Ambon - Komitmen dan konsistensi pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku dalam pemberantasan kasus korupsi kini tengah diuji. Dugaan kasus korupsi pembelian kapal cepat Pamahanu Nusa milik Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah yang dibeli senilai Rp 14 miliar pada tahun 2001, sedang diproses. Sejak pagi hingga sore tadi, Selasa (31/5/2005), mantan Bupati Maluku Tengah, Rudolf Rukka menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Pemeriksaan yang dipimpin Asisten Tindak Pidana Khusus (Adpidsus) Zainal Arifin ini berlangsung sekitar delapan jam. Kasus ini ditangani Kejati Maluku setelah diduga terjadi mark up mencapai Rp 7 miliar. Angka ini diperoleh setelah diketahui harga kapal tidak sesuai alias lebih mahal dengan kondisi kapal. Padahal perencanaannya, kapal yang dibeli mestinya kapal baru dengan harga Rp 14 miliar. Ternyata realisasinya adalah kapal bekas seharga Rp 5,8 miliar. Selain itu, spesifikasi ukuran, kapasitas, hingga kecepatan kapal tidak sesuai dengan isi kontrak.
Pembelian kapal cepat ini atas persetujuan DPRD Maluku Tengah dan sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2001/2002, serta Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Pencairan anggaran pembayaran kapal dilakukan Rukka pada tahap pertama lewat APBD Maluku Tengah sebesar Rp 6,6 miliar. Selanjutnya karena terjadi pergantian bupati, maka pembayaran berikutnya dicairkan oleh bupati saat ini, Abdullah Tuasikal yang berasal dari DAU sebesar Rp 6,5 miliar.
Indikasi korupsi makin menguat setelah ditemukan kapal yang datang setelah dilunasi tidak lagi sesuai dengan yang dipesan sesuai isi kontrak. Misalnya saja, spesifikasi ukuran kapal dalam kontrak ternyata tidak sesuai dengan ukuran kapal sebenarnya. Dalam kontrak disepakati ukuran panjang 35 meter dan lebar 6,80 meter. Namun kapal yang dibeli kenyataannya berukuran panjang 29,81 meter dengan lebar 6,60 meter. Kecepatan kapal yang tadinya dipesan harus 45 knot, yang terjadi justru kecepatan kapal hanya 29 knot.
Rukka yang dicegah wartawan saat hendak makan siang menolak berkomentar. Sedangkan kuasa hukumnya, Filio Pistos Noija kepada wartawan menolak kalau kliennya disebut bersalah dalam kasus ini. Filio beralasan, saat kapal tersebut datang ke Maluku pada tahun 2003 lalu, kliennya sudah melepas jabatan bupati Maluku Tengah pada Juni 2002. Pembayaran uang sisa hingga didatangkan kapal tersebut sudah pada masa jabatan Abdullah Tuasikal. "Kalau kita lihat penandatanganan kontrak pengadaan kapal cepat MV Pamahanu Nusa, yang ditandatangani oleh klien saya tidak seperti kenyataan yang beroperasi sekarang. Baik itu ukuran, kapasitas mesin kapal, hingga kecepatan kapal. Sudah jauh dari isi kontrak dan tentu harganya juga pasti lebih murah," katanya.
Filio menjelaskan, kapal yang tadinya dibeli sesuai kontrak memang sudah dijual oleh galangan kapal, PT Pelindo Tanjung Pinang, Riau, tempat dibuatnya kapal tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Natuna, Kalimantan Timur, karena pembayaran tahap kedua belum dibayar. Padahal saat itu, kapal sudah rampung 80 persen dan belum dilunasi oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Menurut Filio, setelah menjabat sebagai bupati Maluku Tengah pada Juli 2002 lalu, Tuasikal seharusnya menunda proses pembayaran sambil menuntut PT Young Marien, selaku kontraktor dalam proyek pengadaan kapal cepat ini, untuk melakukan ganti rugi, lantaran kapal yang dipesan dan sudah dibayar jaminannya telah dijual kepada pihak lain.
Ditegaskan Filio, kapal yang sekarang sudah beroperasi itu baik tipe maupun ukuran sudah tidak sesuai dengan kontrak yang ditandangani Rukka bersama PT Young Marien, selaku kontraktor dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK) yang ditandatangani pada 26 November 2001. "Maka dengan demikian, harga juga harus menurun dong. Tapi harga Pamahanu Nusa ini tetap sama. Ini yang kemudian dari sisi hukum diduga terjadi mark up," tandasnya.
Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal kepada wartawan di Ambon belum lama ini membantah keterlibatannya dalam tindakan mark up pembelian kapal MV Pamahanu Nusa sebesar 7 miliar. Dirinya mengaku hanya menjalankan kontrak senilai Rp 14 miliar yang disetujui Rukka dan DPRD Maluku Tengah periode 1999-2004.
Dugaan kuat adanya mark up pembelian kapal MV Pamahanu Nusa ini karena hasil perbandingan dengan kapal MV Bahari Ekspres 11 yang juga melayari rute yang sama dengan Pamahanu Nusa. Kapal itu dibeli dalam tahun yang sama dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan Pamahanu Nusa. Padahal Bahari Ekspres 11 berukuran jauh lebih besar daripada Pamahanu Nusa. Begitu pun peralatan dan fasilitas yang ada. "Kapal Bahari Ekspres yang lebih besar dengan Pamahanu Nusa, harganya hanya Rp 9 miliar. Sementara Pamahanu Nusa yang merupakan kapal bekas dan jauh lebih kecil, harganya jauh lebih mahal, yakni Rp 14 miliar. Makanya ada dugaan kuat penyimpangan dalam kasus ini," kata Adpidsus Zainal Arifin kepada wartawan sebelum melakukan pemeriksaan terhadap Rukka. (sss/)
M Hanafi Holle - detikNews
Sumber : detikNews.com 31 Mei 2005