Arsitektur Masjid di Jawa Pada Abad ke 15-16

Oleh Tim Wacana Nusantara

Arsitektur Masjid di Jawa Pada Abad ke 15-16
(Tinjauan Terhadap Pengaruh Pertukangan Cina Terhadap Bangunan Masjid Jawa Kuno)

A. Masjid
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali dalam Al-Quran. Dari segi bahasa, kata tersebut terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan salat dinamakan masjid, "tempat bersujud."

Masjid adalah tempat ibadah umat Muslim. Masjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar, atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas Muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Quran sering dilaksanakan di masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Banyak pemimpin Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti Mekah dan Madinah yang berdiri di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Kota Karbala juga dibangun di dekat makam Imam Husein. Wilayah Nusantara khususnya Jawa pada abad ke- 15-16 merupakan wilayah yang sedang mengalami peralihan kekuasaan dari zaman Hindu-Buddha ke zaman kerajaan Islam. Pada masa itu kerajaan kerajaan banyak meninggalkan bangunan yang berupa masjid, seperti halnya pada zaman kerajaan Hindu-Bunda banyak meninggalkan bangunan suci berupa candi, petirtaan, dll. Bangunan keagamaan merupakan simbol keberadaan sebuah keyakinan dalam kerajaan.

Selain tempat beribadah (menunaikan salat lima waktu) fungsi lainnya adalah sebagai tempat pendidikan. Masjid sering kali digunakan untuk berdakwah atau belajar dan mengajarkan agama Islam, maupun pendidikan umum. Pada masa kerajaan Islam masjid dipergunakan sebagai tempat untuk mengengajarkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keIslaman; dari sinilah pengaruh dan ajaran Islam berkembang.

Masjid datang ke Nusantara dibawa oleh agama Islam. Jauh sebelum datangnya Islam: Nusantara sudah banyak mengalami percampuran budaya terutama yang datang dari Cina dan India. Pengaruh kebudayaan India dapat kita terlihat dalam pembangunan candi-candi yang masih dapat kita kenal sampai sekarang. Sedangkan pengaruh Cina pada masa itu belum terlalu kelihatan terutama yang berhubungan dengan bangunan suci atau tempat ibadah, dalam hal ini pengaruh percampuran kebudayaan baik dengan kebudayaan asli Nusantara, India, maupun Islam. Untuk itu tulisan ini akan mencoba untuk menguraikan tentang pengaruh kebudayaan Cina dalam arsitektur masjid.

Kajian terhadap unsur-unsur Cina dalam khazanah kebudayaan Islam di Jawa tidak hanya dihadapkan pada realitas minimnya data-data sejarah berupa situssitus kepurbakalaan yang tersedia, tetapi juga berhadapan dengan persepsi publik Muslim selama ini yang meyakini bahwa proses Islamisasi di Jawa itu datang langsung dari Arab atau minimal Timur Tengah, bukan dari Cina. Kalaupun sebagian mereka ada yang menganggap adanya pengaruh Gujarat-India, namun Gujarat yang sudah ‘diarabkan’(Qurtuby, 2003:177).

Nusatara pernah berjaya dengan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, kerajaan tersebut muncul dan tenggelam dalam sejarah Nusantara, mulai dari kerjaan Kutai sampai dengan kerjaan Majapahit. Berbagai pendapat mengemuka tentang keruntuhan kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, mulai dari perebutan kekuasaan dalam anggota keluarga kerajaan, kedatangan bangsa barat dan kedatangan Islam. Semuanya memiliki bukti dan data yang cukup untuk memperkuat pendapatnya masing-masing. Terlepas dari perdebatan penyebab keruntuhan kerajaan Hindu-Buddha, yang jelas selepas kerajaan Hindu-Buddha runtuh kerajaan yang bercorak Islam banyak berkuasa di Nusantara.

Seperti halnya pada masa kerajaan Hindu-Buddha yang banyak meninggalkan bangunan tempat suci atau tempat beribadah, maka masa kerajaan Islam juga meninggalkan bangunan suci tempat beribadah yaitu berupa masjid. Masjid peninggalan pada abad ke-15 sampai ke-16 memiliki bentuk yang spesifik. Peninggalan masjid pada masa tersebut diyakini sebagai hasil dari bentuk arsitektur transisi, antara kebudayaan Hindu-Buddha ke Islam. Keadaan yang seperti itu menghasilkan bentuk arsitektur masjid yang spesifik, dan tidak telepas dari kebudayaan sebelumnya. Masjid kuno Jawa sebagai tempat ibadah kaum Muslim, tentunya sangat erat hubungannya dengan awal masuk dan berkembangnya agama Islam di Nusantara.

Berbicara mengenai teori masuknya Islam ke Nusantara, ada empat buah teori tentang awal masuknya Islam ke Nusantara. Pertama, teori Arab, yang menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang yang berasal dari Arab (tepatnya Hadramaut) atau Timur Tengah. Kedua,teori India, yang menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Ketiga, teori Cina, yang menyatakan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara (terutama Pulau Jawa) dibawa oleh komunitas Cina-Muslim. Keempat, teori Persia, yang menyatakan Islam tiba di Nusantara melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke Nusantara sekitar abad ke-13 M.

Teori Cina yang menyatakan masuknya Islam ke Jawa abad ke 15 dan 16, didukung oleh Sumanto al Qurtuby (2003). Menurutnya, abad-abad tersebut disebutnya sebagai zaman “Sino-Javanese Muslim Culture”dengan bukti di lapangan seperti: Konstruksi Masjid Demak (terutama soko tatal penyangga Masjid), ukiran batu padas di Masjid Mantingan, hiasan piring dan elemen tertentu pada Masjid Menara di Kudus, ukiran kayu di daerah Demak, Kudus dan Jepara, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, elemen-elemen yang terdapat di keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, dan sebagainya; semuanya ini menunjukkan adanya pengaruh pertukangan Cina yang kuat sekali.


Peta perjalanan orang Cina ke Asia Tenggara pada abad ke-15 & 16, dengan rute Barat ke Timur.
Mereka ini pada umumnya berangkat dari tiga kota utama di Cina Selatan yaitu: Quanzh Xiamen dan Guangzhou (Canton). Kota-kota pantai utara Jawa seperti: Tuban, Jepara, Lasem, Gre Semarang, Banten dan sebagainya menjadi tujuan utama mereka. (Reid, 2001, Flows Seepages in the Long-term Chinese Interaction with Southeast Asia, dalam Sojourners and Settlers, Univer of Hawaii, Honolulu)

Tentang masuknya Islam ke Jawa pada abad ke-15-16 memang banyak kerancuan, sebeb banyak bukti yang menyatakan Jawa sudah dimasuki Islam sebelum abad tersebut. Hal yang harus dibedakaan adalah masuknya Islam dan pengaruh arsitektur bangunan Islam (masjid) di Jawa pada abad ke-15 dan 16 M. Maka, dalam hal ini akan dibahas mengenai pengaruh pertukangan Cina terhadap bentuk arsitektur masjid di Jawa.

1. Sumber Pelaut Belanda
Sumber yang menjelaskan gambaran kuno bentuk masjid di Jawa secara tertulis didapat dari buku: Oost Indische Vojage (1660), Der Mooren Tempel in Java” yang ditulis oleh Wouter Schouten (Graaf, 1998: 157; Lombard, 1994: 122). Schouten menggambarkan bangunan masjid di Jepara pada abad ke-17 tersebut sebagai bangunan konstruksi kayu, lima lantai, dan diikelilingi oleh parit. Bangunan masjid tersebut beratap runcing dan dihiasi oleh ornamen, tiap lantainya bisa dicapai dari dalam dengan tangga kayu. Di buku tersebut juga terdapat gambar dari Jepara dilihat dari arah laut, di mana bangunan masjid tersebut merupakan bangunan yang tertinggi di Jepara waktu itu.

Bangunan masjid berlantai 5, lukisan yang dibuat oleh juru gambar atas instruksi dari Wouter Schouten (1660)

Dalam tulisannya Wouter tidak menjelaskan secara detail tentang masjid kuno tersebut. Bangunan masjid kuno di Jawa pada umumnya dikelilingi oleh kolam. Kolam tersebut biasanya digunakan untuk air wudu ketika akan sembahyang. Secara garis besar masjid kuno Jawa yang dibangun pada abad ke-15 dan 16 memunyai ciri-ciri:

1. Atapnya bersusun lima;
2. Bentuknya segi empat dan simetri penuh;
3. Denahnya dikelilingi oleh kolam, yang digunakan sebagai air wudhu ketika akan sembahyang;
4. Prototipe denahnya dapat digambarkan seperti ini:

* mihrab, tempat kecil pada pusat tembok sebelah barat dipakai oleh imam masjid
* ruang utama masjid, dipakai untuk sembahyang oleh kaum pria
* serambi, beranda sebuah masjid
* pawestren, tempat sembahyang bagi wanita
* kolam, tempat berisi air yang digunakan untuk wudhu
* garis aksis menuju Mekah, garis maya sebagai orientasi pada pembangunan sebuah masjid
* makam, kuburan
* pagar keliling, pagar pembatas komplek masjid
* gerbang, pintu masuk utama di komplek masjid atau makam

Alat yang dipergunakan untuk memanggil jemaah salat adalah bedug. Bedug adalah alat musik tabuh seperti gendang. Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Pada zaman Islam, bedug dipergunakan sebagai alat pertanda telah masuknya waktu salat (ashar, magrib, isya, subuh, dan duhur). Di Jawa bedug merupakan ciri khas masjid kuno. Amen Budiman (1979: 40) bahkan mengatakan asal-usul bedug yang diletakkan di serambi-serambi masjid Jawa, merupakan pengaruh arsitektur Cina, di mana bedug diletakkan tergantung di serambi kelenteng. Tapi di Masjid Menara Kudus, bedugnya justru diletakkan di bagian atas menara.

Bedug, yang ditempatkan di atas menara di Masjid Menara Kudus

Hal lain yang dianggap cukup menarik dan bagian dari ciri khas dari masjid-masjid kuno di Jawa adalah keberadaan sebuah makam, yang diletakkan di bagian belakang atau samping masjid. Hampir tidak jauh dari komplek masjid kuno Jawa selalu terdapat makam-makam yang disakralkan dan dimitoskan oleh penduduk setempat. Orang-orang yang dimakamkan di sekitar masjid bisanya mereka yang berjasa dalam penyebaran Islam (tokoh agama). Penyakralan tersebut merupakan bagian dari penghargaan atau penghormatan dari masyarakat atau umat kepada orang yang dihargainya. Namun penyakralan ini akan berbahaya apabila sudah keluar dari kaidah-kaidah keislaman, karena akan mengakibatkan perbuatan syirik. Pengeramatan tersebut terjadi di masjid-masjid yang terletak di desa seperti misalnya Masjid Sendang Duwur di Pacitan Lamongan atau Masjid Mantingan di Jepara, juga masjid-masjid kuno di Kudus (Masjid Menara Kudus), Surabaya (Masjid Sunan Ampel), Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten. Bentuk seperti ini merupakan ciri khas dari masjid kuno di Jawa.

Masjid Jepara yang diambil pada abad ke-17 dengan atapnya bersusun 5.

Masjid di Jepara yang dilukis oleh seorang pelaut Belanda pada abad ke 17.

Masjid Banten, yang dibangun oleh Sultan Maulana Jusuf pada tahun 1580.

Masjid kuno di Padang, Sumatra Barat, yang masih terdapat kolam di sekelilingnya seperti masjid awal di Jawa. Foto diambil oleh Jean Demmeni, juru foto Belanda yang terkenal pada 1900-an.

Pura Bali dekat Jimbaran dengan atapnya bersusun sebelas.

2. Pertukangan kayu dan batu orang Cina di Jawa.
Tidak seperti pengaruh Hindu, pengaruh peradaban Cina terhadap peradaban Jawa dan Bali kurang diketahui. Namun ada kemungkinan seni rupa Jawa dan Bali zaman pra-Islam memiliki lebih banyak unsur dan motif China daripada yang diungkapkan hingga kini (Graaf, 1985: 10).

Berita pertama mengenai masyarakat Cina Muslim di Jawa berasal dari Haji Ma Huan, seorang sekretaris dan juru bahasa Cheng Ho (Zheng He). Ma Huan sedikitnya telah mengikuti tiga kali misi muhibah Cheng Ho. Dari perjalanan muhibah tersebut, Ma Huan berkesempatan melihat dari dekat keadaan masyarakat di Jawa waktu itu. Ma Huan selanjutnya menjelaskan dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan bahwa di Jawa terdapat tiga golongan masyarakat. Pertama, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibukota. Kedua, orang-orang Tionghoa yang berasal dari Provinsi Guangdong, Zhangzhou, Quanzhou banyak pula beragama Islam. Ketiga, rakyat selebihnya menyembah berhala dan tinggal bersama anjing mereka.

Dari sumber-sumber berita di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

* Orang Cina Muslim pada abad ke-15 sudah banyak terdapat di kota-kota pelabuhan, terutama di pantai utara Pulau Jawa.
* Sudah banyak terdapat bangsa Cina dari Provinsi Guangdong di Jawa. Hal ini penting karena sebagian besar suku Konghu (asal Guangdong) secara turun menurun berprofesi sebagai tukang yang sangat ahli dalam pengerjaan kayu dan batu.

Tukang batu dan kayu orang Cina berasal dari suku Konghu (asal Guangdong) yang mengerjakan bagian dari lantai, trap, dinding bawah, selasar dan teras serta ornamen Gedung Sate, Bandung.

Hal yang menarik dan mungkin dapat menjadi bukti adanya pengaruh Cina dalam petukangan adalah daerah-daerah pesisir yang paling dulu di menganut Islam seperti Demak, Kudus, Jepara tercatat sebagai daerah penghasil ukiran kayu, bahkan Jepara terkenal sebagai sentral ukiran sampai sekarang. Sumber lisan di sekitar daerah Masjid Menara Kudus, menyebutkan nama Kyai The Ling Sing, sahabat karib Sunan Kudus (Ja’far Sodiq - abad ke-15) dan sekaligus sebagai peletak dasar pertukangan dan seni ukir kayu di daerah Kudus dan sekitarnya.

Di samping itu ada juga nama Sun Ging An pada abad ke-15, yang ahli dalam bidang seni ukir di Kudus dan Sunggingan yang dulu merupakan daerah penghasil ukiran di Kudus. Gaya seni ukir Sunggingan akhirnya menjadi salah satu pendukung arsitektur bangunan rumah di Kudus. Hal ini dapat dilihat pada bentuk dan motif krobongan, rumah adat Kudus, bentuk regol, kongsel, dan ornamen ukiran yang bercirikan ular naga (Qurtuby, 2003: 138).

Nama Tjie Wie Gwan tercatat sebagai Cina Muslim yang ahli dalam pertukangan kayu dan seni ukir pada masa Ratu Kalinyamat pada abad ke-16. Tjie Wie Gwan dijuluki sebagai sungging badar duwung (ahli pemahat batu). Makam Tjie Wie Gwan terdapat di antara makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat (penguasa Jepara abad ke-16). Berkembangnya seni ukir Jepara ini tidak luput dari jasa Tjie Wie Gwan (Qurtuby, 2003: 137).

Sumber sejarah lisan merupakan salah satu bukti bahwa seni pertukangan batu dan kayu Cina sudah berkembang sejak abad ke-15 dan 16 M di wilayah pantai utara Jawa, seperti Jepara, Kududs, Demak, dan sebagainya.

3. Bangunan Masjid Kuno di Jawa
Untuk mengaji ada tidaknya unsur-unsur “asing” kaitannya dengan “kebudayaan Islam” biasanya yang dijadikan ukuran atau acuan pertama adalah masjid (Pijper, 1985: 14-15).

Untuk melihat ada-tidaknya pengaruh pertukangan Cina dalam gaya arsitektur masjid kuno di Jawa, ada tiga sampel masjid yang dapat mewakili ada-tidaknya pengaruh tersebut. Ada pun ketiga masjid itu adalah: Masjid Demak (1474), Masjid Kudus (1537), dan Masjid Mantingan (1559)

a) Masjid Demak (1479)

Masjid Demak yang diambil pada tahun 1810, serambi depan belum ada, demikian juga dengan minaret atau menaranya.

Masjid Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa. Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak sekitar 26 km dari Kota Semarang, sekitar 25 km dari Kabupaten Kudus, dan sekitar 35 km dari Kabupaten Jepara.

Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan masjid bernilai historis bagi seni bangun arsitektur tradisional khas Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, dan berwibawa. Kini Masjid Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.

Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan akidah Islam yang terdiri dari tiga bagian: (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, yang bermakna tahun 1388 Saka, atau 1466 M, atau 887 H.

Denah lokasi sekitar Masjid Demak

Raden Fatah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Condro Sengkolo Memet, dengan arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna 1401 Saka. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 ( satu ), kaki 4 berarti angka 4 ( empat ), badan bulus berarti angka 0 ( nol ), ekor bulus berarti angka 1 ( satu ). Bisa disimpulkan, Masjid Demak berdiri pada 1401 Saka atau 1479 M.

Soko Majapahit, merupakan tiang yang berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden Fatah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak tahun 1475 M.

Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk salat jamaah wanita, dibuat menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap (genteng kayu) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, 4 di antaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A. Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.

Surya Majapahit, merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.

Maksura , merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid. Artefak Maksurah di dalamnya berukirkan tulisan Arab yang intinya memuliakan keesaan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka 1287 H (1866 M), di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.

Pintu Bledheg, yakni pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

Mihrab, atau tempat pengimaman, di dalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan ijtihad). Di depan mihrab sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan Dampar Kencono warisan dari Majapahit.

Dampar Kencana, benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai hadiah untuk Raden Fatah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi. Semenjak takhta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521-1560 M, secara universal wilayah Nusantara mulai dikuasai oleh kerajaan-kerajaan bercorak Islam.

Soko Tatal atau Soko Guru, yang berjumlah empat ini merupakan tiang utama penyangga kerangka atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1.630 cm. Formasi tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin. Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Situs Kolam Wudlu, yakni situs yang dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang, situs kolam ini masih berada di tempatnya meski sudah tidak dipergunakan lagi.

Menara, yakni bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak), R.Danoewijoto, H. Moh Taslim, H. Aboebakar, dan H. Moechsin .

Masjid Demak merupakan salah satu masjid terpenting dan tertua di Jawa (1479). Masjid ini telah mengalami renovasi berulang-ulang sehingga wujudnya seperti yang sekarang kita saksikan. Masjid Demak didirikan pada masa Kerajaan Demak yang diperintah oleh Raden Fatah pada abad ke-15. Hampir semua sumber historiografi lokal menyebutkan bahwa Raden Fatah (Patah) atau Panembahan Jinbun (dalam bahasa Cina dialek Yunan berarti “orang kuat”) adalah seorang Cina Muslim. Perbedaannya hanya terletak pada identifikasi genealogi Raden Patah. Pendapat ini kemudian diperkuat oleh pendapat banyak sejarawan, antara lain: H.J. de Graaf & Pigeaud (1985:42-43), Denys Lombard (1994, 1996:44), Budiman (1979: 16), dan Sumanto al Qurtuby (2003: 39-40, 214).

Yang menjadi kontroversi sampai sekarang adalah fenomena soko tatal, yang merupakan konstruksi utama (soko guru) pada Masjid Demak. Menurut sumber yang dikutip Graaf (2004: 23), juga Muljono (2005: 199) dari Malay Annals (Catatan Tahunan Melayu) dikatakan bahwa pembangunan Masjid Demak pada zaman Raden Patah tidak selesai-selesai disebabkan karena adanya kesulitan untuk mendirikan atap dari konstruksi kayu dengan luas 31 x 31 M, sebab sebelumnya pertukangan setempat tidak pernah membangun bangunan dengan sistem konstruksi kayu dengan bentang sebesar yang ada di masjid tersebut. Itulah sebabnya Bong Kin San (Pang Jinshan), yang disebutkan sebagai ipar Raden Patah, penguasa di Semarang, menyediakan diri untuk menyelesaikan sistem konstuksi kayu di Masjid Demak yang tak kunjung selesai. Kin San membawa ahli-ahli pembuat kapal Cina dari pelabuhan Semarang untuk membangun Masjid Demak tersebut. Itulah sebabnya soko tatal tersebut konstruksinya sangat mirip dengan teknik penyambungan pertukangan kayu pada tiang-tiang kapal Jung Cina (Graaf, 2004: 23, Qurtuby, 2003: 180).

Qurtuby (2003: 188) juga menjelaskan ada kesamaan bahan bangunan yang digunakan pada kelenteng Talang (1428) di Cirebon dengan bahan bangunan yang digunakan di Masjid Demak. Bahan-bahan tersebut antara lain: tegel bata kuno ukuran 40 x 40 cm, bata merah kuno ukuran 28 x 14 cm, serta banyak paku kuno segi empat. Selain itu juga cara penyelesaian hubungan antara kolom-kolom struktur utama Masjid dengan tanah dipakai batu alam sebagai perantara. Batu tersebut disebut sebagai “umpak” (dalam ilmu konstruksi perletakan seperti itu disebut sebagai perletakan sendi). Penyelesaian seperti itu menurut Stutterheim (1948: 114) mengingatkan kita tentang batu umpak yang ada di kelenteng-kelenteng sepanjang pantai utara Jawa serta masjid-masjid Cina di Kanton tempat asal sebagian orang Cina yang menetap di Jawa. Juga menurut Qurtuby (2003:129), bentuk mustoko (hiasan yang ada di puncak atap masjid), berbentuk bola dunia yang dikelilingi oleh 4 ekor ular jelas terinspirasi oleh tradisi Cina.

Kontruksi bangunan Masjid Demak


Hal lain misalnya “mihrab” (yang dianggap sebagai bagian yang paling tua di masjid tersebut, yang belum banyak mengalami perubahan) yang di dalam temboknya terdapat gambar kura-kura. Lambang kura-kura ini memunyai banyak makna. Menurut tradisi Cina zaman itu, lambang kura-kura merupakan simbol kemenangan Dinasti Ming (1368-1644), saat berhasil mendirikan dinastinya. Tapi menurut S. Wardi (1950), gambar kura-kura tersebut bermakna tahun saka 1401 atau 1479 M (kepala=1, kaki=4, badan=0, ekor=1) atau candrasengkala “Sarira Sunyi Kiblating Gusti” (Qurtuby, 2003: 182). Mengapa para sejarawan berkesimpulan yang berbeda, padahal benda yang dianalisis sama? Semuanya ini karena berangkat dari sudut pandang yang berbeda.

Biasanya di belakang atau di lingkungan sekitar Masjid terdapat kampung yang dinamakan sebagai ‘kauman”. Masjid Demak juga terletak di Kampung Kauman.

Seperti di masjid-masjid Jawa yang dibangun pada abad ke-15 dan 16, di Masjid Demak pun terdapat hiasan piring dan hiasan lainnya yang ditempel di tembok yang bergaya Cina. Tentang bentuk atap yang bersusun di Masjid Jawa Kuno (termasuk Masjid Demak) sudah lama menjadi perdebatan. Pijper (1947) dan Stutterheim (1948) menunjuk atap bertingkat seperti pada arsitektur Bali yang didasari atas kosmologi Hindu sebagai ide dasar dari bentuk atap bersusun di arsitektur Jawa. Graaf (2004) dan Lombard (1996) menganggap adanya pengaruh Cina (atap pagoda) yang kuat pada masjid-masjid kuno Jawa, mengingat pada abad ke-15 dan 16 adalah zaman di mana para pedagang Cina Islam merupakan pedagang yang dominan dan banyak yang menetap di pantai utara Jawa sambil menyebarkan keagamaannya.

Masjid Demak pada akhir abad ke-18, ketika dikelilingi oleh pagar dan gerbang pintu masuknya masih ada.


b) Masjid Kudus (1537)

Denah sekitar bangunan Masjid Kudus

Penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari para pedagang, salah satu pelopornya adalah Maulana Maghribi, yang lebih dikenal dengan nama Maulana Malik Ibrahim. Beliau menyebarkan Islam tidak sendiri, melainkan bersama-sama dengan yang lain, Wali Songo. Wali-wali tersebut menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah di antaranya adalah Ja'far Shodiq atau biasa disebut Kanjeng Sunan Kudus.

Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang merupakan penggabungan antara budaya Hindu-Islam. Sebelum masuknya pengaruh Islam, Kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha banyak meninggalkan bangunan yang berhubungan dengan tempat suci atau tempat beribadah seperti candi. Abad ke-15 dan 16 merupakan masa transisi dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam, sehingga bangunan suci yang bercorak Islam (masjid) ikut dipengaruhi oleh kebudayaan sebelumnya yaitu Hindu-Buddha. Masjid Menara Kudus menjadi bukti sejarah, bagaimana sebuah perpaduan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik di mana menara dan berbagai ornamen lain bergaya Hindu.

Masjid Menara terletak di daerah Kauman Kudus. Menurut sejarah setempat, pendiri Masjid Menara (tahun1537) ini adalah Kyai Ja’far Sodig atau Sunan Kudus. Pengaruh arsitektur Hindu terlihat jelas pada Menaranya serta gerbang-gerbang yang dipakai sebagai pintu masuk. Mungkin hanya menara ini yang mempunyai bentuk asli atau sedikit mengalami perubahan. Tentang bangunan masjidnya sendiri, berapa kali mengalami perubahan, tidak dicatat dengan jelas. Seperti Masjid Demak dan Masjid Kudus juga terdapat makam keramat. Atapnya juga bersusun 3 terdiri dari konastruksi kayu layaknya arsitektur Masjid Jawa Kuno.

Pembuatan menara Masjid Kudus yang menyerupai bangunan umat Hindu mungkin merupakan sebuah bentuk penghormatan Sunan Kudus terhadap masyarakat Hindu yang berkembang pada masa itu. Masjid Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada 956 H. Hal ini terlihat dari batu tulis yang terletak di pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbentuk bahasa Arab. Batu itu berperisai, dan ukuran perisai tersebut adalah dengan panjang 46 cm, lebar 30 cm. Konon batu tersebut berasal dari Baitulmakdis (Al Quds) di Yerussalem-Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan Masjid Kudus dan kotanya dinamakan Kota Kudus.

Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendela semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid mengalami perombakan pada 1918-an, menjadi lebih besar dari semula. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan zaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang Kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas Kerajaan Majapahit dan dahulu dipakai sebagai pintu spion.

Cerita mengenai menara Kudus pun memiliki berbagai versi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu. Buktinya: bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 M atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan, kalau di bawah menara Kudus dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Kenapa? Karena makhluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. 20 buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma, sedangkan 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu-Jawa. Bangunan menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: kaki, badan, dan puncak bangunan; dihiasi pula dengan seni hias, atau artefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil).

Pengaruh Cina yang mencolok pada masjid ini antara lai: hiasan-hiasan piring porselen Cina pada dinding-dinding Masjid. Bahkan di dinding menaranya terdapat piring-piring yang berasal dari negeri Cina. Sebagai masjid yang lebih muda dari Masjid Demak, sistem konstruksi kayunya juga menggunakan 4 buah soko guru seperti halnya Masjid Demak. Suatu hal yang umum apabila konstruksi kayu yang digunakan mencontoh dari konstruksi yang lebih dulu ada (Masjid Demak). Kalau benar bahwa sistim konstruksi kayu Masjid Demak dikerjakan oleh tukang-tukang kayu Cina dari galangan kapal di Semarang, dapat disimpulkan bahwa sistem ini kemudian diadopsi oleh tukang-tukang setempat.

Di perkampungan Kauman di belakang Masjid Menara Kudus sampai sekarang masih terdapat beberapa rumah tradisional Kudus yang penuh ukiran-ukiran. Menurut sumber lisan setempat, ilmu pertukangan dan ukiran kayu di daerah Kudus adalah warisan dari Kyai The Ling Sing, yang makamnya terletak tidak jauh dari Masjid Menara Kudus dan tahun kematiannya diperingati setiap 15 Suro (Muharam). Jadi, jelas di sini ada pengaruh pertukangan kayu Cina di Masjid dan rumah tradisional Kudus.

Rumah tradisional Kudus yang letaknya tidak jauh dari komplek Masjid Menara Kudus.

Masjid Menara Kudus dengan atap tiga susun.

Kontruksi bangunan Masjid Kudus

c) Masjid Mantingan (1559), Jepara
Masjid dan Makam Mantingan terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, 5 km selatan Kota Jepara. Desa ini terkenal karena di sini terletak makam Sultan Hadliri dan istrinya, Ratu Kalinyamat. Sultan Hadliri adalah orang Muslim yang memimpin penyebarluasan agama Islam di pesisir utara Jepara. Masjid Mantingan merupakan masjid tertua kedua setelah Masjid Agung Demak.

Masjid Mantingan didirikan pada 1559 M, sesuai dengan tulisan yang terdapat didalam masjid rupa brahmana wanasari yang ditulis oleh Raden Toyib. Awalnya Raden Toyib mempelajari agama Islam di Mekah dan Cina. Setelah menyelesaikan belajar, dia pindah ke Jepara dan menikah dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono), putri Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak. Kemudian dia dikenal sebagai Sultan Hadliri dan dinobatkan sebagai Adipati Jepara sampai beliau meninggal dan dimakamkan di sebelah masjid yang dia dirikan, Masjid Mantingan.

Di pemakaman ini juga dimakamkan istrinya yaitu Ratu Kalinyamat dan saudaranya yang keturunan China Cie Gwi Gwan. Pemakaman ini ramai dikunjungi pada saat diperingatinya hari meninggalnya Sultan Hadliri . Ritual ini diadakan setahun sekali pada 17 Rabiul Awal (kalender Muslim), sama dengan hari lahirnya Kota Jepara.

“Masjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangunan atap termasuk bubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru. Sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun Mantingan tidak lain adalah babah Liem Mo Han.” (Pramoedya Ananta Toer – Arus Balik)

Bentuk Masjid Mantingan juga merupakan tipologi masjid kuno Jawa, seperti konstruksi atap yang menggunakan soko guru, atapnya bersusun tiga, adanya serambi didepan, denah yang berbentuk segi empat. Masjid ini didirikan pada 1559 pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Tahun 1559 sesuai dengan condro sengkolo yang diketemukan di daerah mihrabnya.

Bukti naskah sejarah lokal maupun sejarah tutur tentang arsitektur Masjid Mantingan dan keterlibatan pertukangan Cina, cukup banyak. Mengapa hal ini jarang diungkapkan? Sejarah adalah sebuah interpretasi atas peristiwa masa lampau. Kalau latar belakang si penafsir berbeda maka hasil interpretasinya pun bisa berbeda. Itulah sebabnya Graaf (1985) menganjurkan ada penulisan sejarah Jawa dari sudut pandang “pesisir” bukan hanya dari sudut pandang “pedalaman”.

Ukiran pada dinding Masjid yang terbuat dari batu padas kuning bermotif Cina, merupakan salah satu bukti adanya campur tangan pertukangan Cina di masjid ini. Bahkan R.A. Kartini (pahlawan wanita nasional asal Jepara) menulis dalam kumpulan catatannya (Door duisternis), mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi tempat permakaman Sultan Mantingan (Pangeran Hadliri/Hadliri ), di mana di dalamnya banyak terdapat ukir-ukiran dan serta rumah-rumahan yang bercorak Cina (Graaf, 1985: 131).

Tokoh pertukangan kayu yang berperan besar di daerah Jepara adalah Tjie Wie Gwan. Menurut cerita tutur setempat, makam Tjie Wie Gwan terletak di antara makam Pangeran Hadliri dan Ratu Kalinyamat. Bahkan ukir-ukiran kayu yang indah bergaya Cina di makam dalam komplek Masjid Mantingan diperkirakan orang setempat sebagai karya Tjie Wie Gwan, karena ia meninggal bertahun-tahun kemudian setelah meninggalnya Ratu Kalinyamat (Qurtuby, 2003: 137). Tidak seperti halnya keahlian dalam membuat keramik, orang Cina lebih rajin menurunkan ilmunya kepada tukang-tukang kayu setempat. Seperti dugaan Graaf (1985: 133), bahwa pembuatan perabot serta ukiran-ukiran kayu Jepara yang halus ini berasal dari orang-orang Cina abad ke-15 dan 16.

Letak Masjid Mantingan tidak jauh dari Kota Jepara.

Ukiran di atas batu padas kuning di Masjid Mantingan yang bercorak Cina, dengan gambar teratai. Tampak pada siluet ukiran tersebut bergambar gajah.

Denah komplek Masjid Mantingan dengan makam Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadliri, yang terletak di atas perbukitan di pinggir jalan Desa Mantingan yang menuju Kota Kudus. Di depan komplek masjid tersebut terdapat sebuah kolam (yang konon dulu terdapat banyak sekali kura-kura jinak di sana) dan sebuah pohon beringin.
Simpulan
Seperti telah dikemukakan, abad ke 15 dan 16 M merupakan masa transisi dari zaman Hindu-Buddha ke zaman Islam. Zaman kerajaan Islam tidak begitu banyak meninggalkan bukti bangunan-bangunan keagamaan, tidak seperti pada zaman kerajaan Hindu-Buddha yang banyak meninggalkan bangunan berupa Candi. Hal ini mejadi salah satu kesulitan dalam merekontruksi bangunan yang berkembang pada zaman kerajaan Islam. Maka untuk melengkapi data dalam penulisan, tentunya tradisi lisan atau sumber lisan bisa dipergunakan dalam melengkapi sumber penelitian.

De Graaf, yang disebut “Bapak Sejarah Jawa”, sering memakai sumber sejarah tutur atau lisan sebagai bahan perbandingan. Graaf telah berhasil merekonstruksi sejarah berdirinya Mataram. Sayang sekali bahwa pada akhir hidupnya Graaf belum berhasil merekonstruksi sejarah Jawa abad ke-15 dan 16 ini. Bukunya yang terakhir yang ditulis bersama Th.G. Th. Pigeuad, yaitu Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries: The Malay Annals of Semarang and Cirebon (sebelum ia meninggal tahun 1984), sering dipakai sebagai acuan.

Pengaruh arsitektur Hindu-Buddha terhadap masjid kuno Jawa (abad ke-15-16) jelas terlihat, terutama pada Masjid Menara Kudus, Masjid Sendang Duwur di Pacitan, Lamongan. Bentuk masjid Jawa pada abad ke-15 sampai 16, meski didirikan pada abad peralihan atau transisi, tetap merupakan ciri khas dan bagian dari sejarah perkembangan arsitektur Jawa. Ciri khas dari arsitektur Jawa terletak pada kemampuannya mempertahankan keasliannya meski dibanjiri oleh gelombang pengaruh dari luar. Hinduisme dan Budhisme dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Demikian juga dengan pengaruh kebudayaan dan pertukangan Cina. Agama Islam masuk ke Jawa, tetapi arsitektur Jawa semakin menemukan identitasnya. Pembangunan masjid-masjid di Jawa dan Nusantara pada umumnya mulai mengalami masa krisis identitas setelah masuknya orang Barat (terutama Belanda setelah abad ke-17) ke Nusantara dan mengalami berbagai proses perubahan sampai bentuknya yang sekarang.

Kepustakaan
Aceh, Abubakar. 1955. Sejarah Masjid. Banjarmasin.
Al Qurtuby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Inspeal Ahimsakarya Press: Jogjakarta.
Ambary, Hasan Muarif. 1991. Makam-Makam Kesultanan dan Para Penyebar Islam di Pulau Jawa. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta.
Budiman, Amen. 1979. Masyarakat Islam Tionghoa Di Indonesia. Penerbit Tanjungsari: Semarang.
Graaf, H.J. de. 1963. “The Origin of Javanese Mosque”, JSEAH Journal of Southeast Asia History, Hal. 1-5.
_____ . 1998. 2004. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos, terjemahan dari Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th centuries: The Malay Annals of Semarang and Cirebon. PT Tiara Wacana: Yogya.
Graaf & Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafitipers: Jakarta.
Ismudiyanto dan Parmono Atmadi. 1987. “Demak, Kudus and Jepara Mosque, A study of Architectural Syncretism”. Laporan Penelitian Laboratorum Sejarah Arsitektur. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Muljana, Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara. LkiS: Yogyakarta.
_____ . 2005a. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). LKiS: Yogyakarta.
Pijper, G.F. 1947. “The Minaret in Java”, dalam F.D.K. Bosch et.al (ed). India Antiqua. A Volume of oriental studies presented by his friend and pupils to Jean Phlippe Vogel (O). Leiden: Brill, Kern Institue, hal. 274-283.
_____ . 1985. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Terjemahan. Tujimah: Jakarta.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.
Tjandrasasmita, Uka. 1986. Sepintas Mengenai Peninggalan Kepurbakalaan Islam di Pesisir Utara Jawa. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta.

Sumber Artikel
Handinoto dan Samuel Hartono (…….). PENGARUH PERTUKANGAN CINA PADA BANGUNAN MESJID KUNO DI JAWA ABAD 15-16. Terdapat di. [Online].http://idb2.wikispaces.com/file/view/masjid+kuno+di+Jawa.pdf . [16 April 2010]
Dr. M. Quraish Shihab, M.A. Wawasan Al-Qur'an. Terdapat di [Online]. http://media.isnet.org/Islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html [05/04/2010]
______.Masjid Agung Demak. Terdapat di [Online]. http://media.isnet.org/Islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html [05/04/2010]
http://www.demakkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=102&Itemid=91
http://navigasi.net/goart.php?a=bumsjkds
http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid
http://zeeth.wordpress.com/2008/09/18/masjid-mantingan/
Handinoto dan Samuel Hartono (…….). PENGARUH PERTUKANGAN CINA PADA BANGUNAN MESJID KUNO DI JAWA ABAD 15-16. Terdapat di. [Online]. http://idb2.wikispaces.com/file/view/masjid+kuno+di+Jawa.pdf . [16 April 2010]

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/654/arsitektur-masjid-di-jawa-pada-abad-ke-15-16
-

Arsip Blog

Recent Posts