Delman Monas Dibiarkan Hilang Pelan-pelan

Jakarta - Sudah hampir dua tahun ini, tukang delman tidak diperbolehkan lagi beroperasi di dalam kawasan kompleks Monumen Nasional (Monas). Peran mereka kini digantikan oleh dua kereta wisata, yang siap mengantar dan menjemput pengunjung Monas dari pintu tempat parkir kendaraan menuju pintu masuk Monas.

"Di banding saat ini, kami merasa nyaman narik di dalam area kompleks, karena pendapatan yang kami peroleh saat ini nggak sebanyak yang kami dapat saat narik di dalam kompleks," ujar salah satu tukang delman Monas, Sadeli (40), ketika ditemui Kompas.com di Monas, Jakarta, Kamis (25/12).

Sadeli mengaku, saat masih di dalam area kompleks, dia maupun tukang delman lainnya yang ada di kawasan Monas dapat meraup rejeki sampai Rp 250 ribu dalam sehari. "Sekarang boro-boro mas, dalam sehari dapat Rp 100 ribu aja udah syukur. Pendapatan tersebut masih harus dikurangi dengan biaya makan kuda, dan biaya untuk kebersihan kotoran kuda," sambungnya.

Sadeli merupakan satu dari 30 tukang delman yang sampai saat ini masih eksis narik di kawasan Monas. "Saat masih beroperasi di dalam kawasan kompleks, jumlah penarik delman ada sekitar 90 orang. Tapi kini banyak yang sudah beralih profesi, sebab sudah males terus kucing-kucingan dengan petugas trantib," tuturnya.

Sebenarnya, menurut ketentuan yang dikeluarkan oleh pengelola kawasan kompleks Monas, para tukang delman tersebut tidak boleh beroperasi lagi di sekitaran Monas. "Alasannya sih mengganggu kebersihan, karena kotoran yang dikeluarkan oleh kuda. Padahal kami sudah menampung kotoran tersebut, lagian kalau ada yang tercecer akan dibersihkan oleh petugas kebersihan kami," ungkap Sadeli.

"Namun terus terang, sekarang kami harus lebih berhati-hati dalam menjalankan delman, sebab rute yang kami tempuh sekarang adalah jalan raya. Salah mengendalikan delman sedikit dapat berakibat fatal, karena bisa jadi ketabrak mobil," jelas Sadeli.

Untuk sekali jalan, dengan melewati rute Jalan Medan Merdeka Selatan, depan kantor Gubernur Jakarta bolak-balik, Sadeli menetapkan ongkos sebesar Rp 15.000. "Masak budaya betawi seperti ini mau dihilangkan? Padahal di kota lain seperti di Yogyakarta, malah dilindungi dan dilestarikan," kata Sadeli.

Sumber: http://www.kompas.com (25 Desember 2008)

Related Posts:

-