Oleh: Sindhunata
SIAPA hidup di tanah tumpah darah Saijah, dia pasti mengenal kerbau. Dikisahkan oleh Multatuli, Saijah yang berumur tujuh tahun itu sangat mencintai kerbaunya. Celakanya, kerbau kesayangan itu dirampas oleh penguasa karena Pak Saijah, ayahnya, tak dapat melunasi pajak tanah. Saijah khawatir, pada masa mendatang tak ada lagi teman yang bisa diajak mengerjakan tanahnya. Lalu apa yang bisa mereka makan?
Pak Saijah, yang warga Desa Badur, Distrik Parangkujang Karesidenan Lebak, Banten, itu lalu menjual keris pusaka, warisan ayahnya. Keris itu tidak terlalu bagus, tetapi sarungnya berikat perak yang ada nilainya. Keris itu laku 24 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau lagi.
Saijah segera bersahabat dengan kerbau itu. Kata Multatuli, arti bersahabat itu adalah Saijah amat mencintai kerbau tersebut dan sebaliknya si kerbau amat setia kepada si kecil Saijah. Apa pun yang diperintahkan Saijah, kerbau itu selalu menurutinya. Suara Saijah memberinya tenaga untuk membelah tanah dengan bajaknya. Sayang, kerbau tercinta ini kembali dirampas penguasa.
Alasannya sama. Pak Saijah lalu menjual lagi warisan orang-tuanya berupa sangkutan kelambu dari perak, laku 18 gulden. Dengan uang itu, Pak Saijah membeli kerbau baru lagi. Saijah tak segera jatuh cinta pada kerbaunya yang baru. Ia masih teringat kerbaunya yang lama, dan sedih, jangan-jangan kerbau kesayangan itu disembelih orang di kota. Namun, lama-lama Saijah menyayangi juga kerbaunya yang baru, apalagi, kata Pak Penghulu, kerbau baru itu punya user-useran yang akan membawa rezeki.
Suatu hari Saijah dan kawan- kawannya menggembalakan kerbau-kerbau mereka. Tiba-tiba terdengar suara auman macan. Anak-anak itu menyengklak kerbaunya, memacunya untuk segera lari. Saijah juga segera melompat ke punggung kerbaunya. Malang ia terpelanting dan jatuh ke tanah. Si kerbau segera melindunginya. Ketika macan mendekat hendak menerkam Saijah, kerbau itu menanduk perutnya. Macan terkapar dan mati.
Kerbau itu terluka dan ibu Saijah merawat luka-lukanya karena kerbau itu telah menyelamatkan nyawa anaknya. Sayang, lagi-lagi kerbau itu dirampas penguasa karena Pak Saijah tak sanggup melunasi pajak tanah. Waktu kerbau itu dirampas, Saijah berumur 12 tahun dan Adinda, tunangannya, telah pandai menenun sarung dan membatik.
Karena sudah tidak mempunyai uang, Pak Saijah menggarap sawahnya dengan kerbau sewaan. Hati Pak Saijah sedih karena tidak mempunyai kerbau sendiri. Tak lama kemudian, ibu Saijah juga meninggal karena sedihnya, dan hilangnya kerbau itulah awal dari penderitaan yang kemudian dialami oleh Saijah dan Adinda.
Kerbau adalah bagian hidup warga Nusantara. Kehilangan kerbau sama dengan kehilangan nyawa. Kerbau memang tak bisa dipisahkan dari penduduk Nusantara. Itulah yang diuraikan oleh sarjana Belanda, J Kreemer, dalam bukunya, De Karbouw, Zijn Betekenis voor de Volken van De Indonesische Archipel (1955).
Dengan panjang lebar Kreemer menunjukkan bagaimana hubungan kerbau dengan hidup harian penduduk Nusantara. Kerbau mempunyai kisah-kisah yang pre-historis. Paling penting, kerbau adalah binatang pertanian (landbouwdier), yang membantu petani mencari nafkah. Kerbau juga binatang transportasi dan binatang niaga. Di banyak tempat, kerbau digunakan untuk lomba atau karapan.
Kerbau juga dianggap binatang mistis. Di Toraja, orang percaya, bila tiba-tiba ada kerbau masuk kampung dan tak kembali lagi ke tempat penggembalaannya, berarti akan ada orang mati. Kerbau juga dipercaya bisa menitikkan air mata bila majikannya meninggal dunia.
Dirampas Haknya
Di Jawa ada kepercayaan, kerbau adalah patron bagi pertanian. Karena itu, petani yakin bahwa kerbau dengan sendirinya dapat diajak membajak dengan tepat dan benar. Maka, sambil membajak, ada doa yang diucapkan demikian, “O pelindung para tani, bantulah kami. Singkirkanlah segala penyakit dan wabah. Buanglah segala tikus dan hama”.
Di beberapa desa di Jawa, demikian penelitian Van Hien seperti dikutip Kreemer, tiap malam Jumat Paing, orang membuat sesaji untuk kesejahteraan kerbau-kerbau mereka. Mereka percaya, kerbau itu mempunyai roh dan danyang-danyang. Dengan sesaji itu dipanggillah roh dan danyang-danyang agar mau melindungi kerbau-kerbau mereka, membuatnya menjadi sentosa dan sehat agar bisa diajak untuk kuat membajak.
Kerbau tiba-tiba diajak demonstrasi ikut meramaikan politik kita, akhir-akhir ini. Sayang, kerbau hanya dijadikan dan ditangkap sebagai bahan olok-olokan. Kalau dipahami benar makna kerbau bagi masyarakat Nusantara, Presiden mestinya tidak perlu tersinggung. Sama dengan kerbau, berarti menyelami betul nyawa dan hidup penduduk Nusantara, lebih-lebih penderitaannya. Juga, serajin dan sesetia binatang yang sepanjang sejarah menemani petani membajak tanah untuk mencari nafkah.
Dari pihak demonstran, kerbau mestinya tak hanya disajikan sebagai simbol kedunguan dan kemalasan, tetapi juga simbol milik yang dirampas oleh penguasa sehingga membuat rakyat menderita, seperti kisah Saijah. Jika demikian, tepatlah kritik mereka terhadap pemerintah: tidakkah sampai sekarang hak-hak wong cilik masih terus dirampas oleh penguasa seperti di zaman Saijah dan Adinda? Kerbau adalah lambang penderitaan sekaligus keselamatan dan kesejahteraan rakyat Nusantara. Siapa menolak dan menistakan kerbau, dia menjauhi keselamatan dan kualat terhadap rakyat Nusantara.
Sindhunata, Budayawan
Sumber : Kompas, Kamis, 11 Februari 2010