Yogyakarta- Siapa yang mengira bangunan Keraton Yogyakarta tidak termasuk bangunan cagar budaya yang dilindungi undang-undang? Padahal keraton adalah salah satu aset kebudayaan dan pariwisata di Yogyakarta. Tapi itulah yang terjadi. Dari ratusan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta, hanya 28 bangunan yang ditetapkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sebagai bangunan cagar budaya. “Keraton Yogyakarta saja tidak masuk,” ujar Direktur Eksekutif Jogja Heritage Society (JHS) Titi Handayani.
Tak aneh bila bangunan Gandok Tengen, yang dibangun pada abad ke-19, dipapras dinding belakangnya dan kini bak gubuk yang menempel di bangunan mewah Ambarrukmo Plaza setelah Hotel Ambarrukmo tutup warung. “Dulu itu gandok Hamengku Buwono VII,” kata Titi. Padahal bangunan semacam Gandok Tengen, yang merupakan bagian dari Pasanggrahan Ambarrukmo, masuk kategori bangunan cagar budaya yang wajib dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 5 Tahun 1992. Sebelumnya, Gandok Kiwo dibongkar saat Hotel Ambarrukmo dibangun pada 1964.
Gandok Tengen dan Gandok Kiwo hanya satu contoh rusaknya banyak bangunan pusaka di Yogyakarta akibat kepentingan ekonomi, baik lewat praktek penjualan maupun perombakan bentuk aslinya. Pada gilirannya, bangunan cagar budaya itu berubah fungsi, dari bangunan hunian menjadi tempat kegiatan ekonomi. “Alasan yang sering dipakai untuk mengalihfungsikan bangunan cagar budaya adalah ekonomi,” kata Titi.
Lihat saja rumah milik dr Sunardi di Jalan Dr Soetomo yang diubah menjadi Rumah Mode, atau Toko Buku Gramedia yang dulunya merupakan rumah dr Sudomo. Begitu juga nasib rumah berarsitektur Tiongkok yang kini berubah menjadi pusat belanja Ramayana yang berada di kawasan Malioboro.
Masalahnya, kata Titi, mayoritas bangunan cagar budaya itu milik pribadi. “Mestinya pemerintah daerah yang bergerak melalui peraturan yang bersifat mengikat,” ujarnya. Tapi, kata Titi, kebijakan pemerintah daerah tidak memprioritaskan pelestarian cagar budaya. Buktinya, banyak bangunan cagar budaya yang beralih fungsi menjadi bangunan untuk kegiatan ekonomi. Selain itu, kata Titi, hal ini akibat tingginya biaya perawatan bangunan lawas itu dengan pajak bumi dan bangunan yang selangit. Maklum, kebanyakan bangunan lawas kini berada di kawasan ekonomi, yang pajak bumi dan bangunannya mencapai Rp 10 juta per tahun. Akibatnya, banyak pemilik bangunan tua yang menjual rumah mereka. “Kalau pemerintah peduli pelestarian cagar budaya, mestinya ada pengurangan pajak,” kata Titi.
Bahkan penghargaan Pelestari Warisan Budaya yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi pun tak efektif memupuk kepedulian masyarakat. “Tak ada aturan mengikat yang melarang pemiliknya menjual atau merombaknya,” ujar Titi. Tak usah kaget bila pemenang penghargaan itu menjual rumah mereka setelah menerima uang biaya pelestarian.
Titi membayangkan Yogyakarta seperti Kota Savannah di Amerika Serikat, yang mempertahankan bangunan kunonya. Penduduk Kota Savannah bisa hidup sejahtera dari hasil konservasi kawasan kuno. “Bayangkan, dalam setahun sekitar 6 juta wisatawan berkunjung ke sana,” katanya. (Pito Agustin Rudiana)
Sumber: www.korantempo.com (28 Oktober 2008)