Oleh: Andreas Maryoto dan Andy Riza Hidayat
Daun sirih bukan hanya selembar daun. Daun sirih memiliki makna di dalam hampir semua tradisi dan ritual suku-suku dari Sabang sampai Merauke. Di Tanah Melayu, daun sirih menjadi tanda silaturahim dan persahabatan. Bila suatu saat Anda berada di sebuah acara kemudian ditawari makan sirih, makanlah!
Lima penari itu berbaris rapi. Ketika penyanyi dan pakpong—pemusik khas Melayu dengan akordeon, biola, dan dua gendang—mengalunkan lagu berjudul ”Makan Sirih”, kelimanya melenggang seraya mengayunkan tangan dengan gemulai. Gerak tangan melambai dan kaki yang berjinjit dilakukan berkali-kali.
Penari yang umumnya berpakaian kebaya panjang berwarna kuning dan selendang hijau—warna khas Melayu—bergerak ke depan dan ke belakang. Terkadang mereka bergerak melingkar.
Satu di antara mereka yang berada di tengah membawa tepak sirih, sebuah kotak yang berisi perlengkapan makan sirih yang biasanya terdiri atas sirih, kapur, gambir, dan pinang. Ia terus melenggak-lenggok sambil mengangkat tepak sirih tepat di depan dadanya.
Menjelang tari persembahan itu berakhir, ia maju ke depan meninggalkan empat penari lainnya dan membuka tepak sirih itu sambil menawarkan sirih kepada para tetamu yang hadir dalam pembukaan sebuah acara di Medan. Beberapa tamu mengambil sirih dan memakannya.
”Dasar dari tari persembahan ini adalah tradisi tepak sirih di Tanah Melayu,” kata Dilinar Adlin, penari sekaligus pengajar tari di Lembaga Pendidikan Seni Semenda. Berbicara Tanah Melayu di Sumatera Utara, maka ini meliputi sejumlah Kesultanan Melayu, seperti Kesultanan Langkat yang berjarak 80 kilometer dari Medan hingga Kesultanan Asahan yang berjarak 150 kilometer dari Medan.
Dilinar menambahkan: meski demikian, tari persembahan tak setua tradisi makan sirih itu sendiri. Tari persembahan itu merupakan kreasi dari rakyat (yang kemudian diadopsi kesultanan) dengan tujuan memperindah tradisi tepak sirih saat menerima tamu, meminang pengantin, dan lain-lain.
”Tak eloklah kalau mengantar sirih hanya sekadar diberikan begitu saja. Tari persembahan menjadikan pengantaran sirih lebih indah,” kata Delinar menceritakan kisah para tetua yang mendasari kreasi tari persembahan itu.
Sejarah tari persembahan itu sendiri sulit dilacak. Delinar yang lahir tahun 1965 hanya mengisahkan kalau, sejak ia kecil, tari itu sudah ada. Sebaliknya, tradisi makan sirih malah memiliki jejak.
Pendiri Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Mahyudin Al Mudra, mengatakan, dalam teks-teks Melayu lama dikisahkan pasukan kavaleri ketika hendak berperang menggunakan diplomasi makan sirih terlebih dulu dibandingkan dengan menggunakan kekuatan senjata. Mereka akan membawa tepak sirih yang berisi sirih dan berbagai bumbunya.
”Anggota pasukan akan turun dari kapal dan membawa tepak sirih ke pihak yang hendak ditaklukkan. Sementara panglima perang hanya menunggu di kapal. Dalam hal ini tepak sirih sebagai simbol persahabatan. Apabila tepak sirih diterima, berarti mereka menerima tawaran persahabatan, bukan perang. Peralatan perang tidak dikeluarkan alias tetap tersimpan. Kalau tepak sirih tidak diterima, berarti mereka menolak persahabatan, untuk itu peralatan perang diturunkan,” paparnya.
Peralatan tepak sirih itu sendiri hingga sekarang masih bisa ditemukan di toko-toko barang antik, seperti di Kawasan Kesawan, Kota Medan. Beraneka jenis alat tepak sirih terbuat dari logam, kayu, bambu, maupun daun pandan. Tepak sirih juga memiliki desain dan bentuk yang beragam, mulai dari bundar hingga kotak. Di dalam dinding tepak sirih terdapat ornamen yang umumnya berupa tanaman.
Hingga kini, di kalangan orang Melayu, tradisi makan sirih masih ada. Tradisi makan sirih melibatkan semua kalangan, mulai dari rakyat biasa hingga bangsawan. Kegunaan makan sirih ada dua, yaitu dalam kehidupan sehari-hari sebagai makanan ringan dan dalam pertemuan dengan orang lain sebagai ungkapan selamat datang kepada tamu.
Apabila suatu saat Anda hadir dalam sebuah acara di Tanah Melayu kemudian ditawari sirih, sebaiknya Anda memakannya. Ketika Anda mau memakan sirih, hal itu penjadi pertanda bahwa Anda mau menerima kebaikan mereka. Hal ini juga menjadi deklarasi bahwa antara tuan rumah dan tamu atau pendatang dan penduduk setempat bersahabat dan bersaudara.
”Dulu, kalau ada tamu datang dan tidak mau memakan sirih, ketua adat akan sangat marah. Kalau sekarang mungkin pemberi sirih tidak marah, tetapi akan menutup diri. Bila tuan rumah menutup diri, sudah pasti akan merepotkan pendatang,” kata Mahyudin.
Mengenai hal itu, Kepala Adat Kesultanan Negeri Serdang Tengku Luckman Sinar membenarkan bahwa makan sirih menjadi pembuka komunikasi atau silaturahim di antara warga. Sirih membawa pesan persahabatan kepada sesama.
Tanda persahabatan khas Melayu itu kemudian digunakan sejumlah penulis di dalam pengantar sebuah buku. Mereka kerap menyebut ”sekapur sirih seulas pinang” di awal kata-kata yang hendak ditulis di dalam buku itu.
Penggunaan ungkapan itu menjadi tanda bagi pembukaan komunikasi antara penulis dan pembaca. Sirih, tepak sirih, sekapur sirih, dan makan sirih menjadi tanda persahabatan dari Tanah Melayu.
Sumber: http://cetak.kompas.com
Daun sirih bukan hanya selembar daun. Daun sirih memiliki makna di dalam hampir semua tradisi dan ritual suku-suku dari Sabang sampai Merauke. Di Tanah Melayu, daun sirih menjadi tanda silaturahim dan persahabatan. Bila suatu saat Anda berada di sebuah acara kemudian ditawari makan sirih, makanlah!
Lima penari itu berbaris rapi. Ketika penyanyi dan pakpong—pemusik khas Melayu dengan akordeon, biola, dan dua gendang—mengalunkan lagu berjudul ”Makan Sirih”, kelimanya melenggang seraya mengayunkan tangan dengan gemulai. Gerak tangan melambai dan kaki yang berjinjit dilakukan berkali-kali.
Penari yang umumnya berpakaian kebaya panjang berwarna kuning dan selendang hijau—warna khas Melayu—bergerak ke depan dan ke belakang. Terkadang mereka bergerak melingkar.
Satu di antara mereka yang berada di tengah membawa tepak sirih, sebuah kotak yang berisi perlengkapan makan sirih yang biasanya terdiri atas sirih, kapur, gambir, dan pinang. Ia terus melenggak-lenggok sambil mengangkat tepak sirih tepat di depan dadanya.
Menjelang tari persembahan itu berakhir, ia maju ke depan meninggalkan empat penari lainnya dan membuka tepak sirih itu sambil menawarkan sirih kepada para tetamu yang hadir dalam pembukaan sebuah acara di Medan. Beberapa tamu mengambil sirih dan memakannya.
”Dasar dari tari persembahan ini adalah tradisi tepak sirih di Tanah Melayu,” kata Dilinar Adlin, penari sekaligus pengajar tari di Lembaga Pendidikan Seni Semenda. Berbicara Tanah Melayu di Sumatera Utara, maka ini meliputi sejumlah Kesultanan Melayu, seperti Kesultanan Langkat yang berjarak 80 kilometer dari Medan hingga Kesultanan Asahan yang berjarak 150 kilometer dari Medan.
Dilinar menambahkan: meski demikian, tari persembahan tak setua tradisi makan sirih itu sendiri. Tari persembahan itu merupakan kreasi dari rakyat (yang kemudian diadopsi kesultanan) dengan tujuan memperindah tradisi tepak sirih saat menerima tamu, meminang pengantin, dan lain-lain.
”Tak eloklah kalau mengantar sirih hanya sekadar diberikan begitu saja. Tari persembahan menjadikan pengantaran sirih lebih indah,” kata Delinar menceritakan kisah para tetua yang mendasari kreasi tari persembahan itu.
Sejarah tari persembahan itu sendiri sulit dilacak. Delinar yang lahir tahun 1965 hanya mengisahkan kalau, sejak ia kecil, tari itu sudah ada. Sebaliknya, tradisi makan sirih malah memiliki jejak.
Pendiri Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Mahyudin Al Mudra, mengatakan, dalam teks-teks Melayu lama dikisahkan pasukan kavaleri ketika hendak berperang menggunakan diplomasi makan sirih terlebih dulu dibandingkan dengan menggunakan kekuatan senjata. Mereka akan membawa tepak sirih yang berisi sirih dan berbagai bumbunya.
”Anggota pasukan akan turun dari kapal dan membawa tepak sirih ke pihak yang hendak ditaklukkan. Sementara panglima perang hanya menunggu di kapal. Dalam hal ini tepak sirih sebagai simbol persahabatan. Apabila tepak sirih diterima, berarti mereka menerima tawaran persahabatan, bukan perang. Peralatan perang tidak dikeluarkan alias tetap tersimpan. Kalau tepak sirih tidak diterima, berarti mereka menolak persahabatan, untuk itu peralatan perang diturunkan,” paparnya.
Peralatan tepak sirih itu sendiri hingga sekarang masih bisa ditemukan di toko-toko barang antik, seperti di Kawasan Kesawan, Kota Medan. Beraneka jenis alat tepak sirih terbuat dari logam, kayu, bambu, maupun daun pandan. Tepak sirih juga memiliki desain dan bentuk yang beragam, mulai dari bundar hingga kotak. Di dalam dinding tepak sirih terdapat ornamen yang umumnya berupa tanaman.
Hingga kini, di kalangan orang Melayu, tradisi makan sirih masih ada. Tradisi makan sirih melibatkan semua kalangan, mulai dari rakyat biasa hingga bangsawan. Kegunaan makan sirih ada dua, yaitu dalam kehidupan sehari-hari sebagai makanan ringan dan dalam pertemuan dengan orang lain sebagai ungkapan selamat datang kepada tamu.
Apabila suatu saat Anda hadir dalam sebuah acara di Tanah Melayu kemudian ditawari sirih, sebaiknya Anda memakannya. Ketika Anda mau memakan sirih, hal itu penjadi pertanda bahwa Anda mau menerima kebaikan mereka. Hal ini juga menjadi deklarasi bahwa antara tuan rumah dan tamu atau pendatang dan penduduk setempat bersahabat dan bersaudara.
”Dulu, kalau ada tamu datang dan tidak mau memakan sirih, ketua adat akan sangat marah. Kalau sekarang mungkin pemberi sirih tidak marah, tetapi akan menutup diri. Bila tuan rumah menutup diri, sudah pasti akan merepotkan pendatang,” kata Mahyudin.
Mengenai hal itu, Kepala Adat Kesultanan Negeri Serdang Tengku Luckman Sinar membenarkan bahwa makan sirih menjadi pembuka komunikasi atau silaturahim di antara warga. Sirih membawa pesan persahabatan kepada sesama.
Tanda persahabatan khas Melayu itu kemudian digunakan sejumlah penulis di dalam pengantar sebuah buku. Mereka kerap menyebut ”sekapur sirih seulas pinang” di awal kata-kata yang hendak ditulis di dalam buku itu.
Penggunaan ungkapan itu menjadi tanda bagi pembukaan komunikasi antara penulis dan pembaca. Sirih, tepak sirih, sekapur sirih, dan makan sirih menjadi tanda persahabatan dari Tanah Melayu.
Sumber: http://cetak.kompas.com