Pahang, Malaysia - Bertualang ke daratan Melayu sama dengan menjejaki sejarah dan kebudayaan yang bertautan dengan khazanah Nusantara. Sebut saja Kampung Sungai Pasu, Raub, Pahang, Malaysia. Meski jaraknya beribu kilometer dari Pulau Jawa, sentuhan khas leluhurnya masih begitu lekat. Tak lekang dimakan ruang dan waktu.
"Romo kaliyan mbah kulo saking (buyut dan kakek saya dari-red) Jawa Tengah, Mas," ujar seorang penduduk asli Kampung Sungai Pasu, Rusnani, kepada Okezone saat bertandang bersama rombongan media dari negara-negara ASEAN, baru-baru ini.
Perempuan 40 tahunan itu menuturkan, Kampung Sungai Pasu dibuka oleh orang Jawa puluhan tahun silam. Salah satu pembuka hutan adalah leluhurnya. Karena itu, tidak mengherankan bila napas kampung berpenduduk 1.000-an jiwa itu begitu mirip dengan karakteristik masyarakat Jawa, mulai dari tradisi serta struktur masyarakatnya.
"Tapi, wong kene hampir ora iso ngomong Jawa kromo (penduduk sini nyaris tidak bisa berbahasa Jawa halus-red)," terang ibu tiga anak ini sembari meminta Okezone tidak bicara dengan bahasa Jawa Kromo Inggil.
Ibu Nani, begitu dia ingin dipanggil, mengungkapkan, masyarakat Sungai Pasu masih rutin menggelar pengajian, tahlilan, dan kenduri tiap Kamis malam. "Kalau ada warga yang punya acara, kami juga masih rewang (membantu memasak-red)," tuturnya.
Akulturasi budaya Melayu terjadi karena ikatan pernikahan. Seperti Nani, yang menikah dengan orang Melayu setempat. Sebagian keturunan Jawa di sini, imbuhnya, menikah dengan orang Melayu. Karena itu, anak-anak mereka tak cakap berbahasa Jawa. Dalam keseharian, mereka lebih suka berbahasa Melayu.
Dia sendiri merupakan generasi keempat keturunan Jawa di Sungai Pasu. Sesepuh kampung ini berusia 80 tahun. Rata-rata mereka terputus hubungannya dengan sanak saudara di Jawa lantaran belum ada kesempatan berkunjung ke tanah leluhur.
Jika rasa kangen mendera, penawarnya hanya melalui sajian kuliner khas kampung mereka. Suguhan semacam pecel, kue gemblong, dan sambal tempe turut tersaji di hadapan para tamu. Dari layar kaca, mereka pun menikmati sinetron dan lagu-lagu Indonesia.
"Kami enggak bisa melupakan Jawa. Bahkan, di Balai Raya Sungai Pasu tersimpan wayang, gong, dan alat-alat kesenian lainnya," terang Nani.
Sumber: http://travel.okezone.com