Oleh: Yudi Latif
PADA mulanya adalah biaya demokrasi yang mahal. Politisi dan partai politik dalam struktur negara “demokrasi patrimonial” menjadikan kekuasaan sebagai ajang pungutan dan pengurasan. Apalagi jika mentalitas pemimpinnya dihinggapi “Cinderella Complex” yang terobsesi meniru fashion negara-negara maju. Maka, korupsi politik pun merajalela.
Pemikiran konvensional cenderung meyakini bahwa satu-satunya jalan menuju pencapaian stabilitas demokrasi adalah melalui pemilihan langsung. Padahal, dalam banyak kasus di negara berkembang, pemilihan (langsung) bisa mengarah pada peperangan dan kemiskinan. Humphrey Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang mengerikan dari demokrasi elektoral yang dijalankan secara tidak tepat. “Dari Pakistan hingga Zimbabwe, dari teritorial Palestina hingga bekas Yugoslavia, dari Georgia hingga Haiti, pelaksanaan pemilu telah melambungkan tingkat korupsi dan kekerasan.”
Dengan demokrasi yang salah urus terdapat indikasi bahwa penduduk di bawah sistem demokrasi elektoral lebih berisiko tetap miskin atau terbunuh ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Umpamanya, pendapatan rata-rata di negara otoritarian China adalah dua kali lipat dari negara demokrasi India; harapan hidup dari warga negara demokratis Haiti hanya mencapai 57 tahun dibandingkan dengan mereka yang hidup di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.
Dengan fenomena itu, Presiden AS Barack Obama dalam pidatonya di Universitas Kairo memperlihatkan kehati-hatiannya soal demokrasi elektoral serta empatinya terhadap budaya lain. Ia menekankan, tidak ada sistem pemerintahan yang dapat dipaksakan oleh suatu bangsa kepada yang lain.
Tak lama berselang, pemimpin konservatif Inggris, David Cameron, menyatakan, “Demokrasi semestinya merupakan pekerjaan dari perajin yang sabar, bukan sebagai produksi massal yang seragam, jika produk akhir yang dikehendaki adalah kualitas yang tahan lama.” Demokrasi yang dijalankan secara tidak hati-hati dan tidak disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya suatu bangsa bisa menyebabkan kematian banyak orang serta gagal memberikan martabat dan pemerintahan yang baik.
Perkembangan demokrasi Indonesia memperlihatkan belokan menuju jalan kesesatan. Pemilihan legislator dan presiden bisa dikatakan pemilu terlama dan termahal di muka bumi. Pelaksanaan pilkada berlangsung hampir setiap pekan yang, karena mahalnya pembiayaan, membuat beberapa kabupaten/kota terancam defisit anggaran.
Ketika uang menjadi bahasa politik, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan atau dalam keserakahan orang kaya baru, keampuhan demokrasi elektoral lekas ambruk. Suara bisa dibeli dan dimanipulasi. Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pemilihan Umum dihancurkan. Ketika nilai-nilai idealisme kewargaan tidak memiliki saluran efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik.
Sinergi antara kepentingan investor dan penguasa “kejar setoran” yang menjadi pintu masuk bagi korupsi politik pada akhirnya harus dibayar mahal oleh pelemahan institusi penegak hukum. Institusi ini bukan saja mewarisi penyakit lama sebagai mafia hukum, tetapi dalam perkembangan terakhir dilemahkan oleh otoritas politik untuk menutupi korupsi politik.
Pelemahan eksternal mengemuka dalam bentuk pertikaian antarlembaga penegak hukum; pelemahan internal merebak akibat konflik antarkubu pada lembaga masing-masing. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak punya kepercayaan diri lagi untuk menggarap megakorupsi dengan bobot politik yang tinggi, kepolisian mengalami perpecahan internal, dan kejaksaan menjadi pesakitan karena jaksa-jaksanya terjerat makelar kasus.
Melambungnya ongkos kekuasaan dalam kondisi kerapuhan institusi demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) juga memudahkan penetrasi kepentingan asing. Dengan aparatur negara yang mudah dibeli, produk perundang-undangan disusupi, penunjukan pejabat diintersepsi, pilihan-pilihan kebijakan yang menyangkut perekonomian dan kekayaan alam pun dipengaruhi. Akibatnya, kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional lumpuh. Benar kata Machiavelli, salah satu penyebab korupsi merajalela karena penguasa diperbudak negeri lain hingga negara tak mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola urusannya sendiri.
Demokrasi elektoral lewat jalan pintas gebyar pencitraan, tanpa komitmen pada prinsip-prinsip efisiensi, rasionalitas kebijakan dalam realitas sosial-budaya, penegakan hukum dan keadilan, ibarat membangun istana pasir. Kelihatan indah penuh puja-puji, tetapi mudah ambruk diterjang gelombang tekanan hidup.
Kasus yang menyita perhatian publik dalam 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu II menjadi ukuran tentang suasana kegawatan demokrasi Indonesia. Krisis kenegaraan membayang dalam isu kriminalisasi dan pelemahan KPK, megaskandal Bank Century, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya daya saing di tengah ancaman perdagangan bebas. Di sisi lain, otoritas negara sibuk dengan program pencitraan dan narsisme elitis: mulai dari mobil mewah dan kenaikan gaji pejabat, pesawat kepresidenan, pagar istana, hingga peluncuran album.
Inilah masa ketika demokrasi dipertaruhkan. Kegagalan kepemimpinan nasional untuk memperbaiki kinerja demokrasi dapat mengarah pada proses delegitimasi demokrasi, termasuk delegitimasi kepemimpinan nasional yang dipilih melalui prosedur demokrasi. Inilah ujian sejarah, apakah kita bergerak maju atau surut ke belakang!
Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan
Sumber : Kompas, Selasa, 2 Februari 2010