Oleh: Abdul Malik Gismar
RONALD Reagan pernah mengatakan, birocracy rasi is not part of the solution, but the problem. Kalimat ini menjadi terkenal dan menjadi jargon semangat antistatis yang menganggap birokrasi hanya menghambat atau tidak relevan terhadap demokrasi, ekonomi, ataupun kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, resep yang ditawarkan bagi banyak persoalan adalah down sizing, bahkan sebisa mungkin hilangkan, birokrasi. Suara-suara seperti di atas juga cukup sering kita dengar di Indonesia pascareformasi.
Pendulum tampaknya telah berayun balik. Birokrasi kembali dianggap sebagai instrumen sangat penting suatu masyarakat modern dan tidak ada negara yang dapat berfungsi tanpanya. Mengikuti Schumpeter, birokrasi kembali dianggap sebagai keniscayaan bagi kesehatan demokrasi dan perkembangan ekonomi. Istilah down sizing pun kini digeser oleh right sizing.
Dalam negara yang sedang mengonsolidasi demokrasi, birokrasi menjadi lebih penting lagi. Di sini birokrasi tidak saja memainkankan peran teknis melayani kepentingan masyarakat, tetapi juga peran-peran simbolik. Jacek Kochanowicz yang mengamati birokrasi dan demokratisasi di Polandia pascakomunisme mengatakan, sebagaimana simbol-simbol kenegaraan lainnya, ”birokrasi adalah simbol melalui mana negara—dan bangsa—dilihat. Warga negara yang harus berhubungan dengan birokrat yang tidak efisien atau korup akan kehilangan rasa hormat terhadap negara”.
Semangat dan prinsip-prinsip demokrasi dirasakan oleh warga negara ketika mereka berhadapan dengan birokrasi dalam kehidupan sehari-hari; ketika mengurus akta kelahiran atau sertifikat kematian, serta segala urusan di antara dua momen eksistensial ini. Dalam pengalaman-pengalaman yang banal (sehari-hari) inilah legitimasi negara terbangun. Tidak berlebihan bila dikatakan, dalam konsolidasi demokrasi, birokrasi yang profesional sama pentingnya dengan organisasi masyarakat sipil yang independen, masyarakat politik yang otonom, dan the rule of law.
Dalam pengertian di atas tekad pemerintahan SBY-Boediono untuk mereformasi birokrasi mungkin memiliki urgensi lebih dari yang dibayangkan. Semoga tekad ini dibarengi pengertian akan kompleksitas masalah dan political will yang dibutuhkan untuk memecahkannya.
Belenggu Politik
Birokrasi tidak berada dalam ruang hampa, tapi dalam suatu realitas dan tatanan politik tertentu. Bahkan, ia harus bekerja dalam kisi-kisi kebijakan, aturan, dan anggaran yang ditetapkan oleh politikus. Oleh karena itu, apa yang bisa dicapai oleh birokrasi ditentukan pula oleh kinerja para politikus.
Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, birokrasi berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Lebih tepatnya, kinerja birokrasi sangat terbatasi oleh kinerja political office (gubernur/bupati/wali kota dan DPRD; selanjutnya disebut politik) yang masih jauh dari harapan.
Partnership Governance Index/PGI (www.kemitraan.or.id/govindex pada tahun 2008 mengukur—terutama dengan data-data obyektif—kinerja tata pemerintahan semua provinsi di Indonesia berdasarkan sejumlah prinsip tata pemerintahan yang baik. Hasilnya, dalam skala 1-10, rata-rata indeks kinerja politik dari semua provinsi adalah 4,9, sementara indeks birokrasi adalah 5,6. Ini mengindikasikan secara umum masih ada ruang perbaikan yang sangat lebar, baik bagi politik maupun birokrasi.)
Namun yang sangat menarik, atau memprihatinkan?, dari data ini adalah secara konsisten, dari provinsi yang satu ke provinsi yang lain, kinerja politik lebih rendah daripada birokrasi dan korelasi antara keduanya sangat tinggi (r > 0,68). Hal di atas tergambar sangat jelas dalam Grafik 1.
Kinerja politik dan birokrasi naik atau turun bersama-sama: bila kinerja politik baik, maka kinerja birokrasi juga cenderung baik, dan sebaliknya. Hubungan birokrasi dengan politik bagaikan kereta dengan yang menariknya. Bila kereta itu ditarik seekor keledai, lajunya tentu akan berbeda dengan bila ia ditarik seekor kuda. Walaupun korelasi tidak menunjukkan hubungan kausal, dalam hal ini jelas mana kereta (birokrasi) dan mana yang menarik (politik). Dalam konteks inilah dapat kita katakan birokrasi kita terbelenggu oleh kinerja politik yang masih jauh dari prima.
Salah satu contoh dari ”belenggu” ini adalah ketidakmampuan politikus (gubernur/bupati dan anggota DPRD) untuk menetapkan APBD sebelum 31 Desember sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Analisis yang dilakukan oleh Seknas FITRA menunjukkan, hanya 118 daerah dari 510 daerah (23,14%) yang menetapkan perda tentang APBD 2009 sebelum 31 Desember 2008; 348 daerah (68,24%) yang menetapkan antara 1 Januari-31 Maret 2009; dan 44 daerah (8,63%) lewat dari 1 April 2009.
Keterlambatan ini tentu sangat memengaruhi kemampuan birokrasi untuk menjalankan program-programnya. Ongkos kemanusiaan yang harus dibayar oleh warga negara untuk keterlambatan ini bisa sangat mahal karena pada akhirnya keterlambatan implementasi program pencegahan demam berdarah, misalnya, berakibat meningkatnya jumlah penderita demam berdarah.
Kinerja Birokrasi Provinsi
Dari empat prinsip penting tata pemerintahan yang baik (akuntabilitas, transparansi, efektivitas, dan efisiensi), kinerja paling buruk dari birokrasi Indonesia adalah di bidang transparansi (Grafik 2).
Transparansi adalah ”wajah” birokrasi. Wajah yang buruk ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama bila mengingat akuntabilitas, yang indikator utamanya adalah hasil audit BPK, mendapat nilai yang jauh lebih baik: mengapa birokrasi yang ”cukup akuntabel” ini tidak cukup transparan? Mungkinkah karena audit BPK sifatnya lebih prosedural, sementara akses publik terhadap neraca keuangan (indikator transparansi) akan membuka praktik-praktik yang diluar prosedur? Atau, sebetulnya hal ini hanya karena transparansi belum melembaga dan membudaya?
Selanjutnya, secara umum efisiensi memang bisa diharapkan mengekor di belakang efektivitas. Namun gap kinerja antara keduanya cukup besar: birokrasi provinsi bisa jadi efektif, tapi tidak efisien. Mereka relatif cukup berhasil mencapai target-targetnya, namun masih dengan biaya yang mahal. Berikutnya, variabilitas kinerja antarprovinsi di Indonesia sangat besar sebagaimana tampak dalam Grafik 3.
Pertanyaan Mengganggu
Pemerintahan SBY-Boediono telah bertekad menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas utama. Persoalan birokrasi yang digambarkan di atas menohok langsung ke permasalahan tatanan hubungan pusat-daerah. Selain tekad, belum jelas bagaimana SBY-Boediono akan menyiasati persoalan di atas. Pertanyaannya, dalam era desentralisasi dan otonomi daerah ini, ”jurus” apa yang dimiliki dan akan dipakai oleh pemerintah pusat? Kita semua menunggu jawabannya.
Abdul Malik Gismar, Anggota Staf pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
Sumber : Kompas, Jumat, 5 Februari 2010