Oleh: Emerson Yuntho
TAHUN 2010 dapat dikatakan sebagai tahun pemilihan kepala daerah (pilkada). Sebanyak 246 pilkada, yang terdiri atas 7 pemilihan di tingkat provinsi, 204 pemilihan di tingkat kabupaten, dan 35 pemilihan di tingkat kotamadya, digelar di beberapa daerah di Indonesia. Jumlah tersebut merupakan yang paling banyak dalam sejarah pesta demokrasi di negeri ini.
Meskipun belum bergulir, berbagai masalah krusial mulai muncul. Ketidakcukupan anggaran, konflik komisi pemilihan umum (KPU) dan badan pengawas pemilu (Bawaslu), serta minimnya persiapan di tingkat daerah merupakan potensi kegagalan pilkada yang harus disikapi sejak dini.
Selain itu, persoalan korupsi dalam pilkada akan menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian semua pihak. Dalam hal ini Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 (tiga) potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti.
Pertama, politik uang (money politic). Praktik politik uang di dalam pilkada muncul sejak penentuan nominasi kandidat oleh partai politik pendukung hingga proses pencoblosan. Pola politik uang pada saat pilkada relatif sama dengan praktik politik uang Pemilu 2009 lalu. Pembagian uang secara langsung terjadi pada masa kampanye. Praktik ini dilakukan untuk memobilisasi pemilih dalam menghadiri rapat akbar yang dilakukan setiap kandidat.
Di daerah pedesaan praktik politik uang terjadi dalam bentuk pemberian sembako, pembagian uang dalam forum pengajian, serta dana bantuan desa. Praktik ini dilakukan untuk memengaruhi pemilih agar memilih calon tertentu pada hari pencoblosan.
Namun, temuan kasus-kasus politik uang pada saat pilkada juga terancam tidak dapat ditindaklanjuti ke proses penegakan hukum. Hal ini disebabkan tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang.
Kedua, potensi manipulasi dana kampanye. Hal ini akibat dari longgarnya pengaturan dana kampanye pilkada. Potensi manipulasi diperkirakan sama dengan yang terjadi pada saat pemilu presiden 2009 lalu. Lemahnya aturan akan memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber haram ke rekening pemenangan kampanye pasangan kepala daerah. Kondisi ini akan diperparah dengan lumpuhnya pengawasan atas dana kampanye.
Regulasi yang berkaitan dengan pilkada, yaitu UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, misalnya, tidak memberikan batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Selain itu, tidak ada kewajiban pencatatan pengeluaran, tidak dijelaskan secara rinci identitas penyumbang (apa saja keterangan penyumbang yang harus dicantumkan) dan kategori penyumbang yang tidak jelas identitasnya serta tidak ada sanksi terhadap temuan hasil audit jika bermasalah.
Di lapangan, batasan yang jelas mengenai politik uang masih menjadi perdebatan. Pembagian uang pada saat kampanye masih dianggap sebagai ongkos politik, bukan praktik politik uang meski dari segi nominal jauh di atas kebutuhan wajar untuk transportasi dan konsumsi.
Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan juga diperkirakan marak pada pilkada. Hal ini telah terlihat marak terjadi dan sarat mewarnai fenomena pelanggaran Pemilu 2009.
Dari hasil pemantauan ICW dan jaringan kerja di empat daerah (Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta) ditemukan setidaknya 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan. Modus penggunaan jaringan birokrasi dalam bentuk mobilisasi pengawai negeri sipil (PNS) menjadi modus yang paling sering ditemukan. Hal ini sangat krusial karena pelanggaran terkait jabatan sudah mengarah pada indikasi korupsi.
Pemantauan ICW juga menemukan adanya modus-modus penggunaan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) untuk pemenangan pilkada. Misalnya, penggunaan program-program populis seperti alokasi dana bantuan langsung tunai, program kesehatan gratis, sembako murah, beras untuk masyarakat miskin, bantuan sosial, dan sebagainya. Bentuk lain adalah program-program titipan di dinas/instansi pemerintah dan proyek sosialisasi di KPUD dan dinas pemerintah daerah. Kondisi demikian menyebabkan potensi korupsi pilkada, terutama akan sangat marak terjadi di daerah yang diikuti calon pasangan yang berasal dari kepala daerah yang masih menjabat (incumbent).
Kebanyakan modus korupsi pilkada akan sangat sulit diusut karena lemahnya pengaturan dan banyaknya lubang penyiasatan (legal loopholes) dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada. Juga karena lemahnya pengawasan lembaga pengawas pemilu dan pengawasan publik (masyarakat dan media).
Potensi korupsi anggaran pada saat pilkada terjadi karena tidak adanya aturan pelarangan yang tegas terkait dengan penggunaan uang negara untuk kepentingan pilkada. Ini terlihat dari maraknya program populis di saat pelaksanaan pilkada sehingga memudahkan penggunaannya oleh calon yang memiliki akses ke kekuasaan. Lemahnya pengawasan dan tindak lanjut atas indikasi korupsi pilkada adalah salah satu kelemahan di institusi penyelenggara yang terkesan membiarkan terjadinya korupsi pilkada.
Seharusnya pemerintah dapat mengambil tindakan untuk menutup peluang terjadinya korupsi dalam pilkada. Harus ada larangan tegas tentang penggunaan fasilitas dan anggaran instansi untuk kepentingan pilkada. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu didorong agar segera membuat standar anggaran pilkada dalam rangka membatasi penggunaan dana APBD untuk kepentingan pelaksanaan pilkada.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga dapat dilibatkan dalam menyosialisasikan potensi korupsi dalam masa kampanye sampai pemungutan suara. Sedangkan aparat penegak hukum dan KPK perlu bertindak tegas terhadap temuan praktik korupsi yang terjadi selama dan sesudah pilkada. (*)
Emerson Yuntho, wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Sumber : Jawa Pos, Rabu, 24 Februari 2010