Jawa Tengah - Memasuki gerbang kembar ke arah obyek wisata Kompleks Candi Arjuna di Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, wisatawan langsung disambut gapura selang air. Selang air ini melayang di atas jalan masuk, jumlahnya lebih dari 15 selang. Bila kemarau, selang air melintang bisa mencapai ratusan.
Tidak jauh dari Dieng Plateau Theater, Suryono (45), petani di Dieng Kulon, asyik mencangkul di sela tanaman kentang umur sebulan. Dia tak menghiraukan beberapa wisatawan lokal juga sibuk memandang selang air setelah mengunjungi Candi Arjuna dan Candi Bima.
”Banyak, Mas, wisatawan yang tanya kegunaan selang air yang bergelantungan di atas. Selang untuk menyiram air di ladang di lereng bukit. Panjang selang bisa 100 meter, air digerakkan mesin pompa 10 PK dari sumber air Telaga Balekambang,” kata Suryono enteng.
Dalam tiga tahun ini, bergelayutan selang air di atas jalan menjadi pemandangan ke-33 obyek wisata di Dataran Tinggi Dieng. Jumlah obyek wisata yang sudah ada 32 daerah tujuan wisata, mulai dari situs candi, museum purbakala, telaga air, kawah, sampai pemandangan matahari terbit dan matahari tenggelam.
Meski obyek wisata melimpah di Dieng, tengoklah warung Mbah Kemit (68) yang letaknya persis di samping kanan pintu masuk kompleks wisata Telaga Warna dan Telaga Pengiloan, telaga indah yang terbentuk dari kawah vulkanik yang tak aktif.
”Setahun terakhir ini warung sepi. Wisatawan yang datang jarang mampir ke warung Simbah. Padahal, saya siapkan kopi purwaceng dan kentang goreng,” kata Mbah Kemit, yang biasa dipanggil Bu Purhadi.
Dia menuturkan, kini sehari dapat Rp 10.000 saja sulit. Malahan, akhir pekan yang kabarnya ramai wisatawan berkunjung kadang hanya dapat penghasilan Rp 4.000. Setahun lalu, paling apes penghasilannya Rp 15.000 sehari. Harga secangkir kopi purwaceng Rp 7.500. Purwaceng, tanaman perdu yang memiliki khasiat seperti ginseng, menghangatkan badan sekaligus meningkatkan vitalitas para suami.
Warung Mbah Kemit memang sederhana. Di kusen pintu tergantung pisang lokal. Di meja, ada tiga toples isi keripik tempe, kacang kulit, dan jipang. Dua botol kecap, satu botol saus, dan semangkok cabai hijau.
Keluhan Mbah Kemit akan sepinya wisatawan mampir serta ketidakpedulian Suryono dan juga ratusan petani terhadap estetika daerah tujuan wisata menjadi fenomena yang berkembang umum di semua daerah tujuan wisata di Dieng, juga kawasan lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing di Banjarnegara, Temanggung, dan Wonosobo di Jawa Tengah.
Eksploitasi pertanian yang menabrak batas-batas situs purbakala juga kawasan suatu daerah wisata menyebabkan pamor obyek wisata menurun. Dalam setahun terakhir, kasus-kasus perusakan lingkungan di Sindoro-Sumbing, termasuk Dataran Tinggi Dieng, menyebabkan obyek wisata berbasis air mengalami penurunan.
Obyek wisata air banyak yang rusak juga diakui Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo M Azis Wijaya, yakni Telaga Pengilon, Telaga Balekambang, dan juga Tuk Bimo Lukar yang menjadi mata air Sungai Serayu yang mengalir sampai ke hilir di Cilacap. ”Akibat penambangan pasir ditambah eksploitasi lahan, ada pula Telaga Surodilogo juga kini kering di Kertek,” kata Azis Wijaya.
Telaga Warna dan Telaga Pengilon di Lembah Dieng memberi kontribusi besar bagi pemerintah kabupaten, sampai Rp 175 juta per tahun. Ini mendongkrak target pariwisata seluruhnya hampir Rp 490 juta per tahun.
Hanya saja, menurut Azis Wijaya, jumlah pengunjung tampak menurun. Lembah Dieng, misalnya, hingga September 2008 jumlah wisatawan nusantara 6.831 orang, sedangkan wisman 425 orang. Tahun 2007, Lembah Dieng saja dikunjungi wisatawan asing dan lokal hingga 34.102 orang.
Kasus perusakan lingkungan menyebabkan terancamnya kelangsungan obyek wisata juga terjadi di kawasan Sindoro-Sumbing. Di Temanggung, misalnya, kerusakan lingkungan berimbas buruk pada dua obyek wisata andalan, Umbul Jumprit dan Pemandian Pikatan.
Menurut Kepala Bidang Obyek dan Daya Tarik Wisata Dinas Perhubungan dan Pariwisata Temanggung Woro Andiani, saat musim hujan, sebagian kawasan di obyek wisata Umbul Jumprit selalu banjir hingga setinggi lutut.
”Dengan kondisi ini, wisatawan yang datang berkunjung akhirnya tidak bisa jalan-jalan dan menikmati pemandangan di sekitarnya,” terangnya.
Di Kolam Renang Pikatan, curah hujan yang tinggi pada musim hujan membuat air di selokan sekitar kolam meluber dan mengotori air kolam hingga berwarna keruh kecoklatan. ”Air keruh mengganggu pengunjung. Padahal, air kolam yang mengalir dari Tuk Unjar luar biasa bening dan bersih,” ungkapnya.
Erosi akibat sedimentasi sebagai dampak eksploitasi lahan kentang juga mengancam kelestarian obyek wisata di kawasan Dieng Kulon, wilayah Banjarnegara. Bukan hanya rawan bencana, erosi membuat sedimentasi serta terancamnya kelestarian obyek wisata di wilayah seluas 11.795 hektar tersebut.
Masih lekat di ingatan Mochtar (41), warga Desa Parakancanggah, akhir 1970-an berkunjung ke Telaga Balekambang. Burung belibis beterbangan riang di atas telaga yang terletak 300 meter arah barat Kompleks Candi Arjuna tersebut. Sampan pemancing bergerak pelan mengarungi telaga yang luasnya sekitar 3 hektar itu.
”Paling indah saat musim kemarau. Semuanya terlihat jelas di pagi hari karena tak ada kabut,” kenang Mochtar.
Keindahan tersebut kini tinggal nostalgia. Kerusakan di Dieng nyaris menghapus tuntas keindahan telaga itu. Kini yang tampak di Balekambang adalah sedimentasi yang membuat luasan telaga tersebut menyempit dan dangkal. Dua telaga lain, yakni Merdada dan Telaga Dringo, juga mengalami hal yang sama.
Selain itu, Gangsiran Aswatama, sebuah drainase kuno yang dibuat pada abad ke-8 Masehi, juga macet. Pada zaman dahulu, gangsiran ini digunakan untuk mengalirkan air dari Kompleks Candi Dieng yang terletak di rawa-rawa. Aliran air ini mengalir ke Balekambang sebagai telaga penampung.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banjarnegara Setiyawan mengakui kerusakan itu. Pencegahan eksploitasinya, penanaman kentang hanya diperbolehkan di zona pengembangan. Lahan di zona inti yang terletak di dekat kompleks candi dilarang digunakan. ”Kami menjaga ketat agar lahan ini tak ditanami,” tandas dia. (who/han/egi)
Sumber: http://cetak.kompas.com (26 Desember 2008)