Lingga si Bunda Tanah Melayu

Oleh : Windarto

Jika ke Pulau Lingga, tak lengkap rasanya jika tak menyempatkan diri untuk berkunjung ke Daik. Di kota kecil nan ramah ini kita bisa menilik sejarah perkembangan budaya melayu yang saat ini menyebar hampir ke sebagian besar wilayah Indonesia terutama Indonesia bagian barat hingga Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Untuk sampai ke Daik ada beberapa alternatif transportasi. Jika melalui udara, kita dapat menggunakan penerbangan Riau Airlines dari Tanjung Pinang ke Dabo di Pulau Singkep, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kapal menuju Tanjung Buton di Daik. Tapi jika melalui laut, kita dapat menggunakan kapal motor MV Marine Hawk atau MV Arena dari Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang langsung ke Tanjung Buton di Daik. Untuk perjalanan laut sendiri memakan waktu kurang lebih 5 jam.

Sesampainya di Pelahuan Tanjung Buton, kita dapat menyewa ojek honda, ojek kaisar atau angkutan umum menuju penginapan. Ada beberapa penginapan di Daik, salah satunya adalah Penginapan Sun Ling. Penginapan ini berada di tepi Sungai Lingga agak jauh dari pelabuhan Tanjung Buton. Nama Sun Ling sendiri diambil dari nama sungai yang mengalir di belakangnya, Sungai Lingga.

Untuk menuju tempat-tempat peninggalan sejarah kerajaan Riau Lingga, lebih baik menyewa kendaraan seperti ojek roda dua, ojek roda tiga, atau mobil, karena jarang ada angkutan umum yang menuju lokasi-lokasi tersebut. Terlebih antara satu lokasi dengan lokasi lainnya letaknya ada beberapa yang saling berjauhan.

Terdapat beberapa tempat bersejarah di Daik ini, diantaranya Situs Istana Damnah, Bilik 44, Benteng Bukit Cening, Benteng Kuala, Masjid Sultan Lingga, Makam Merah, Komplek Makam di Bukit Cengkeh, dan Makam Sultan Mahmud Riayat Syah.

Untuk lokasi yang berdekatan diantaranya Makam Merah dengan Situs Istana Damnah, letaknya hanya terpisah sekitar 800 meter. Makam Merah sebenarnya adalah makam Yang Dipertuan Muda X Raja Muhammad Yusuf, Yang Dipertuan Muda Riau Terakhir. Disebut Makam Merah karena pagar tiang dan atapnya telah memiliki warna merah semenjak pertama kali dibangun. Sementara Situs Istana Damnah masih bisa dilihat walapun hanya tingga reruntuhannya saja, bagian yang masih jelas berbentuk adalah kedua buah tangga di samping kiri dan kanan. Tapi jangan khawatir karena bentuk bangungan replika Istana Damnah masih bisa dilihat tak jauh dari lokasi situs.

Dari situs Istana Damnah, kita bisa melanjutkan perjalanan ke Bukit Cengkeh yang terletak 25 meter sebelah barat aliran Sungai Tanda. Di bagian tengah komplek makam ini terdapat bangunan berbentuk oktagonal yang merupakan Cungkup Sultan Muhammad Syah. Sultan yang di makamkan disini antara lain: Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II (1857-1883). Sementara untuk makam Sultan Mahmud Riayat Syah sendiri berada di belakang Masjid Sultan Lingga yang letaknya agak jauh dari Bukit Cengkeh tetapi lokasinya lebih mudah di jangkau karena letaknya dipinggir dan ditengah kota Daik. Masjid Sultan Lingga yang didirikan pada tahun 1801 ini tidak begitu besar. Pada awalnya hanya mampu menampung 40 orang jemaah, tetapi sekarang masjid ini mampu menampung hingga 400 orang jemaah.

Dari beberapa lokasi situs sejarah Istana Damnah dan Makam Merah, kita dapat melanjutkan perjalanan ke Bukit Cening. Lokasinya cukup jauh dari Bukit Cengkeh Situs Istana Damnah. Untuk menuju Bukit Cening harus melewati jalan yang masih berupa tanah dan berdebu, belum lagi jalannya yang rata, lokasinya sekitar 2 kilometer dari jalan Utama menuju Daik. Karena lokasinya yang berada di atas bukit, kendaraan beroda 4 dapat diparkir di bawah. Tidak ada tempat parkir resmi di lokasi ini, loket tiket masuk pun tak ada. Setelah parkir perjalanan bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki menanjak menuju Bukit Cening. Disamping kanan dan kiri sepanjang jalan setapak yang masih berupa tanah ini masih terdapat semak belukar.

Benteng Bukit Cening berukuran 32 m x 30 m terletak di Kampung Seranggung. Dibangun pada masa pemerintahan SUltan Mahmud Syah III (1761-1812). Di dalam benteng terdapat 19 buah meriam, dua diantaranya bertuliskan angka 1783 dan 1797 serta tulisan VOC. Meriam terbesar dinamakan Meriam Tupai Beradu yang pada meriam tersebut terdapat semacam "kuping" untuk mengangkat meriam.

-

Arsip Blog

Recent Posts