Pansus Century, Kemajuan Demokrasi

Oleh: Adnan Buyung Nasution

HARI ini akan digelar Sidang Paripurna DPR untuk mendengar laporan akhir Panitia Khusus Bank Century, sebelum DPR mengambil keputusan akhir besok. Sebelum mencapai kesimpulan akhir, belum terlambat bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelesaikan persoalan ini.

Ia bisa hadir di DPR memberikan amanat lebih dulu sebagai kepala eksekutif mengenai kebijakan pemberian dana talangan (bail out) kepada Bank Century. Pidato dilakukan sebelum pemungutan suara untuk menentukan sikap DPR. Yudhoyono secara langsung dan serta merta menyatakan secara terbuka bahwa kebijakan penalangan adalah kebijakan murni pemerintah demi mengatasi bahaya atau potensi ekonomi di dalam negeri yang bisa menjerumuskan Indonesia dalam pusaran krisis global.

Setelah Presiden mengucapkan sikapnya mengambil alih tanggung jawab di depan rakyat, sesuai dengan sistem presidensial, presiden melakukan penyelesaian politik secara komprehensif, yaitu dengan menyatakan akan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan proses hukum terhadap semua pejabat yang bertanggung jawab.

Buat saya tak soal apakah Pansus menyebutkan nama dalam laporannya karena saat ini tren dunia tidak lagi menutupi nama mereka yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Kecuali Inggris yang sampai saat ini masih menggunakan inisial nama. Boediono atau Sri Mulyani Indrawati baru dapat dikatakan bersalah kalau ia mengetahui atau melakukan silent approval atas larinya uang talangan itu kepada pihak-pihak yang akan diuntungkan secara melanggar hukum.

Kemajuan Demokrasi

Saya anggap penggunaan hak angket DPR ini adalah suatu kemajuan dalam proses demokrasi. Kedudukan DPR menjadi kuat dan berimbang dengan pemerintah. Presiden Yudhoyono pun mengakui secara implisit sikap dan inisiatif DPR ini tepat, dengan mendukung upaya Pansus. Posisi Partai Demokrat yang semula menolak kemudian mendukung 100 persen dengan jargon “Bukalah semuanya agar terang benderang.”

Memang di balik inisiatif yang wajar dan tepat ini ada kemungkinan motivasi lain atau agenda terselubung, atau secara apriori mencari kesalahan pemerintah untuk menjatuhkan Presiden melalui proses pemakzulan. Hal itu mungkin saja dalam politik dan perlu menjadi peringatan dan kewaspadaan kita ke depan. Namun, sekarang, ketika Pansus hampir tiba di garis finis, kita menyaksikan munculnya praktik politik kotor untuk mengamankan kekuasaan presiden. Sejumlah “orang dalam” Istana berkeliling menebarkan intimidasi, insinuasi ataupun teror terhadap inisiator Pansus dan sejumlah tokoh partai/masyarakat yang berpengaruh untuk mengubah keputusan Pansus yang dianggap memojokkan pemerintah.

Manuver politik seperti ini mengesankan gaya feodalisme dan mirip muslihat Orde Baru dalam menyelesaikan masalah. Presiden Soeharto dulu diam seribu bahasa, tetapi antek-anteknya bergerilya ke sana kemari mengancam agar pemerintah tidak diganggu. Staf Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mendatangi Kantor KPK dan setelahnya mengumbar pernyataan bahwa sejumlah partai meminta barter kasus hukum.

Utusan yang lain, Staf Khusus Bidang Bencana Andi Arief yang kurang jelas rekam jejaknya, amat tidak etis bila mengatasnamakan Presiden menemui tokoh-tokoh politik nasional sekaliber Sjafii Maarif, Amien Rais, dan Akbar Tandjung. Kalau ini menjadi landasan moral dan politik pemerintah dalam mengelola kekuasaannya, sungguh suatu tindakan yang ceroboh. Terlalu naif bila mengatakan bahwa Presiden tidak mengetahui sama sekali perbuatan anak buahnya di tengah keterbukaan media informasi saat ini.

Andaikan Presiden adalah orang yang berani mengambil risiko, cara yang lebih terhormat adalah ia sebagai kepala negara mengundang elite politik ke istana. Tujuannya untuk bermusyawarah dan mencari solusi guna meredakan eskalasi politik di babak akhir kerja Pansus.

Soeharto juga tetap anteng ketika Petisi 50 mengkritisi jalannya pemerintahan. Padahal, penanda tangan petisi tersebut, HR Dharsono, Burhanuddin Harahap, Ali Sadikin, M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, merupakan tokoh-tokoh terhormat. Namun, antek-antek Soeharto bekerja di bawah tanah mematikan hak perdata tokoh-tokoh tersebut. The King can do no wrong, raja tidak pernah salah, yang salah adalah anak buah.

Tumbuhkan Kepercayaan

Sebenarnya Yudhoyono tidak perlu khawatir. Ia dipilih secara langsung oleh rakyat dengan kemenangan 61 persen suara. Oleh karena itu, Yudhoyono sebaiknya hadir di Gedung DPR untuk mengambil alih tanggung jawab agar masyarakat tenang dan tenteram kembali. Dengan demikian, pemerintah dapat berjalan lagi dengan wajar.

Andaikata ini jalan yang ditempuh Presiden, selanjutnya, Presiden perlu melakukan perombakan total kabinetnya. Supaya membuka harapan baru dan menumbuhkan kembali kepercayaan (trust) terhadap pemerintahan yang dipojokkan oleh temuan Pansus. Caranya: bentuk kabinet presidensial yang baru dengan menghapuskan koalisi, dan semua kementerian yang tidak efektif dan menyusun struktur pemerintahan yang baru, tetapi tetap bersifat presidensial.

Untuk keperluan ini, kita patut mencontoh sejarah politik dan ketatanegaraan di Indonesia periode transisi dari demokrasi parlementer tahun 1950-an ke demokrasi terpimpin Orde Lama Soekarno. Pada saat itu, Presiden Soekarno masih tetap dipercaya rakyat sebagai pemimpin besar meskipun ia tidak dipilih secara langsung oleh rakyat seperti Yudhoyono.

Presiden Yudhoyono memerlukan seorang atau lebih pendamping dalam menjalankan roda pemerintahan supaya efektif dan efisien. Saat berdampingan dengan Jusuf Kalla, Yudhoyono memiliki eksekutor yang berani melakukan terobosan to get things done.

Ke depan, dalam kabinet baru, Yudhoyono menjabat Presiden/Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, tetapi ia perlu didampingi tiga wakil pelaksana harian yang lebih menyerupai wakil perdana menteri, yang berasal dari Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Sebagaimana dulu Soekarno mengangkat Chaerul Saleh dari Indonesia Barat, Juanda dari Indonesia Tengah, dan Leimena dari Indonesia Timur.

Ini pilihan agar pemerintah kuat dan mampu kerja secara nyata. Masyarakat akan menatap lima tahun ke depan dengan lebih pasti, mengingat baru 100 hari pemerintah bekerja, posisinya sudah oleng karena sikap pemimpin tertinggi yang terlalu banyak pertimbangan dan terlalu hati-hati, kalau tak mau dikatakan ragu-ragu.

Tentu saja hal ini membawa implikasi pada pemahaman ataupun interpretasi terhadap UUD 1945 yang menurut saya bisa disesuaikan menurut konvensi ketatanegaraan karena masih dalam kerangka sistem presidensial. Agar bangsa dan negara ini selamat dan mencapai cita-cita luhur kemerdekaan bangsa

Partai Demokrat tidak perlu takut kehilangan mitra koalisi. Karena kalau mereka kecewa dan terus digoyang melalui lembaga parlemen, rakyatlah yang akan menjadi pembela pemerintah.

Adnan Buyung Nasution, Ahli Hukum Tata Negara

Sumber : Kompas, Selasa, 2 Maret 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts