Garut - Warga Kabupaten Garut, Jawa Barat yang selama ini bermukim di sekitar kawasan kaki Gunung Guntur, diimbau tetap mewaspadai kondisi lingkungan tofografi gunung tersebut. Namun warga diminta tenang dan jangan cepat panik.
"Hingga kini masih berstatus aktif normal atau belum terdapat peningkatan intensitas kegempaan vulkanik maupun tektoniknya, ungkap bupati setempat Aceng H.M Fikri saat dihubungi, Jumat (5/3).
Bahkan pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sama sekali belum merekomendasikan harus dilakukannya evakuasi dan pengungsian penduduk, katanya. Sejarah letusan gunungapi ini, diawali 1690 yang banyak menelan korban jiwa serta kerusakan besar, disusul letusan pada 1770 selanjutnya tahun 1777, 1780, 1800, 1803, 1807, 1809, 1815, 1816, 1818, 1825 bersamaan dengan terjadinya perang Diponogoro.
Terjadi pula letusan pada 1828, 1829, 1832, 1833, 1834, 1840, 1841, 1843, 1847, 1885 serta letusan terakhir pada 1887, sehingga sekurangnya telah terjadi 21 letusan dengan periode istrirahatnya berkisar 1-20 tahun, dengan daerah bahaya meliputi Kecamatan Samarang, Tarogong dan Kecamatan Banyuresmi.
Terdapat pula daerah waspada, antara lain wilayah Kecamatan Leles, Kecamatan Kadungora serta Kecamatan Limbangan. "Saat ini masih terdapat sejumlah bongkahan batu berukuran raksasa, yang sudah berada di tengah pemukiman penduduk Kecamatan Tarogong Kaler, bongkahan batu hitam tersebut terbawa erupsi maupun letusan ratusan tahun lalu," ungkap petugas pengamat gunung api Garut, Trisno. (Ant/OL-06)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com
"Hingga kini masih berstatus aktif normal atau belum terdapat peningkatan intensitas kegempaan vulkanik maupun tektoniknya, ungkap bupati setempat Aceng H.M Fikri saat dihubungi, Jumat (5/3).
Bahkan pihak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), sama sekali belum merekomendasikan harus dilakukannya evakuasi dan pengungsian penduduk, katanya. Sejarah letusan gunungapi ini, diawali 1690 yang banyak menelan korban jiwa serta kerusakan besar, disusul letusan pada 1770 selanjutnya tahun 1777, 1780, 1800, 1803, 1807, 1809, 1815, 1816, 1818, 1825 bersamaan dengan terjadinya perang Diponogoro.
Terjadi pula letusan pada 1828, 1829, 1832, 1833, 1834, 1840, 1841, 1843, 1847, 1885 serta letusan terakhir pada 1887, sehingga sekurangnya telah terjadi 21 letusan dengan periode istrirahatnya berkisar 1-20 tahun, dengan daerah bahaya meliputi Kecamatan Samarang, Tarogong dan Kecamatan Banyuresmi.
Terdapat pula daerah waspada, antara lain wilayah Kecamatan Leles, Kecamatan Kadungora serta Kecamatan Limbangan. "Saat ini masih terdapat sejumlah bongkahan batu berukuran raksasa, yang sudah berada di tengah pemukiman penduduk Kecamatan Tarogong Kaler, bongkahan batu hitam tersebut terbawa erupsi maupun letusan ratusan tahun lalu," ungkap petugas pengamat gunung api Garut, Trisno. (Ant/OL-06)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com