Oleh: Febri Diansyah
KOMISI III Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pimpinan Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi. Alasannya, Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tersebut tidak punya nilai guna atau tidak lagi urgen saat ini. Apalagi pasca-kembalinya Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ke KPK.
Namun, di sisi lain, fraksi Partai Demokrat tetap bersikukuh bahwa perppu bertujuan untuk menyelamatkan KPK (Kompas, 2/3). Dengan demikian, siapa pun yang menolak sama artinya sedang menggembosi KPK. Mana yang benar?
Sayangnya, dua pandangan yang berkembang di rapat Komisi III DPR tersebut dinilai gagal menyentuh akar masalah. DPR sepatutnya tahu persis latar belakang sosial politik penerbitan perppu sehingga bisa mempertanyakan apakah benar presiden menjalankan kewenangannya secara berlebihan dalam penerbitan perppu?
Atau, jika mau, DPR bisa masuk lebih dalam, dengan membuktikan penerbitan perppu adalah sebuah agenda yang sesungguhnya berseberangan dengan pemberantasan korupsi. Jika saja DPR mampu dan mau membangun argumentasi yang lebih mendasar, tentunya penolakan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 ini akan lebih bermakna.
Subyektivitas Presiden
Kritik keras yang berkembang saat perppu diterbitkan adalah salah satu contoh yang tidak boleh dilupakan. Alih-alih bertujuan menyelamatkan KPK, publik justru yakin produk hukum ini rentan menggerogoti makna independensi KPK. Apalagi, kewenangan subyektif presiden menerbitkan peraturan darurat (Noodverordeningsrecht) rentan terjebak pada otoritarianisme. Terutama karena norma Pasal 22 UUD 1945 tentang kondisi darurat juga relatif kabur (blanket norm) dan hampir tak terukur. Yang jauh lebih berperan adalah sisi subyektif presiden.
Selain itu, perppu diterbitkan ketika kosmos politik-hukum saat itu dilanda gelombang corruptor fight back. Penetapan dua pemimpin KPK sebagai tersangka dengan fondasi hukum yang lemah menjadi sorotan publik. Apalagi kemudian diketahui dugaan rekayasa proses hukum semakin meyakinkan kita bahwa kriminalisasi dua pemimpin KPK berkontribusi serius terhadap pelemahan KPK. Dalam kondisi inilah perppu diterbitkan. Maka, wajar publik khawatir, beleid ini adalah alat pembenar kriminalisasi KPK.
Persinggungan antara lemahnya argumentasi “keadaan darurat” dan dugaan perppu sebagai alat legitimasi kriminalisasi KPK setidaknya melahirkan dua peringatan serius. Pertama, jangan sampai presiden mengobral perppu hanya karena definisi “keadaan darurat” bersifat subyektif dan, kedua, jangan bajak KPK dengan memusatkan kewenangan menunjuk pimpinan KPK hanya dari eksekutif.
Argumentasi poin kedua ini tergambar jelas pada Pasal 33A Ayat (1) Perppu bahwa presiden berwenang mengangkat anggota sementara sejumlah jabatan yang kosong di KPK. Padahal, UU KPK memberikan syarat yang rinci dan proses silang pemilihan antara eksekutif dan legislatif. Maksud proses seleksi UU KPK agaknya menekankan pada konsepsi kelembagaan KPK yang memang harus dipastikan benar-benar tidak tunduk pada kepentingan politik pihak yang memilihnya.
Bandingkan dengan klausul perppu yang memusatkan kekuasaan pada presiden. Bayangkan jika suatu saat presidennya tidak berkomitmen dengan pemberantasan korupsi. Padahal, pasal itu rentan memosisikan KPK sebagai subordinat di bawah kekuasaan presiden. Hal ini tentu akan melemahkan menyandera KPK dalam kepentingan politik partisan.
Kuda Troya
Akan tetapi, meskipun dengan argumentasi yang sangat lemah, faktanya Komisi III DPR telah menolak Perppu No 4/2009. Sikap tersebut akan segera disampaikan dalam forum paripurna DPR, Kamis (4/3). Konsekuensi substantifnya, perppu batal. Dengan demikian, cepat atau lambat materi perppu tidak mengikat secara hukum. Meskipun harus diakui secara teoretis, akibat hukumnya masih diperdebatkan. Apakah harus menunggu pengesahan RUU pencabutan perppu atau otomatis tidak mengikat sejak Rapat Paripurna DPR menyatakan tidak menerima?
Yang terpenting adalah penolakan perppu harus diarahkan pada kepentingan penyelamatan KPK. Ketua KPK (sementara) yang terpilih berdasarkan perppu sudah selayaknya tidak perlu terjebak pada debat konstitusional apakah harus menunggu prosedur formal pencabutan perppu hingga keppres pemberhentian. Ketua KPK diminta lebih menggunakan mekanisme pengunduran diri yang diatur di Pasal 32 Ayat (1) huruf (e) UU KPK bahwa pimpinan berhenti karena “mengundurkan diri”.
Apakah perlu dilakukan seleksi untuk mengisi satu kursi KPK itu? Saya kira tidak perlu. Karena seleksi ulang, dalam kondisi politik hukum dengan kepentingan yang silang sengkarut dengan KPK, justru akan membuka kemungkinan penyusupan “agen” kuda troya baru di lembaga ini. Penyelesaian kasus Bank Century, misalnya. Bagaimana mungkin, KPK bisa memproses aktor utama kasus Century jika salah satu pimpinannya ditanam oleh pihak yang tidak steril dari kasus tersebut. Pasalnya, dominannya pemerintah dalam proses seleksi akan membuat warna pimpinan terpilih lebih potensial sama dengan warna si pemilih.
Inilah yang disebut dengan kemungkinan penyusupan kuda troya jilid II ke KPK. Seleksi ulang jelas harus ditolak karena segala upaya penempatan virus trojan itu harus dipatahkan. Apalagi, pengambilan keputusan oleh empat pemimpin KPK tidaklah inkonstitusional. Dan, secara empiris, kinerja empat pemimpin KPK minus Antasari lebih baik dibandingkan dengan setelah tiga pimpinan sementara mulai bekerja di KPK.
Febri Diansyah, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW
Sumber : Kompas, Kamis, 4 Maret 2010