Oleh: Febri Diansyah
SATUAN Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas) terlihat bergerak masuk ke sektor mafioso pajak. Lapas Narkotika, Cipinang, tempat Vincentius Amin menjalani hukuman atas tuduhan pencucian uang PT Asian Agri, bahkan sempat disafari oleh tim bentukan presiden itu. Mereka masuk dari dugaan praktik mafia hukum di balik sejumlah kejanggalan penjatuhan vonis terhadap Vincent. Ditenggarai, hal itu berhubungan dengan posisi Vincent sebagai whistle blower. Sejumlah dokumen yang sempat dibuka mengarah ke dugaan penggelapan pajak hingga Rp 1,3 triliun.
Banyak pihak menilai, itu adalah serangan balik terhadap manuver panitia khusus Pansus Angket Bank Century yang bergerak cepat dan nyaris mengancam eksistensi pemerintahan SBY. Namun, satgas membantah. Bahkan, mereka menyatakan bahwa para pengemplang pajak itu memang harus digertak. Seriuskah mereka? Atau, hanya sebatas “gertak sambal”?
Pertanyaan dan syak wasangka tersebut mudah ditepis jika satgas berhasil mendorong penuntasan skandal pajak hingga ke jalur hukum. Dalam artian, ia tidak semata menjadi komodifikasi politik murahan atau semacam alat meningkatkan posisi tawar pemerintah kepada partai koalisi di pansus Century.
Dugaan penggelapan pajak Asian Agri, misalnya. Terutama karena kasus itu sudah diajukan penyidik Dirjen Pajak kepada Kejaksaan Agung April 2008 dengan tuduhan penggelapan pajak. Dan, akan lebih baik jika satgas juga berani mendorong penggunaan delik korupsi untuk memerangi mafia pajak.
Kerah Putih
Kejahatan pajak merupakan salah satu varian di antara kejahatan “kerah putih” (white-collar crimes). Ia memiliki kerumitan tersendiri. Karena itulah, pendekan konvensional yang hanya menggunakan regulasi perpajakan, tanpa melapisi dengan undang-undang tindak pidana korupsi, diperkirakan tidak akan berhasil.
Khusus polemik perpajakan di Asian Agri bermula dari informasi yang diberikan ke KPK oleh Vincentius, Dirjen pajak sebenarnya sudah memeriksa, menyita dokumen, hingga akhirnya menetapkan 12 tersangka. Perusahaan yang berada di bawah payung Grup Raja Garuda Mas (RGM) itu diduga melakukan pidana pajak pada 2002-2006. Hingga, pada pertengahan 2008 (25/4), Tim Pajak menyerahkan setumpuk alat bukti kepada Kejaksaan Agung. Harapannya, kejaksaan menuntaskan tugasnya menyeret pelaku ke tingkat penuntutan di pengadilan.
Sayang, hampir tiga tahun berselang informasi penanganan skandal pajak itu nyaris tenggelam. Kemudian, itu muncul kembali melalui sidak Satgas ke lapas Vincent. Karena itulah, Satgas seharusnya tidak hanya berbicara tentang praktik mafia hukum dalam proses peradilan Vincent, tetapi juga masuk lebih dalam ke jantung persoalan. Mungkin, mafia peradilan di balik penanganan kasus kasus Asian Agri jauh lebih penting.
Konstruksi Hukum
Kacamata paling sederhana yang perlu digunakan adalah pasal 39 ayat (1) butif (d) dan (f) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP). Poin yang perlu dibuktikan adalah surat pemberitahuan Asian Agri tidak benar dan ada upaya pemalsuan dokumen.
Dengan logika bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara, manipulasi data surat pemberitahuan akan merugikan negara. Mafia pajak biasanya bermain di manipulasi data/pembukan agar tidak menyetorkan sejumlah biaya pajak kepada negara.
Ada lima modus utama yang bisa digunakan untuk membaca kasus tersebut. Pertama, transfer pricing. Pengertian yang sederhana adalah upaya mengalihkan penghasilan kena pajak dari suatu negara dengan tarif pajak tinggi (Indonesia) ke negara lain dengan tarif pajak rendah atau negara Tax Haven (Misalnya: Singapura, Hongkong, dan Swiss). Pemindahan tersebut dilakukan dengan cara penjualan perusahaan lintas negara, padahal perusahaan sebenarnya dimiliki atau dikuasasi orang yang sama.
Dalam modus tersebut, Indonesia sangat dirugikan karena pajak yang seharusnya diterima negara dilarikan ke negara-negara tax haven. Padahal, sumber daya yang digunakan, sampah yang dibuang, dan bahkan sarana dan prasarana yang digunakan berasal dari uang rakyat Indonesia.
Kedua, transaksi hedging fiktif. Tujuan yang sederha, perusahaan tercatat rugi sehingga tidak ada kewajiban membayar pajak. Penyiasatan seperti itulah yang dapat dibidik oleh tim pajak dan kejaksaan dimulai dari indikasi adanya upaya penipuan data keuangan.
Sama halnya dengan poin kedua, tiga modus lain adalah dugaan management fees yang fiktif, mark up pembelian aset, dan tambahan biaya fiktif lainnya. Tujuan dari tiga modus terakhir, agar seolah-olah perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya sehingga keuntungan/penghasilan menurun jauh. Konsekuensi logis sederhana dari ini bahwa jumlah pajak yang harus dibayarkan berkurang drastis.
Delik Korupsi
Adanya kerugian negara seperti disebutkan di atas menjadi dasar kasus manipulasi pajak dapat dijerat dengan korupsi. Karena itulah, ICW menyarankan penggunaan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo 20/2001) untuk menjerat pihak yang diduga mafia pajak secara berlapis. Hal itu bertujuan nanti pelaku tidak dibebaskan di pengadilan karena berlindung di balik sejumlah kelemahan Undang-Undang Perpajakan. Sangat memungkinkan sebuah kasus pidana pajak dialihkan ke sekadar pertanggungjawaban administratif dan perdata.
Penegak hukum dapat menggunakan hasil rakernas Mahkamah Agung pada 2007 di Makasar, yang menyatakan bahwa sepanjang sebuah kejahatan atau bahkan pelanggaran administrasi memenuhi unsur UU Korupsi, maka ia bisa dijerat dengan delik korupsi. Setidaknya, unsur kerugian keuangan negara, melawan hukum, dan menguntungkan pihak lain diduga sangat mungkin terpenuhi dalam kasus Asian Agri tersebut.
Satgas sepatutnya secara serius menempatkan analisis hukum tindak pidana korupsi untuk membongkar skandal pajak. Baik untuk kasus Asian Agri maupun perkara lain yang merugikan keuangan negara secara signifikan. Kemudian, mengawal dan memastikan penggelapan pajak atau korupsi pajak diajukan ke persidangan. Setidaknya untuk membuktikan kepada publik bahwa Satgas tidak main-main. Satgas bukan sekadar “dayang-dayang” dan “pentungan politik” kekuasaan untuk membungkam kekuatan yang kritis terhadap pemerintah. Itulah indikator apakah Satgas patut dipercayai, atau sebaliknya disimpan di dalam laci.(*)
Febri Diansyah, peneliti hukum, anggota Badan Pekerja ICW
Sumber : Jawa Pos, Senin, 22 Februari 2010