Pokja Anti Korupsi Lapor ke Kejati
Pontianak,- Setelah Kabupaten Pontianak, Singkawang, dan Sintang, kini dugaan korupsi melanda DPRD Kapuas Hulu. Modus operasinya mirip Kabupaten Sintang, yakni pembagian Rp 50 juta per anggota dewan yang mengatasnamakan Dana Program Optimalisasi Otonomi Daerah (DPO-Otda) Tahun Anggaran 2002.
"Dugaan korupsi ini merupakan laporan masyarakat ke ICW (Indonesia Corruption Watch, red). Namun, karena ini terjadi di Kalbar, kemudian ICW meminta Pokja Anti Korupsi Kalbar menindaklanjuti ini," ungkat Koordinator Pokja Anti Korupsi Kalbar Hermawansyah didampingi Sekretaris Jendral JARI Faisal Riza kepada Pontianak Post, Jumat (3/9).
Hermawansyah mengatakan, pihaknya telah mempersiapkan berkas laporan dugaan korupsi 25 anggota DPRD Kapuas Hulu tersebut ke Kejaksaan Tinggi. "Tadi kita sudah ke Kejati untuk melaporkan ini, tetapi saat sampai di sana pihak yang bertugas untuk menerima laporan belum ada. Karena itu, paling lambat kita akan melaporkan kembali pada Senin (6/9) mendatang," ujar pria yang kerap dipanggil Wawan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh Pokja Anti Korupsi Kalbar dari ICW, terdapat daftar 25 nama anggota DPRD Kapuas Hulu yang menandatangani Permintaan Pembayaran Dana Program Optimalisasi Otonomi Daerah Tahun Anggaran 2002 masing-masing Rp 30 juta. Daftar permintaan yang dimaksud dibuat oleh Bendaharawan Rutin Setda berinisial SB dan diketahui Sekda Kapuas Hulu (SD) atas nama Bupati. Kuitansi pembayaran dikeluarkan pada 10 April 2002 sebesar Rp 750 juta dan diterima oleh Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu (BS). Pada kuitansi bermaterai itu, tercantum cap persetujuan pembayaran dari Sekda Kapuas Hulu dan cap lunas dibayar bendahara rutin Setda Kapuas Hulu.
Kemudian, pada tanggal 2 Mei 2002, bendahara rutin setda kembali mengeluarkan kuitansi sebesar Rp 500 juta. Pengeluaran itu untuk pembayaran Dana Program Optimalisasi Otonomi Daerah Tahun Anggaran 2002 untuk 25 anggota dewan yang masing-masing memperoleh Rp 20 juta. "Untuk kasus-kasus ini, cenderung hanya legislatif saja yang dikejar. Tetapi, kita melihat ini sebagai konspirasi antara legislatif dengan eksekutif. Sebab, dana ini dikeluarkan atas persetujuan eksekutif," tukasnya.
"Kita langsung melaporkan ini ke Kejaksaan Tinggi karena kita kurang bisa berharap dengan Kejaksaan Negeri di sana. Kita berharap, kejaksaan tinggi bisa mendesak kejaksaan negeri untuk mengusut kasus ini," kata Wawan lagi.
Wawan menyatakan, modus dugaan korupsi penyimpangan anggaran hampir terjadi di seluruh Kalbar. Namun, dugaan korupsi agak sulit terungkap karena tertutupnya sumber-sumber informasi resmi seperti Pemda, Bawasda, dan bahkan kejaksaan. "Nah, kita harapkan kejaksaan lebih pro aktif melakukan penyelidikan karena mereka mempunyai intelijen khusus untuk menelusuri kasus korupsi semacam ini. Selama ini, badan ini kurang difungsikan," tandasnya.
Diusulkan Eksekutif
Secara terpisah, Kebing Lyah, Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu yang juga Plt Ketua DPRD membenarkan adanya pos anggaran optimalisasi otonomi daerah tahun anggaran 20002. Anggaran itupun disebutkannya juga telah ditetapkan dalam peraturan daerah saat itu. Namun pos anggaran itu tidak masuk dalam pos anggaran dewan. "Anggaran itu diusulkan eksekutif. Dewan posisinya sebagai pihak yang menyetujui. Itupun dengan pertimbangan dan pengkajian lagi. Apakah usulan itu efisiensi serta tepat sasaran. Karena pertimbangan dewan saat itu usulan tersebut efektif, yah kita setujui. Dan kita memutuskannya bersama," terangnya.
Lebih lanjut diterangkannya, pos anggaran yang masuk dalam APBD itu juga telah disahkan mendagri melalui gubernur. "Mengapa saat itu, mendagri tidak mempersoalkannya, kalau memang pos itu mengada-ada. Berartikan tidak ada permasalahan di situ," tegasnya lagi.
Dia juga menyebutkan pos anggaran yang dilaporkan ICW itu sebenarnya, bukan hanya dipakai anggota dewan. Itupun tidak semua anggota menggunakannya.
Sumber : http://arsip.pontianakpost.com