Oleh: Zainal Arifin Mochtar
SALAH satu pembicaraan penting di sekitar kasus Bank Century saat ini adalah adanya politisasi. Amunisi para pihak yang membela proses pemberian dana talangan kepada Bank Century adalah berteriak lantang perihal adanya politisasi untuk kriminalisasi Boediono dan Sri Mulyani Indrawati.
Spekulasi yang beredar, ini dilakukan pihak-pihak yang merasa terganggu oleh sepak terjang keduanya, khususnya yang berkaitan dengan isu pengemplangan pajak. Kubu yang “kebakaran jenggot” karena merasa diserang beranggapan hal itu hanyalah pengalih isu dan oleh karenanya mengajak agar publik tetap berada di jalur kasus Bank Century, tanpa perlu melebar ke hal-hal yang lain.
Masing-masing pihak berupaya memolitisasi pemberantasan korupsi untuk menutupi perkara korupsi yang lain. Jika hal ini ditarik ke dalam konsep pemberantasan korupsi, pertanyaan adalah “haram”-kah adanya politisasi?
Dalam ranah pemberantasan korupsi, politisasi jenis yang dicontohkan di atas seharusnya bukan hal yang haram. Proses politik hanya mempercepat proses pengungkapan pemberantasan korupsi. Dalam term itulah, politisasi dan korupsi telah menjadi dua sisi pada keping mata uang yang sama. Sering kali, pemberantasan korupsi itu sendiri menjadi bagian dari proses politik dalam upaya membangun kepercayaan. Anthony BL Cheung (2008) menuliskan bahwa pemberantasan korupsi sesungguhnya sangat mungkin untuk menjadi bagian menarik demi membangun trust dan legitimasi, paling tidak bisa digunakan untuk memenangkan hati publik.
Maka, tak mengherankan ketika pemberantasan korupsi itu sendiri menjadi bagian integral pembentukan opini publik, baik dengan agenda serius untuk menyelesaikan kasus Century maupun karena adanya kenakalan para pengemplang pajak.
Dalam konteks itulah, kesadaran publik seharusnya dibuka lebar agar mampu melihat secara detail politisasi ini. Tentu dengan beberapa pendekatan dan penekanan. Pertama, jauhkan dari cara berpikir dengan prinsip saling menegasi. Tidak bisa diterima secara logis bahwa, karena ada kasus pengemplangan pajak, kasus Century hanyalah rekayasa dan tidak ada unsur koruptifnya. Begitu juga sebaliknya. Tidaklah logis untuk mengatakan bahwa dengan tetap berada di jalur mengejar penjahat di kasus Century, kasus pengemplangan pajak hanyalah upaya untuk mengalihkan isu dari kasus Century.
Kedua, jangan sampai larut pada isu politisasinya, tetapi tetaplah pada jalur perilaku koruptifnya. Jika memang ada perilaku koruptif di perkara Century, kita harus katakan dengan jujur wilayah itu. Begitu pula dengan perkara pengemplangan pajak. Baik kasus Century maupun kasus pengemplangan pajak harus ditelisik lebih dalam untuk melihat di manakah perilaku koruptifnya, atau di manakah letak kejahatannya. Jika memang ada, kejahatannya harus dikejar.
Perspektif ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah melaksanakan penegakan hukumnya. Karenanya, dibanding memberikan santapan opini politisasi pemberantasan korupsi, jauh lebih tepat untuk segera membawanya ke jalur hukum. Jangan berlama-lama di wilayah politik yang hanya semakin memuluskan langkah politisi untuk saling jualan daya tawar.
Kita semua heran bercampur geram dengan berbagai “gertak sambal” kasus Century akan dibawa ke forum hukum atau tidak. Sama heran dan geramnya dengan mengangkat kasus pengemplangan pajak yang hanya dijadikan bahan untuk menyandera penyidikan kasus Century. Jika memang ada wilayah pelanggaran hukum, keduanya harus se- gera diselesaikan. Para pengemplang pajak segera jadikan tersangka. Para penjahat Century segera jadikan pesakitan untuk proses hukum. Dorong proses politik untuk segera bersalin rupa menjadi proses hukum.
Pentingnya Politisasi
Politisasi pada pemberantasan korupsi memang seharusnya dimaknai sebagai sebuah proses pemberantasan korupsi. Dengan adanya politisasi, sesungguhnya menjadi faktor pendorong percepatan pemberantasan korupsi.
Dalam konteks yang lain juga terjadi menjelang perhelatan pilkada di banyak tempat. Biasanya, isu korupsi pada masa lalu merebak seiring dengan adanya kandidat yang mencalonkan diri dalam proses pilkada. Isu korupsi kemudian dibuka lebar menjadi politisasi agar menghentikan langkah musuh dalam proses kontestasi. Apabila memang ada kandidat yang pernah melakukan tindakan korupsi, naikkan hal itu menjadi isu pada pemilihan.
Sepanjang benar, politisasi perkara korupsi memungkinkan kita untuk membongkar skandal-skandal korupsi secara bersamaan. Hal ini bisa bermakna: sekali merengkuh dayung politik, dua-tiga perkara korupsi semoga bisa terbongkar.
Zainal Arifin Mochtar, Pengajar FH Universitas Gadjah Mada; Direktur PuKAT Korupsi FH UGM, Yogyakarta
Sumber : Kompas, Kamis, 18 Februari 2010