Jakarta - Musik di Indonesia sangat beragam, karena terdiri dari bermacam suku bangsa. Maka tidak heran, jika Indonesia memiliki ribuan jenis musik.
Musik merupakan sebuah bahasa universal, yang didalamnya terdapat manifestasi dari kebudayaan. Melalui musik pula, manusia dapat saling berkomunikasi hingga menyentuh segala lapisan masyarakat. Para musisi telah berperan layaknya pelaku pemasaran dalam mengenalkan budayanya.
Salah satunya yaitu Ayu Laksmi. Penyanyi, penulis lagu, penari, aktris film dan teater, serta penutur ini mengaku terinspirasi dari filosofi berbagai ajaran universal dalam bekarya. Namun, ia tetap berpijak pada kearifan lokal, budaya, dan tradisi nusantara.
Hasilnya, wanita kelahiran Singaraja, Bali, 25 November 1967 ini mengeluarkan album keduanya yang diberi judul `Svara Semesta`. Album yang dirilis pada 2011 tersebut merupakan buah inspirasi Ayu Laksmi terhadap kearifan budaya Bali.
Svara Semesta juga ditampilkan dalam kombinasi sastra, tari, dan teater bertajuk `Live Theatrical Music Performance Svara Semesta`. Empat nyanyian yang dipilih yaitu Maha Asa, Wirama Totaka, Breathing, dan Om Mani Padme Hum, berkisah tentang seekor kera berwajah cantik yang setiap purnama menangis.
Seniman lain yang memeriahkan panggung musik Indonesia yaitu Gus Candra. Sebagai seorang sufi, Candra menemukan jati dirinya sebagai bagian dari bangsa yang kaya akan budaya.
Gus Candra bukanlah sufi yang jauh dari gemerlap dunia. Tapi, ia justru menemukan gaya musiknya sendiri yang bernuansa Islami.
"Justru kita harus menemukan jati diri kita sebagai sebuah bangsa, kita hadirkan itu sebagai kekayaan. Bahwa tema dasarnya itu bukan mengislamkan Indonesia, tapi meng-Indonesia-kan Islam," katanya.
Ada lagi dua profesor musik terkenal asal Indonesia yang mengabdikan dirinya kepada musik. Mereka adalah Tjut Nyak Deviana Daudsjah dan Avip Priatna.
Deviana mengenyam pendidikan tinggi musik di Musikhochschule Freiburg Jerman pada 1977, jurusan piano klasik dan komposisi. Cintanya trehadap Indonesia dan musik, diwujudkan dengan mendirikan Institusi Musik Daya Indonesia (IMDI) untuk meningkatkan mutu pendidikan musik di Indonesia.
"Saya sebagai pendidik musik sangat prihatin. Akhirnya saya tinggalkan pekerjaan saya di sana dan memilih kembali ke Indonesia untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan musik di Indonesia," tutur Deviana.
Sementara Avip Priatna, konduktor muda Indonesia dengan segudang prestasi yang mendunia tersebut menekuni musik berkat apresiasi dan dukungan keluarga serta teman-teman.
"Saya beruntung bertemu dengan orang-orang yang pas. Dari kecil sampai besar, punya teman yang senang dengan musik klasik," ungkap Avip.
Sedangkan di komunitas musik, ada dua komunitas yang berusaha melestarikan budaya Indonesia belalui musik, yaitu Sanggar Bapontar dan Komunitas Hahae.
Sanggar Babontar merupakan grup musik kolintang yang didirikan oleh Beiby Luana Sumanti, seorang perempuan yang konsen dengan perkembangan musik tradisional asal Minahasa. Tujuan dari sanggar ini adalah melestarikan kolintang sebagai alat musik asli Minahasa.
Melalui Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN), Beiby mendaftarkan kesenian kolintang ke UNESCO. Agar alat musik tradisional Minahasa ini tidak diklaim negara lain nantinya.
Komitas lainnya yaitu Hahae Community, sebuah komunitas yang anggotanya merupakan musisi dan penyanyi berdarah Maluku. Hahae Community dibentuk pada 20 Oktober 2011 di Jakarta, untuk memperbaiki image buruk orang Maluku yang terkenal keras kepala, kasar, egois, dan tidak menepati janji.
"Tugas kita adalah membuat program yang merubah budaya yang selama ini jelek, menjadi hal yang membuat bangga orang Maluku," ungkap salah satu anggota Hahae Community, JFlow.
Sumber: http://hiburan.metrotvnews.com