Benteng Vastenburg di Kota Solo, Jawa Tengah, adalah jati diri Kota Solo yang harus dilestarikan. Sejarah kelam di balik benteng peninggalan Belanda (1755) ini akan menjadi pelajaran bagi generasi mendatang karena keberadaannya menjadi simbol benteng terakhir nasionalisme.
Pendapat itu mengemuka dalam acara dialog publik bertema ”Cagar Budaya untuk Publik” yang diadakan dalam rangka hari jadi ke-264 Kota Solo di Balaikota Solo, Selasa (17/2).
Sebagai narasumber adalah Prof Eko Budihardjo dari Universitas Diponegoro, Semarang; Marco Kusumawijaya, Ketua Dewan Kesenian Jakarta; Widya Wijayanti, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia; Haryo Sasongko, Direktur Perkotaan Departemen Dalam Negeri; dan Gutomo, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
Dialog publik tersebut mendapat sambutan antusias dari peserta yang mewakili warga kampung di Solo.
Polemik tentang Benteng Vastenburg muncul sejak November 2008 ketika ”pemilik” benteng berencana mau membangun hotel bertingkat 13 dan mal di atas situs yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Tukar guling
Pada tahun 1991, benteng seluas 5,4 hektar ini oleh TNI ditukargulingkan dengan pihak swasta dan kini dikapling- kapling di delapan instansi berbeda.
Eko Budihardjo memaparkan, sebuah kota adalah karya seni sosial sekaligus ”panggung kenangan” yang menyimpan memori seluruh warganya.
”Menghilangkan memori tadi merupakan dosa besar,” ujar Eko. Ia menambahkan, Benteng Vastenburg mampu menjelaskan bahwa kota ini pada masa lalu mengalami penjajahan Belanda, maka benteng itu sebenarnya merupakan jati diri sejarah Kota Solo.
Eko bersama Prof Sidharta pada tahun 1987 diminta oleh PT Benteng Perkasa Utama untuk membuat rancangan tata bangunan di atas situs benteng. Namun, hasil rancangannya ditolak pihak investor.
Menurut dia, Vastenburg memiliki akar kultural. Karena itu, sesuai pedoman Bank Dunia, upaya penyelamatannya dinilai strategis mengingat keberadaannya bisa menjadi modal sosial yang besar.
Ali Syaifullah dari Komunitas Peduli Cagar Budaya Nusantara (KPCBN) menegaskan, Vastenburg harus dikembalikan kepada negara.
”Di dalam benteng tersebut prajurit-prajurit kita pernah dipenjara, disiksa, dan dibunuh. Justru dari benteng inilah anak cucu kita bisa belajar tentang sejarah bangsa kita yang kelam. Kalau benteng ini sampai lepas dan menjadi hotel atau yang lain, kita akan kehilangan sejarah tersebut. Maka, benteng ini jelas merupakan simbol nasionalisme dan patriotisme kita yang terakhir,” ujarnya.
Ali minta agar dilakukan rekonstruksi terhadap Benteng Vastenburg dengan tujuan mengembalikan bangunan-bangunan yang pernah ada, seperti kantor, penjara, gudang amunisi, dan tangsi.
Namun, Sitta Laretna Adhisakti, moderator diskusi, menyatakan sulit melakukan rekonstruksi mengingat minimnya data. Ia mengatakan, etika arsitektur serta Piagam Kyoto 1994 melarang rekonstruksi yang tidak sesuai dengan aslinya.
Gutomo dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala menyebutkan bahwa benteng tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi karena itu pemanfaatannya kembali harus memerhatikan pesan sejarah yang bisa diakses oleh publik.
Namun, data tentang arsitektur bangunan tersebut tidak akurat. Bahkan, benteng tersebut hanya menyisakan bangunan pagar tembok luar.
”Kalaupun kita mau memanfaatkan sekarang, ibaratnya hanya tinggal kulitnya saja,” katanya. (ASA)
Sumber: http://cetak.kompas.com (19 Februari 2009)