Yogyakarta- Kehidupan manusia Jawa selalu erat dengan simbol. Simbol itu diejawantahkan dalam penataan pola hidup, seperti tata ruang di wilayah DI Yogyakarta. Sejak pertama kali Yogyakarta dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I, masyarakat sudah terlatih untuk peka terhadap aneka simbol dalam tata ruang. Ketika simbol-simbol tersebut mulai terpatahkan, disorientasi dalam hidup pun mulai terjadi.
Belanda yang sangat memahami antropologi kekuasaan dan politik raja Jawa, misalnya, dengan lihai memperlemah kedudukan raja melalui kesengajaan pematahan simbol budaya. Pengacauan simbol menyebabkan rakyat terpecah-belah karena dipaksa untuk menyaksikan tumbuhnya dualisme kekuasaan dari keraton dan Residen Gubernur Belanda.
Ironisnya, penjajahan melalui pematahan simbol ini terus terjadi hingga sekarang dalam bentuknya yang lain. Jika Belanda mematahkan simbol untuk menunjukkan hegemoni kekuasaan, kali ini tata ruang Yogyakarta yang sarat fungsi simbolis dan historis semakin terkalahkan oleh kepentingan pasar.
Reduksi tata ruang Yogyakarta dengan pematahan fungsi simbolik oleh Belanda, antara lain terlihat saat pembuatan rel kereta api pada tahun 1867 yang memutus konsep garis imajiner. Pola bulevar atau jalan memanjang dari Tugu menuju Keraton yang menjadikan Yogyakarta berbeda dari kerajaan lain, terputus akibat rel kereta api. Gedung warisan Belanda yang saat ini dimanfaatkan sebagai Kantor Bank Indonesia dan kantor pos sengaja dibuat membelakangi dan menutupi keraton.
Secara politis, bulevar menegaskan kekuasaan raja. Kondisi psikologis, tamu keraton akan terperangkap dalam kekuasaan raja dan harus mempersiapkan diri ketika memasuki bulevar sebelum menghadap raja. Dari sisi keamanan, bulevar memudahkan memonitor musuh. Bulevar itu pun membangun simbol Yogyakarta, sekaligus mempermudah pembangunan pola guna tanah di sekitarnya.
Meski sanggup bertahan dari gempuran pematahan simbol oleh Belanda, beberapa titik bernilai sejarah di Yogyakarta justru tak sanggup bertahan dari terjangan zaman. Sebagai salah satu kantong keistimewaan tata ruang, empat masjid pathok negara, yaitu Masjid Mlangi, Masjid Ploso Kuning, Masjid Babadan, dan Masjid Dongkelan kian terjepit oleh pembangunan permukiman di sekitarnya.
Renovasi terhadap masjid penanda teritori Keraton Yogyakarta ini hanya dilakukan sebatas perbaikan bangunan, bukan kawasannya. Pembangunan perumahan dan spekulasi lahan semakin merajalela, seiring mulai berkurangnya kemampuan institusi untuk mengendalikan tata kota.
Penetrasi fungsi baru pada kawasan lama pathok negara semakin kentara dari tahun ke tahun. Dari empat masjid, hanya Masjid Ploso Kuning yang cenderung bertahan pada konsep awal. Masjid Babadan yang terletak di sebelah timur Keraton, yaitu di Kecamatan Banguntapan, Bantul, misalnya, terdesak oleh pesatnya pembangunan permukiman di sekelilingnya. Bahkan, tembok pembatas masjid pun telah beralih fungsi sebagai tembok rumah warga.
Warga Babadan, Sugiyanto, mengatakan bahwa Masjid Babadan sempat ditinggalkan jemaahnya ketika mereka bedol desa saat Jepang menyerang. Masjid itu kemudian dibangun kembali dari sisa fondasi dan tembok lama pada tahun 1964. ”Sulit untuk mengembalikan ke bentuk aslinya. Jika tidak dikendalikan, makam yang menyatu dengan masjid bisa terancam juga jadi perumahan,” kata Sekretaris Masjid, Suhari.
Semena-mena
Ketua Program Studi Perencanaan Kota dan Wilayah, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudaryono yang bersama Kompas mengunjungi masjid-masjid pathok negara, Jumat (10/10), mengatakan, reduksi tata bangunan dan tata ruang di Yogyakarta kian parah. ”Pembangunan dirancang semena-mena dan hanya berorientasi pada tanah kosong,” ungkapnya.
Masjid pathok negara, menurut Sudaryono, sebenarnya tidak semata berfungsi sebagai siar agama, tetapi juga sebagai pembatas teritori. Batasan tersebut diperlukan untuk mengendalikan pengembangan kota. Pathok negara sekaligus mewadahi agar tata ruang kota tidak menyimpang dari konsep ekologi. Pembangunan kota harus tidak merugikan pertanian dan tidak mereduksi kawasan pinggiran sebagai buffer area. Tata kota yang dilandasi konsep ekologi ini sejalan dengan filosofi Jawa yang selalu mengandalkan harmoni dengan alam.
Sudaryono menambahkan, konsep pathok negara mengandung nilai bahwa perkembangan kota harus dibatasi dan tidak bisa dibiarkan liar. Saat ini pembangunan di Yogyakarta cenderung liar karena keputusan pembangunan ada di tangan individu, bukan kolektif. ”Ekspansi kota harus ketat. Individu pemilik bangunan bersejarah harus sadar bahwa asetnya merupakan aset identitas pembentuk kota sehingga konsisten untuk mempertahankan,” tambahnya.
Reduksi tata bangunan antara lain juga terjadi di kawasan Kota Gede, Kota Baru, Tamansari, dan Jalan Sudirman. Di kawasan itu terjadi perubahan langgam arsitektur yang dirombak dengan arsitektur baru, yang sama sekali berbeda dengan bangunan lama. Petilasan Tamansari, misalnya, kini tampil dengan cat warna pink yang sama sekali tidak dikenal dalam bangunan khas Jawa.
Kekuatan terbesar yang mengubah struktur kota adalah pembangunan real estat. Kantong-kantong keunikan mulai terjepit oleh maraknya pembangunan perumahan yang sering kali melanggar tata krama berperumahan, tata krama berkota, dan tata hukum perkotaan. Pembangunan perumahan sering kali menggunakan konsep baru yang sama sekali terasing dari tata ruang asli Yogyakarta.
Perumahan baru di bagian utara Yogyakarta, misalnya, banyak yang dibiarkan kosong. Padahal, pembangunannya sudah telanjur merusak lahan pertanian. Perumahan-perumahan kosong ini akhirnya menjadi tata ruang terabaikan atau patologi kota yang justru menjadi beban bagi kota. Selanjutnya, perlu ada pembatasan supaya investor kaya tidak bebas membeli lahan seluas-luasnya untuk dibangun dengan visinya sendiri.
Jangan vertikal
Sudaryono mencontohkan skala ruang Kota Yogyakarta semestinya jangan menuju pada bangunan vertikal karena akan menjadi serupa dengan kota lain. Bangunan vertikal menggunakan teknologi replikatif yang melahirkan keseragaman pada struktur, ketinggian, dan bidang tertentu. Konsep vertikal muncul dengan semangat rasionalisasi, efisiensi, dan optimalisasi.
Pengelolaan tata ruang Yogyakarta, lanjut Sudaryono, cenderung parsial. Koordinasi antara berbagai unsur, seperti pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat menjadi kunci pokok untuk penguatan identitas kota. Institusi kolektif perlu dibangun sehingga penataan kota tidak hanya menjadi domain pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat. Institusi kolektif tersebut akan semakin istimewa karena keterlibatan Keraton dalam pengambilan keputusan.
Selain pembentukan institusi kolektif, perlu juga dibuat kesepakatan bersama tentang tujuan tata kota yang kemudian diformalkan. Menurut Sudaryono, pengendalian kebijakan tata ruang oleh pemerintah daerah selama ini masih lemah. Hingga kini belum ada konsistensi antara perencanaan sebagai produk hukum formal dan implementasi di lapangan.
Potensi keistimewaan tata ruang di Yogyakarta masih cukup kaya. Keunikan DIY terletak, antara lain, pada tata ruang pedesaan dengan halaman rumah yang tidak berpagar. Secara garis besar, pola dasar pendirian Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono I sebenarnya mirip dengan beberapa kerajaan lain, seperti Majapahit, Demak, dan Surakarta. Tata kota terdiri dari pusat keraton, alun-alun, dan tempat ibadah.
Meski tetap mempertahankan keunikan dari sisi historis dan simbolis, tata ruang kota tetap harus memberikan ruang longgar bagi pengembangan tata sosial yang baru.
”Tata fisik lama tetap dipertahankan, tetapi fungsi baru bisa masuk dan tidak merusak yang lama. Belum terlambat untuk menyelamatkan tata ruang istimewa Yogyakarta asal ada kepedulian kolektif,” ungkap Sudaryono.
Tata ruang Yogyakarta menyimpan keunikan yang memampukan Yogyakarta untuk memiliki nilai keabadiannya. Dengan perencanaan tata ruang yang baik, Yogyakarta tidak perlu lagi mengalami degradasi sebagai suatu lintasan kolektif memori. Keterhilangan memori yang menumbuhkan rasa keterasingan terhadap kota belum terlambat untuk dicegah. Tinggal apakah ada kepedulian dan kemauan untuk bertahan atau membiarkan kota menjadi homogen setelah terseret zaman… (Mawar Kusuma)
Sumber: cetak.kompas.com (12 Oktober 2008)