Pemimpin dan Rakyatnya

Oleh: Budiman Sudjatmiko

DEMOKRASI politik secara leluasa tumbuh di Indonesia selama 11 tahun terakhir. Sebagai bangsa, kita patut bangga mengingat kita telah menikmati nyaris semua kelengkapan demokrasi yang bisa dirasakan manusia modern. Kita menikmati kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, pemilu kompetitif dan langsung, keberadaan Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.

Mungkin sektor-sektor yang masih tertinggal dari hak-hak sipil dan politik ini adalah masalah penegakan HAM, reformasi birokrasi, dan reformasi kepartaian. Ini adalah pekerjaan rumah politik kita. Jika ketiga “sisa” persoalan ini akhirnya bisa segera kita tuntaskan, dengan agak jumawa kita bisa mengklaim bahwa kita sudah demokratis secara nyaris sempurna, sebagai negara dan sebagai masyarakat.

Namun, sebelum kita telanjur menepuk dada secara tergesa, mungkin baik untuk kita menyoroti sejumlah “produk antara” dari capaian-capaian demokratis kita sementara ini, yaitu para aktor pelaku politik. Mereka adalah para pemimpin rakyat, yaitu presiden, kepala daerah, pemimpin partai, dan wakil rakyat.

Sebagai produk antara proses demokrasi, para pemimpin tersebut ditunggu oleh banyak orang untuk memimpin mereka meraih tujuan akhirnya (ultimate goal) dari semua urusan ini: kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat seantero negeri.

Saya sering mendengar orang berkata bahwa muatan dan kualitas pemimpin sebuah bangsa merupakan cerminan dari masyarakat yang memilihnya. Yang lucu adalah ketika ini kemudian menjadi permakluman jika ada wakil rakyat atau eksekutif yang tidak menguasai masalah pengawasan, eksekusi, penyusunan anggaran ataupun pembuatan kebijakan publik lainnya.

Kita hendak diyakinkan bahwa para pemimpin ini merupakan produk masyarakatnya sendiri yang tidak terdidik secara politik. Jadi, ini dianggap sesuatu yang wajar.

Rupanya sinisme hendak menghasut kita untuk memercayai bahwa rakyat cenderung memilih secara sembarangan orang- orang yang tidak melek politik pula sebagai wakil atau pemimpin mereka, sejauh mereka bisa menyediakan uang dan bertengger di atas popularitas. Tentu ini sebuah cara menyimpulkan yang sinis, serampangan, dan malas.

Egaliter

Sebenarnya, jika benar bahwa masyarakat kita pada umumnya belum beroleh pendidikan politik secara memadai, itu tidak bisa jadi pembenar apabila para pemimpin politik—baik yang berada di dewan perwakilan, partai politik, maupun yang telah mereka dudukkan sebagai eksekutif—tidak menguasai kebijakan publik.

Betul bahwa para pemimpin merupakan cerminan tingkat “melek politik” rakyatnya, tetapi mereka bukanlah cerminan yang mentah. Sebagai pemimpin, mereka tidak seharusnya mencerminkan rakyat sebagaimana adanya dalam aspek kemampuan atau tingkat melek politiknya. Karena bagaimanapun mereka telah menempatkan diri dan kemudian (atas persetujuan rakyat lewat mekanisme pemilihan) ditempatkan sebagai pemimpin. Karena itu, pada aspek pengetahuan, keterampilan, ketersediaan waktu, dan fokus kerja, mereka harus berada di atas rata-rata rakyat yang telah memercayai mereka. Mereka tidak mewakili ke-belum-melek-kan rakyat atas detail urusan pembuatan kebijakan publik.

Setelah argumen ini saya ajukan, apakah saya sedang menganjurkan aristokrasi baru dalam politik Indonesia? Tentu tidak. Justru argumen di atas adalah untuk menggugat aristokrasi yang ada.

Dengan argumen ini saya justru mau mengatakan bahwa para pemimpin republik—di samping keharusan mereka berada di atas rata-rata rakyat dalam soal penguasaan detail pembuatan kebijakan publik—harus sebangun dan selaras secara egaliter dengan keluhuran posisi rakyat dalam sistem demokrasi.

Ketulusan Bersyarat

Kita tahu bahwa sistem demokrasi mengedepankan rakyat sebagai sumber mata air kedaulatan, tempat dari mana sumber kekuasaan formal dan efektif oleh para pemimpin itu berasal. Yang mau saya tegaskan adalah tentang posisi mulia dan luhur dari rakyat sebagai pendiri sesungguhnya dari republik ini (untuk itulah Bung Karno dan Bung Hatta merasa perlu mengatasnamakan mereka dalam memproklamasikan kemerdekaan).

Berbeda dengan argumentasi saya sebelumnya yang menempatkan para pemimpin di atas rata-rata rakyat dalam penguasaan detail kebijakan publik, maka dalam keluhuran dan kemuliaan, para pemimpin harus menjadi cerminan apa adanya dari rakyat. Lantas, keluhuran dan kemuliaan apa yang harus “dijiplak” secara apa adanya oleh para pemimpin dari rakyatnya? Di antaranya adalah ketulusan dan kesederhanaan.

Ketulusan rakyat itu tergambar dari prasangka baik mereka pada seseorang yang datang ke rakyat dan menawarkan dirinya menjadi pemimpin (presiden atau wakil rakyat). Hati-hatilah, ketulusan itu sejati, tetapi bersyarat karena rakyat siap untuk menghukum para pemimpin jika berkali-kali mengkhianati mereka.

Bagaimana dengan kesederhanaan? Kesederhanaan tidak sama dengan kemiskinan dan kekumuhan. Kesederhanaan adalah empati dengan cara melibatkan diri dalam jalan derita rakyat. Untuk itulah, Bung Karno kerap mengatakan bahwa pemimpin itu menjalankan Ampera atau amanat penderitaan rakyat. Maksud Bung Karno adalah memimpin itu menjalankan amanat rakyat untuk mengakhiri derita dan rasa sakit atas kemiskinan mereka.

Mengapa kesederhanaan itu mulia dan luhur? Karena ia menghiasi pembuatan kebijakan publik dengan jiwa solidaritas dan pesan bahwa perbuatan baik mengatasi amanat penderitaan rakyat itu indah seperti pengantin yang diriasi.

Kesederhanaan akan meringankan langkah bangsa memberantas korupsi, kemiskinan, keterbelakangan dan ketimpangan sosial seringan saat para calon pemimpin dulu menjajakan diri mereka di hadapan rakyatnya. Karena itu, bukannya tanpa alasan jika ada bait puisi dari penyair Latin, Horace, yang mendengungkan dahsyatnya simplex munditiis (kesederhanaan yang elok).

Budiman Sudjatmiko, Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR

Sumber : Kompas, Selasa, 2 Februari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts