Oleh Alfiadi
DESA Meskom memiliki nama alias yang molek yakni; “Kampung Zapin”. Salah satu kampung yang dikenal ke seantero negeri. Nama nan molek itu diberikan karena setiap warganya mampu dan mahir dalam menyanyikan, memainkan musik, apatah lagi menarikan seni zapin Melayu.
Penamaan itu tentu tidak asal saja sebab, sejak dulu hingga hari ini, masyarakat tempatan masih bergairah mengembangkan tradisi nenek moyang mereka dengan dan tanpa pamrih. Bagi mereka, zapin bak makanan sehari-hari yang pas untuk melengkapi kehidupan.
Siang itu, langit desa Meskom berawan. Namun, tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan. Riau Pos berkesempatan bertandang dan menyapa warga kampung yang terbilang ramah serta murah senyum, layaknya masyarakat di kampung-kampung Melayu di seantero dunia. Tujuan utamanya, tentulah melihat langsung aktivitas masyarakat tempatan yang tak terpengaruh pada gempuran pengaruh luar. Mereka tetap bertahan pada cita-cita masa lalu. Apalagi, jika bukan memelihara tradisi secara turun-temurun.
Melihat rumah-rumah panggung kayu dengan halaman luas berumput rimbun menghijau sembari mengendarai sepeda motor di atas jalan semen, Riau Pos benar-benar disuguhi pemandangan yang memikat. Kampung ini, bernuansa Melayu pesisir yang kental. Ditambah pula, di sebuah pekarangan rumah berwarna serba coklat, beberapa empunya rumah asyik dengan aktivitas masing-masing.
Ditingkahi pula dengan gelak riang anak-anak seusia sekolah dasar (SD) yang sedang bermain guli (kelereng).
Saat Riau Pos singgah, langsung disambut dengan senyum keramahan. Selamat datang di kampung kami,” sapa tuan rumah bernama Dollah (55) sembari mempersilahkan bergabung dengan mereka. “Inilah Kampung Meskom alias Kampung Zapin yang masih asri dan sederhana,” tambahnya.
Perkenalan itu jelas menambah rasa penasaran untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang Meskom dan Zapin yang menjadi ciri khas kampung mereka. Meski tujuan utama berkunjung ke rumah almarhum Yazid bin Tomel, namun Dollah terus melanjutkan bual-bual beberapa saat dengan Riau Pos. Setelah mendapatkan sedikit informasi tentang Zapin, Riau Pos pun berpamitan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah yang dituju.
Tak sulit mencari rumah almarhum, karena semua masyarakat kampung mengenalnya dengan baik. Kediaman Yazid bin Tomel tidak jauh dari jalan utama kampung di Desa Teluk Latak, jaraknya hanya 50 meter. Luas jalan semen itu hanya satu meter saja. Rumah panggung berwarna orange dengan les warna putih itu dilindungi berbagai tumbuh-tumbuhan seperti durian, kelapa dan pepohonan lainnya.
Di pekarangan rumah, di bagian depan terlihat kebun sayur-mayur dan bagian samping terdapat tanah lapang tempat berlatih tari Zapin. Di depan rumah, tepat di atas jendela tertulis sebuah nama M Jazid T. Bagian dalam rumah itu, berwarna hijau dan salah satu perabotan berupa lemari kaca warna coklat berisi berbagai penghargaan yang pernah diraih almarhum.
Setibanya di kediaman almarhum, Riau Pos disambut Ahmad bin Yazid, anak ketujuh Yazid bin Tomel. Ia mempersilahkan masuk dan perbualan pun dimulai di atas lantai kayu yang sejuk. Duda tiga orang anak ini, juga melakoni diri sebagai penari Zapin. Ia benar-benar menepati janjinya untuk menceritakan tentang zapin, sesuai dengan janjinya lewat telepon beberapa hari sebelumnya.
Menurut Ahmad, bagi warga Meskom, Zapin bukanlah hal yang baru. Warga di sini mengkombinasikan segala aktivitasnya zapin. Apa yang dilihat Riau Pos, semuanya adalah kegiatan berzapin. Tidak susah mencari orang berzapin di sini karena kampung ini menjadi salah satu tapak Zapin.
“Warga di Meskom tak semua paham dan memahami zapin secara mendalam tapi dalam satu keluarga tak ada yang tak bisa memainkan zapin,” kata Ahmad ringan yang siang itu mengenakan kaos merah dipadu celana pendek warna biru tua yag memudar.
Di kampungnya, perkembangan Zapin mengikuti musim. Ibarat buah, ada kalanya musim ada kalanya tidak. “Di bulan puase ne, aktivitas Zapin jeda sementara, namun tidak mati. Bagi kami zapin bukanlah hal yang baru. Seni ini telah menyatu dengan kami dari generasi ke generasi,” jelasnya dengan logat Melayu kental.
Lebih jauh dituturkan Ahmad, memainkan Zapin merupakan suatu kebanggan yang tak ternilai. Jauh sebelum Desa Meskom dijadikan perkampungan Zapin, masyarakat di sini, sudah mengenal dan memainkan sebagai permainan rakyat. Bahkan, aktivitas sehari-hari warga selalu dikombinasikan dengan zapin apakah itu bermain, memasak, mencuci dan lainnya. “Semuanya ini mengalir ibarat air mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah. Sebagai generasi penerus, kami akan terus memelihara dan mengembangkan zapin. Takkan Zapin hilang di bumi,” ujarnya berfilosofi.
Seulas tentang Zapin
Seorang tokoh tari Indonesia Tom Ibnur yang juga telah puluhan tahun mengembangkan tari Zapin berujar, seni ini masuk ke nusantara sejalan dengan berkembangnya agama Islam sejak abad ke 13 Masehi. Para pedagang dari Arab dan Gujarat yang datang bersama para ulama dan senimannya, menelusuri pesisir nusantara. Di antara mereka ada yang tinggal menetap di tempat yang diminati, dan ada pula yang kembali ke negeri mereka setelah perdagangan mereka usai. Bagi yang menetap kemudian menikahi penduduk setempat dan berketurunan hingga kini.
Zapin, salah satu dari kesenian yang dibawa para pendatang tersebut kemudian berkembang di kalangan masyarakat pemeluk agama Islam. Sekarang zapin dapat ditemukan hampir di seluruh pesisir nusantara, seperti pesisir timur Sumatera Utara, Riau dan Kepulauannya, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jakarta, pesisir utara-timur dan selatan Jawa, Nagara, Mataram, Sumbawa, Maumere, seluruh pesisir Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Ternate, dan Ambon. Sedangkan di negara tetangga terdapat di Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura.
Di nusantara, zapin dikenal dalam dua jenis, yaitu zapin Arab yang mengalami perubahan secara lamban, dan masih dipertahankan oleh masyarakat turunan Arab. Jenis kedua adalah zapin Melayu yang ditumbuhkan oleh para ahli lokal, dan disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Kalau zapin Arab hanya dikenal satu gaya saja, maka Zapin Melayu sangat beragam dalam gayanya. Begitu pula sebutan untuk tari tersebut tergantung dari bahasa atau dialek lokal di mana dia tumbuh dan berkembang.
“Inilah orang Melayu, ia mengambil zapin dengan pikiran yang cerdas sehingga zapin menjadi beragam dan lebih kaya dari aslinya,” aku Tom Ibnur.
Untuk itu, lanjutnya lagi, Zapin umumnya dijumpai di Sumatera Utara dan Riau, sedangkan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu menyebutnya dana. Julukan bedana terdapat di Lampung, sedangkan di Jawa umumnya menyebut zafin. Masyarakat Kalimantan cenderung memberi nama Jepin, di Sulawesi disebut Jippeng, dan di Maluku lebih akrab mengenal dengan nama Jepen. Sementara di Nusatenggara dikenal dengan julukan dana-dani.
Zapin dapat ditemui pada helat perkawinan, khitanan, syukuran, pesta desa, sampai peringatan hari besar Islam. Umumnya penari zapin hanya lelaki. Diringi musik ensemble yang terdiri dari pemain marwas, gendang, suling, biola, akordion, dumbuk, harmonium, dan vokal. Pola tarinya sangat sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang. Gerak tarinya mendapat inspirasi dari kegiatan manusia dan alam lingkungan. Misalnya: titi batang, anak ayam patah, siku keluang, sut patin, pusing tengah, alif, dan lainnya.
Senada juga diungkapkan Budayawan Riau Tennas Efendi. Disebutkannya, Zapin hanyalah salah satu cabang seni Melayu yang masih bertahan hingga hari ini. Awalnya, berkembang di kesultanan Melayu dan bertujuan sebagai syiar dakwah. Tarian satu ini, santun yang bertujuan untuk mengajak riang juga bertingkah laku santun kepada siapa saja. Setiap kawasan Melayu, terutama kawasan pesisir, dulunya Zapin hidup dan berkembang. Namun tidak semua kawasan itu mempertahankannya dan salah satu kawasan yang eksis mengembangkan Zapin adalah Bengkalis dengan menetapkan Desa Meskom sebagai Kampung Zapin.
“Baik di Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai maupun Thailand, Zapin berkembang sesuai dengan kemampuan pelakunya di setiap negara. Ini menunjukkan bahwa Zapin perlu terus dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan zamannya,” ajak Tennas Efendi. Begitu pula, Koreografer (penari) Bengkalis Musrial al Hajj yang tak henti-hentinya menyerukan agar tari ini harus dikembangkan sesuai zamannya. Kini, di Bengkalis terutama desa Meskom dan sekitarnya telah memiliki lima-enam kelompok zapin. Orang-orang Meskom-lah yang menjadi leader-nya.
“Sekarang kita boleh bangga dengan zapin karena seni ini berkembang dengan pesat,” katanya. Hal ini tak terlepas dari upaya pemerintah tempatan yang terus menggairahkan festival Zapin setiap tahunnya.
“Setiap tahun ada festival Zapin dan ini dinanti-nantikan pelaku dan masyarakat Bengkalis. Kami bersyukur, minimal festival telah memotivasi perkembangan seni ini. Bahkan 2010 lalu, PLT Laksemana-Pekanbaru asuhan SPN Iwan Irawan Permadi menggelar Festival Zapin Nasional dan setiap daerah menunjukkan zapin mereka dengan baik,” timpal Ahmad bin Yazid.
Menyapa Gerakan dengan Bungo
Ketua Grup Zapin Sayang Bengkalis yang tengah melatih Hapiz (13) yakni Zainuddin (46) menjelaskan, setiap gerakan (bunga) Zapin selalu memiliki makna tertentu sebagai wahana pembelajaran bagi masyarakat Melayu. Terdiri dari empat langkah yang melambangkan sifat rasulullah Muhammad SAW dari setiap gerakannya. Setiap langkah zapin memiliki bunga, terdiri dari alif sembah, pusing sekerat, ekor patin, pecah lapan, siku sekeluang, tukar kaki, ayam patah, pusing tak jadi, bunga depan, bungo bakau, dan tongkah arus. Beberapa gerakan diperagakan Hapiz, anak asuhnya dengan baik.
Bungo-bungo itu pada perkembangannya ini bukan hanya ciptakaan, hanya saja di antara bunga itu dipecahkan atau mungkin dulunya belum bisa diterapkan. Salah satu bungo yang dipecahkan adalah Cino Buto, yang ditarikan dua orang, tak bisa lakukan satu, tiga orang dalam jumlah yang ganjil. Ianya harus dilakukan berpasangan, yang satu buat bunga depan, yang satu melingkari atau pusing. Dari bungo Cino Buto satu bungo bisa dikembangkan satu bunga, yaitu bungo depan.
“Dalam Hitungan 3-8, gerakan bunga depan harus lurus. Kebanyakan sekarang ini diperagakan tak lurus. Begitu juga dengan Belah Mumbang adalah menyamping membentuk sudut 90 derajat. Jika ini tak diperhatikan maka akan timbul asal jadi. Begitu juga dengan Siku Keluang, sikunya harus pas betul,” jelasnya sambil memperagakan bungo Zapin itu.
Dalam filosofi gerakan memiliki arti, misalnya gerak menongkah berarti hidup harus tabah. Ayunan dayung harus mantap meskipun ombak datang. Cabaran hidup itu biasa. Sedangkan gerak meniti batang berarti hidup harus hati-hati jika tak hendak terjebak dalam kubangan masalah. Lalu ada gerak tukar kaki yang menirukan gelombang yang susul-menyusul. Artinya, hidup itu harus tekun, terus-menerus berusaha. Paling tidak, upaya masyarakat Desa Meskom alias Kampung Zapin perlu mendapat apresiasi yang tinggi, terutama oleh pemerintah daerah.
Apalagi pengembangan dimulai dari akar rumput yakni dari bawah, bukan seperti selama ini dari atas ke bawah yang bersifat seremonial belaka. Meskom menjadi contoh yang paling manjur untuk mewujudkan cita-cita Riau untuk menjadi pusat kebudayaan Melayu di kawasan Asia Tenggara.***
Sumber: http://www.riaupos.co