Gorontalo - Ketua DPRD Provinsi Gorontalo Amir Piola Isa dijerat sebagai terdakwa kasus dugaan korupsi dana mobilisasi sebesar Rp 5,4 miliar. Perkara ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Gorontalo, Senin (1/8). Amir Piola dianggap bertanggung jawab dalam penggunaan bantuan dana mobilitas sebesar Rp 5,4 milyar.
Menurut Jaksa Wahyudi, dana yang bersumber dari Pemerintah Provinsi Gorontalo itu dibagi-bagi masing-masing Rp 120 juta untuk setiap anggota Dewan periode 2001-2004. Perbuatan ini telah merugikan keuangan negara. Sebab, terdakwa bersama-sama dengan Gubernur Provinsi Gorontalo Fadel Muhammad telah membuat surat keputusan bersama (SKB) nomor 112 tahun 2002 dan nomor 16 tahun 2002
Dana Rp 5,4 milyar telah dibagi-bagi untuk pembelian mobil bagi 45 anggota Dewan. Dana berasal dari pos sisa lebih perhitungan anggaran tahun 2001. Keinginan ini membeli mobil ini muncul karena sebagian besar anggota Dewan tidak memiliki kendaraan operasional roda empat. Lalu, muncul ide meminta dana mobilisasi kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Terdakwa Amir menampung aspirasi dan keinginan anggota DPRD. Lalu, terdakwa menyampaikan permintaan itu kepada pemerintah provinsi melalui kepala Biro Keuangan. Permintaan ini mendapat reaksi dari Kepala Biro Keuangan pemerintah provinsi. Biro Keuangan membuat telaah kepada Gubernur Gorontalo yang menyebutkan dalam teknis penganggaran dana tersebut belum tercantum.
Selain itu, sesuai dengan ketentuan PP 110 tahun 2000 pasal 14 batasan jumlah anggaran operasional sebesar 1,5 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, PAD Gorontalo hanya sebesar Rp 14 milyar. Jadi, dana yang bisa disalurkan hanya Rp 210 juta.
Meski ada telaah, terdakwa dan Gubernur Fadel Muhammad telah membuat SKB nomor 112 tahun 2002, nomor 16 tahun 2002 tentang pelampauan APBD tahun Anggaran 2002. SKB ini keluar tanpa melalui rapat paripurna atau rapat pimpinan. Karena itu bertentangan dengan pasal 133, 134 dan 135 Keputusan DPRD Provinsi No. 03 tahun 2001 tentang Tata Tertib. "Terdakwa diancam pidana sesuai pasal 2 ayat 1 junto pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 junto UU No. 20 tahun 2001, tentang pemberantasan Korupsi," kata Jaksa Muji Martopo.
Dalam dakwaan jaksa, dana Rp 120 juta untuk tiap anggota Dewan ini dibuat seolah-olah bentuk pinjaman di Bank Sulut (dulu Bank Pembangunan Daerah cabang Gorontalo). Dana ini bukan berasal dari Pemerintah Provinsi Gorontalo. Untuk meyakinkan bahwa itu pinjaman, dari dana Rp 120 juta itu telah dipotong Rp 6 juta untuk kepentingan provisi bank, asuransi dan kepentingan lainnya.
Amir yang terpilih lagi sebagai Ketua DPRD Provinsi Gorontalo periode 2004-2009, dalam eksepsi yang disampaikan penasehat hukum Muchtar Luthfi dan Syahril Hamid menganggap surat dakwaan itu kabur. Sebab, dalam dakwaan itu jaksa menyebutkan terdakwa bertindak sendiri atau bersama-sama dengan Fadel Muhammad sebagai Gubernur Gorontalo dan ketua komisi C DPRD Provinsi Gorontalo (almarhum). "Dakwaan ini kabur dan prematur, Pak Fadel (Gubernur) tidak pernah diperiksa,"kata Syahril.
Lagi pula, menurut Syahril, dana mobilisasi yang dipinjam anggota Dewan sudah dikembalikan. "Jadi, tidak bukti bahwa terdakwa telah merugikan uang negara,"katanya. Selain uang yang dipinjam sudah dikembalikan, menurut Syahril, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan bahwa tidak ada kerugian negara. Kasus itu sudah pernah di-peti-es-kan. Tapi, kasus ini dibuka kembali tahun 2004. "Sudah ada SP3 dan belum dicabut,"ujar Syahril. (Verrianto Madjowa)
Sumber: Tempo Interaktif, Senin, 01 Agustus 2005