Kemuliaan dan Kehinaan Jabatan

Oleh: Yudi Latif

KEDAPATAN bermain golf ketika terjadi pemogokan buruh, (mantan) Menteri Tenaga Kerja Korea Selatan menuai kritik publik yang pedas. Tanpa menunggu pembuktian kesalahannya secara legal-formal, ia secara sukarela meletakkan jabatan.

Bermain golf bukan sesuatu yang salah. Apalagi, ia tak menyadari akan adanya pemogokan buruh. Secara legal-formal tidak ada hal yang ia langgar yang memaksanya harus mundur. Namun, ia sadar jabatan publik adalah suatu amanah, kepercayaan publik. Bukan hanya karena pelanggaran hukum seorang pejabat harus mundur, tetapi juga karena alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan publik. Kegagalan merawat kepercayaan publik ini tidak selalu karena kesengajaan atau ketidakmampuan, tetapi bisa juga karena kelalaian atau bahkan kesialan.

Publik tidak selalu identik dengan rakyat seluruhnya. Ruang publik adalah ranah diskursif, tempat opini kritis diungkapkan. Seorang pejabat boleh jadi dipilih mayoritas rakyat, tetapi dalam banyak kasus, bisa jatuh karena opini publik segelintir orang.

Tentu tak semua kritik harus dijawab dengan pengunduran diri. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, “Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara lain untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pejabat negara harus memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal. Secara internal, ia harus jujur kepada hati nurani. Secara eksternal, harus mampu membaca ayat publik untuk bisa menakar otentisitas aspirasi massa kritis. Dengan itu, ia bisa menentukan jenis kelalaian dan tuntutan publik yang pantas direspons dengan meletakkan jabatan.

Dengan kepekaan etis seperti itu, keputusan mengundurkan diri tak perlu diratapi sebagai kekalahan atau kehinaan, sebaliknya adalah pertanda kemuliaan budi pekerti. Pejabat tinggi, dalam bahasa Wakil Presiden Boediono, adalah suatu “dedikasi kepada bangsa dan negara”. Pusat perhatiannya bukan pada kepentingan sendiri, tetapi pada kemaslahatan bagi pengabdian. Tak sepantasnya jabatan dipertahankan, dengan dalih pengabdian, sekiranya justru berdampak negatif bagi pemerintahan dalam upayanya memulihkan kepercayaan publik. Seperti kata Lord Acton, “There is no worse heresy than that the office sanctifies the holder of it.”

Jabatan bukan segala-galanya. Jika masih dipercaya mengembannya, tunaikan secara bertanggung jawab. Jika sudah tak dipercaya, lepaskanlah dengan penuh tanggung jawab. Meletakkan jabatan secara elegan, tanpa perlu menunggu prosedur formal atau ongkos sosial-politik yang mahal, adalah bagian dari tata krama demokrasi.

Demokrasi Indonesia kontemporer bukan tak memiliki contoh. Setelah pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak MPR, ia mengundurkan diri dari pencalonan dalam pemilihan presiden. Akbar Tandjung mencoba membujuk dengan menjanjikan untuk mengonsolidasi suara Golkar. Habibie tetap bergeming, dengan alasan rakyat sudah tidak memercayai. Padahal, sekiranya bertahan, ia mungkin saja memenangi pemilihan.

Apalah artinya mempertahankan jabatan jika hal itu menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan serta menyulitkan pemulihan kepercayaan publik atas pemerintah. Di sinilah kualitas kenegarawanan seseorang diuji. Sosok demokrat seseorang dibuktikan.

Tes terakhir seorang negarawan demokrat (di Indonesia) bukan dalam kesediaan untuk memangku jabatan, melainkan kesediaan untuk meletakkan jabatan. Di sini, problem utama kenegaraan terletak pada surplus pemburu jabatan. Jabatan dicoba diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara, yang merusak tatanan kenegaraan dan demokrasi. Hanya sedikit perkecualian orang yang memiliki jiwa asketis, yang tidak tergoda kekuasaan atau bisa mengendalikan diri secara etis dalam meraih kekuasaan serta mau melepas jabatan secara sukarela.

Intelektual dalam kekuasaan dituntut memberikan keteladanan di tengah kegersangan etis jagat politik Indonesia. Dalam perspektif Weberian, kaum intelektual diidealkan mampu mempertahankan jarak dan perspektif kritisnya terhadap kekuasaan. Namun, keterlibatan intelektual dalam dunia politik dan pemerintahan bisa ditoleransi sejauh mampu mempertahankan otonomi individunya untuk tak terperosok dalam keguyuban malapraktik politik dan menjaga agar dunia politik tak menjadi kuburan bagi nilai etis dan kebebasan individu.

Penguatan etika politik adalah pertaruhan masa depan demokrasi di Indonesia. Masalah korupsi dan kelemahan pertanggungjawaban publik di negeri ini bukanlah karena defisit hukum, tetapi terutama karena erosi etika politik. Padahal, etika politik yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi moral orang lain.

Dalam panggung politik, klaim etis sering dipakai untuk memojokkan pengkritik tanpa kemampuan refleksi diri untuk menginsafi kelalaian etis pejabat negara. Loyalitas partai koalisi dituntut dengan klaim etis, tetapi melalaikan prinsip etis yang fundamental menurut demokrasi konstitusional, loyalitas tak dibenarkan untuk tujuan keburukan dan pelanggaran hukum. Gotong-royong hanya dibenarkan dalam kebajikan dan takwa, tidak dalam kesesatan dan keburukan!

Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

Sumber : Kompas, Selasa, 2 Maret 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts