Makassar, Sulsel - Peneliti Budaya Bugis-Makassar, Drs Andi Ahmad Saransi mengungkapkan budaya uang panai (mahar) di Kebudayaan Bugis-Makassar sering berujung silarian (kawin lari) karena tak adanya restu.
“Memang pada zaman dulu seseorang ditolak karena bukan bangsawan dan keluarga parakang (manusia jadian-jadian), tapi dengan berkembangnya zaman uang panai itu bisa diakali dengan cara bugus Irita mEnrE' tenrita no (dilihat naik tidak dilihat turun)," ungkapmya Rabu (30/10).
Maksudnya, lanjut Ahmad, uang belanja disaksikan dibawa ,tapi tidak dilihat dibelanjakan.
"Bisa saja uang lelaki tak cukup ditambahkan oleh mempelai perempuan, jika ingin menyatukan kedua calon mempelai,” kata Kabid Pembinaan dan Layanan Informasi Kearsipan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Prov Sulsel ini.
Ahmad pun mengungkapkan, biasanya jika seseorang tidak diterima dengan alasan uang panai, itu sebenarnya merupakan alasan untuk tidak menerima pelamar.
“Banyak kasus yang terjadi dengan menolak lamaran dengan cara memasang panai yang tinggi, sehingga banyak kasus silarian terjadi,” katanya.
Sumber: http://www.tribunnews.com