandingkan dengan semua yang ada di sana.
Saya beruntung, menyetujui usulan Chen Gengtao, untuk melihat dari dekat kuil kuno itu.
Yatie Asfan Lubis, Penikmat Wisata
Sumber: http://ip52-210.cbn.net.id
Danau Hangzhou menarik perhatian saya ketika saya berkunjung ke Cina pada Mei tahun lalu. Danau yang semula merupakan sebuah laguna di muara Sungai Qiantang, sekitar 200 kilometer dari Shanghai, itu mempunyai beraneka daya tarik. Selain panorama alam yang indah sehingga disebut “surga kecil” Negeri Tirai Bambu, di kawasan itu banyak peninggalan sejarah dan seni budaya.
Chen Gengtao, sopir taksi yang mengantar saya, menganjurkan untuk singgah lebih lama di kawasan danau. Saya menolak, bahkan ketika dia melukiskan betapa indahnya panorama bulan purnama di tempat wisata itu. Namun, ketika sopir yang pandai berbahasa Inggris itu menyarankan untuk menyinggahi Kuil Lin Yin, saya pun menyetujuinya.
Ling Yin adalah kuil terkenal di Cina, yang sejak 1993 ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Terletak di lembah sempit memanjang di antara dua bukit granit yang menjulang tinggi, di antara rimba menghijau seputar Danau Hangzhou. Kuil kuno itu diyakini sebagai tempat bersemayam sukma nan abadi. Baik kuilnya, prasasti, pagoda, gua-gua batunya, maupun arca Buddha di sana memang istimewa. Semua itu menjadi kenangan tersendiri di hati.
Saya menaiki tangga kuil tersebut sambil memandang ke arah atap yang bersusun dua. Saat itu halaman yang diteduhi pohon pelindung diramaikan oleh wisatawan yang akan melaksanakan upacara pembakaran hio di dalam aula utama. Umat Buddha selalu melakukan ziarah ke kelenteng kuno itu, khususnya pada hari-hari besar mereka.
Saat memasuki ruang pertama kuil, ada sebuah prasasti bertuliskan nama Kaisar Kangxi dari Dinasti Qing (1644-1911). Rupanya, sang Kaisar jatuh cinta pada panorama alam yang luar biasa indah di seputar wihara itu. Ia terkesan pada kabut yang menyelimuti pepohonan rindang, membentang ke rumah ibadah itu. Di situ tertulis ”Wihara Hutan Berkabut”, nama yang dipilih sang Kaisar.
Bangunan dengan atap cungkup ganda itu, setinggi kurang-lebih 18 meter, dinamai “Hall of the Heavenly Kings”. Kira-kira terjemahannya “Balairung Para Raja Surga”. Tepat di atas pintu, ada syair yang membuat saya tercenung beberapa lama. Ada terjemahan yang tertulis di sana:
“… duduk dan nantikan di ambang pintu ini… akan tampak puncak lain terbang dari tempat di kejauhan… senyumlah saat menyongsong musim semi tiba… sementara salju mencair… dan sungai mulai mengalir tenang…”
Rupanya, sajak puitis itu punya sejarah yang menarik!
Puncak lain terbang dari kejauhan? Bait dalam syair itu rupanya terkait dengan kesan seorang biksu India bernama Huili. Ia datang berkunjung ke kawasan Danau Hangzhou pada masa kekuasaan Dinasti Jin Timur (317-420). Bentuk puncak bukit itu memang tampak unik bagi warga Tiongkok, namun kerap ditemukan di India sana. Alhasil, ia yakin bahwa bukit tersebut terbang dari negerinya dan menclok di tempat itu.
Huili menganggap kuil yang ada di tempat itu adalah tempat tinggal keabadian sukma. Nama “Ling Yin” yang diberikannya itu berarti “kuil tempat sukma beristirahat”. Memang tepat kiranya. Suasana begitu hening, memberikan ketenangan untuk menyendiri dan merenung panjang.
Keberadaan kuil ini semakin diperhitungkan pada masa Dinasti Lima dan Tiga Raja (907-960). Raja dari wilayah Wu You memperluas wilayah kuil sebagai bukti pemujaannya kepada sang Buddha. Pada masa kejayaan itu, di halaman berpagar tinggi tersebut berdiri sejumlah bangunan megah. Ada sembilan gedung luas tempat berkumpul untuk melaksanakan ritual, 18 paviliun, 77 puri, dan balairung serta sekitar 13 ribu kamar untuk asrama sekitar 3.000 biksu. Akibat bencana alam dan perang, luas bangunan-bangunan itu sudah banyak berkurang. Dipugar kembali setelah terjadi revolusi budaya di Cina, alhasil batas-batas wilayah zaman tersebut telah hilang ditelan masa.
Lukisan dua hewan mitologi yang dikeramatkan, naga dan burung phoenix, bersemburat warna-warni semarak pada langit-langit ruang berikutnya. Empat Dewa Surga berdiri mengapit Maitreya, Buddha dalam sikap tertawa dengan menunjukkan perutnya yang tambun seolah mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung.
Keluar dari aula ini, saya turun melintasi halaman belakang dan tiba di aula para pahlawan terkemuka atau Da Xiong Bao Dian. Ruang luas ini mempunyai atap ganda setinggi 33,6 meter. Diperkirakan, inilah ruang persembahan Buddha tertinggi di Cina. Pantaslah bila Sakya Muni ditempatkan di sini. Patung Buddha terbuat dari 24 bagian kayu camphor itu tingginya mencapai 24,8 meter. Warna emas menutupi seluruh permukaan patung yang disebut-sebut paling besar di antara seluruh kuil-kuil Buddha yang ada. Dua belas pasang patung ”makhluk suci” mengapit di sisi kanan dan kiri. Mereka bertugas melindungi keadilan. Sementara itu, pada dinding belakang, 12 murid pilihan berjaga sebagai pengawal.
Beragam bangunan dan pagoda yang dibangun pada masa Dinasti Song Utara, Ming dan Tang, dilestarikan di kawasan tertutup ini. Koleksi perpustakaan Buddha yang utama dan penting, serta benda-benda berharga lainnya, melengkapi rumah ibadah yang indah ini. Sehingga para pemerhati sejarah Buddha di Negeri Naga selalu mendapatkan catatan-catatan lengkap dari masa lalu yang gemilang.
Berdekatan dengan ruang itu, saya memasuki Shang Tian Zhu, bagian dari kuil tempat tiga arca Buddha duduk berjajar. Mereka berada di singgasana setinggi dua meter, tampil menjulang setinggi sekitar 9,5 meter. Warna-warni semarak khas Negeri Naga, serta lilin-lilin pemujaan yang senantiasa menyala, menggugah rasa hormat dan kagum saya kepada pemimpin umat Buddha ini.
Tak jauh dari gerbang keluar, ada pagoda setinggi 9 meter dengan delapan tingkat yang dipenuhi catatan prasasti. Dibangun pada tahun 960, dan disebut sebagai bangunan tertua di kawasan kuil ini. Kuil ini berada di tempat yang istimewa karena dibangun pada sebuah lembah memanjang yang sempit. Persisnya antara Bukit Fei Lai Feng dan Bukit Guoziding, di wilayah utara Danau Hangzhou. Nah, di lereng Bukit Fei Lai Feng terdapat gua batu tempat patung-patung Buddha berdiri. Oleh UNESCO, wilayah gua batu itu diresmikan dengan nama China Grotto Art Garden. Sekitar 330 patung Buddha dalam beragam sikap--duduk, berdiri, berbaring--dibuat pada abad ke-10 hingga abad ke-14.
Saya terpana lama waktu menatap arca Buddha berukuran besar yang dipahat dalam gua batu. Maitreya atau “Sang Buddha tertawa” duduk santai dengan roman wajah tertawa bahagia. Perutnya yang tambun dibiarkan terbuka. Saya membayangkan pekerjaan rumit para seniman pada masa itu memahat patung batu sepanjang 9 meter, setinggi 2,6 meter, di bukit itu. Luar biasa.
Satu rombongan wisatawan kulit putih asyik mengabadikan arca yang satu ini. Saya beringsut mendekati dan memasang telinga baik-baik. Pemandu wisata yang fasih omong Inggris bercerita bahwa perut tambun sang Buddha adalah tempat menampung semua kesulitan dunia.
Saya mengekor rombongan turis yang mengunjungi arca Vaisvraba itu. Menurut si pemandu, arca yang menampakkan sang Buddha bersikap gagah, mengendarai seekor singa, adalah salah satu arca terbaik di kawasan itu. Tak jauh dari gua itu saya memandang takjub pada satu arca Buddha dengan sikap yang tidak umum. Vajra Dhara, The Buddha is Mighty, seperti diucapkan pemandu wisata itu, berwajah kekanak-kanakan. “Such a baby face,” bisik perempuan berambut pirang di samping saya. Komentarnya membuat saya berpaling kembali, menatap postur sang Buddha yang terbilang “mungil” dibandingkan dengan semua yang ada di sana.
Saya beruntung, menyetujui usulan Chen Gengtao, untuk melihat dari dekat kuil kuno itu.
Yatie Asfan Lubis, Penikmat Wisata
Sumber: http://ip52-210.cbn.net.id