Oleh: Dr. Maqdir Ismail
KEMARAHAN dan sumpah serapah terhadap Artalyta Suryani, Alin, Darmawati Dareho, Ines Wulandari, dan Eri Fuad karena mendapat fasilitas lebih dibandingkan narapida atau tahanan lain di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Bambu adalah suatu keniscayaan. Kekesalan dan sumpah serapah tersebut adalah wajar diungkapkan oleh orang yang kesal dan marah. Kekesalan dan kemarahan tersebut dapat kita lihat dari tindakan pekerja yang merobek atau membuang wallpaper yang menempel di dinding.
Kita tidak bisa tahu kemarahan itu ditujukan kepada Artalyta Suryani dkk atau kepada pejabat yang dianggap memberikan kemanjaan kepada mereka atau juga kepada masyarakat yang menghujat petugas di Pondok Bambu. Namun hal yang patut dicatat bahwa apa yang diperoleh oleh Artalyta Suryani dkk adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan tidak terjadi dengan sendirinya.
Paling kurang ada tiga hal penyebabnya; pertama, rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan kita memang buruk dan tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah; kedua, kecenderungan aparat penegak hukum kita menggunakan kewenangan melakukan penahanan sehingga rumah tahanan harus memikul beban di luar kapasitas; ketiga, ada oknum yang memanfaatkan situasi buruk untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Pertama, rumah tahanan negara yang buruk, karena rumah tahanan dan pemeliharaan fasilitas untuk tahanan, napi atau pegawai rumah tahan tidak pernah menjadi prioritas Departemen Hukum dan Ham. Hal ini bisa kita lihat dari pemberitaan yang dilakukan oleh televisi yang berkunjung ke beberapa lembaga pemasyarakatan dari seluruh Indonesia.
Kalau memang lembaga pemasyarakatan itu hendak digunakan untuk mendidik kembali anggota masyarakat yang dianggap sudah melalukan kejahatan, tentunya biaya pendidikan untuk mereka akan lebih besar dari biaya pendidikan anggota masyarakat yang belum pernah melakukan kejahatan. Kita tidak pernah tahu berapa besarnya biaya yang digunakan untuk mendidik dan memasyarakatkan saudara kita yang tidak beruntung itu. Tanpa ada biaya yang cukup untuk menyediakan rumah tahanan secara manusiawi, maka rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan itu akan selalu tampak buruk dan kumuh.
Kedua, hal yang perlu juga mendapat perhatian kita semua adalah politik penanganan perkara, khusunya perkara pidana, terutama yang terkait dengan kewenangan penahanan. Sudah hampir menjadi aksioma, setiap orang yang terkena perkara pidana, dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih, selalu ditahan. Alasan yang selalu digunakan semuanya alasan normatif dan subyektif, yaitu adanya kekhawatiran akan melarikan diri, mengulangi perbuatan atau karena diduga akan menghilangkan barang bukti.
Meskipun secara faktual, ketiga alasan penahan itu tidak ada secara obyektif, toh penahan itu tetap saja dilakukan. Terkadang ada penyidik atau Jaksa Penuntut Umum sepertinya merasa tidak nyaman kalau tidak menahan orang yang sedang terkena musibah perkara pidana. Tidak jarang juga terjadi penahan dilakukan karena ada kehendak dari pihak tertentu. Umumnya dari saksi pelapor dalam perkara pencurian, penggelapan atau perkara penipuan. Tindak pidana penggelapan dan penipuan, kalau melibatkan orang tertentu atau orang yang mempunyai koneksi kepada pihak penyidik, maka bukan mustahil tersangka akan menginap hotel prodeo. Kalau Penyidik tidak mempan dengan permintaan menahan, maka Jaksa Penuntut Umum tidak jarang menahan.
Melihat situasi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan kita, sudah layak untuk tidak mengobral kewenangan penahanan, yang lebih sering tidak ada gunanya. Sudah saatnya lebih banyak menggunakan kewenangan penahanan kota atau penahanan rumah, ketimbang penahanan di rumah tahanan negara. Yang pasti dengan tahanan kota, negara tidak memerlukan biaya ekstra memberi makan, membayar listrik dan tentu saja tidakk perlu menambah pegawai di Lembaga Pemasyarakatan. Apalagi mengingat ketentuan KUHAP bahwa orang dapat tidak ditahan sepanjang ada yang menjamin atau dengan jaminan uang. Jaminan untuk tidak menahan orang dengan uang itu bukan aib, tetapi hal yang wajar dan halal.
Rumah tahanan negara itu tidak akan penuh, kalau urgensi penahanan itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang penting dan ada alasan obektifnya disertai bukti permulaan yang pasti, bukan sekedar sebagai alat untuk mempermalukan atau menyengsarakan seseorang.
Ketiga, “kemewahan” yang diperoleh oleh Artalyta Suryani dkk, karena kita bandingkan dengan kekurangan dan ketidaknyamanan ruang tahanan atau atau sel yang ditempati oleh narapidana atau tahanan yang lain. Kita ternyata tidak dibiasakan untuk berpikir, bahwa ketidakberuntungan yang diperoleh tahanan atau narapidana lain bukan kesalahan negara yang tidak menyedikan tempat layak bagi tahanan atau narapidana. Tetapi adalah kesalahan para tahanan yang mempunyai uang, karena orang yang mempunyai uang selalu dianggap memperoleh kemudahan dan kenyamanan dengan uang mereka.
Yang ada dalam banyak benak kita, “kemewahan” atau kenyamanan yang diterima oleh napi atau tahanan itu tidak layak, karena mereka orang hukuman atau tahanan yang tidak boleh memperoleh apapun selain kesulitan dan ketidaknyamanan. Namun yang pasti kemewahan atau kenyamanan itu tidak akan pernah terlihat kontras dengan ketidaknyamanan, kalau seandainya pemerintah menyediakan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang layak bagi manusia yang menghuninya.
Kontras antara kenyamanan dan ketidaknyamanan yang diperoleh oleh tahanan atau terpidana di rumah tahanan atau di lembaga pemasyarakatan, tidak sepenuhnya karena uang para “bedebah” yang kaya itu, tetapi juga karena pemerintah tidak menyediakan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan yang layak huni. Dan tentu saja, karena ada pihak tertentu yang mengambil kesempatan dalam kesulitan orang lain.
Agar supaya para “bedebah” tidak mengambil keuntungan dan terjadi korupsi dari keadaan sulit di rumah tahanan, bukan hanya perbaikan rumah tahanan yang diperlukan, tetapi juga kebijakan penahanan itu perlu dikaji ulang dan tentu harus ada pengawasan yang terus menerus oleh institusi tertentu terhadap rumah tahanan negara yang ada.
Dr. Maqdir Ismail, Advokat dan Staf Pengajar FH Universitas Al Azhar Indonesia