Perselingkuhan Bisnis dan Politik

Oleh: Ibrahim Fahmy Badoh

PERNYATAAN keras Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang adanya praktik tidak sehat atau kolutif antara bisnis dan politik kian menjadi opini publik. Terlepas dari rumor yang menyebutkan ini hanya upaya menekan sikap Fraksi Partai Golkar terkait kasus Bank Century, pernyataan ini dapat membuka jalan menyelesaikan problem konflik kepentingan bisnis-politik di Indonesia yang tak pernah diatur secara serius.

Perselingkuhan pengusaha-penguasa bukan hal baru. Sejak zaman Orde Baru, pemberian fasilitas berupa konsesi, lisensi, dan proyek dari anggaran negara sudah menjadi praktik yang lazim. Oleh Orde Baru, kekuatan konglomerasi bisnis diberikan hak monopoli pasar komoditas unggulan, seperti jeruk dan cengkih. Diberikan kemudahan dalam penguasaan lahan-lahan garapan dan alih fungsi hutan. Bahkan, para konglomerat mendapatkan izin mendirikan bank umum, yang digunakan untuk mengumpulkan uang publik guna membiayai bisnis para pemilik bank.

Persekongkolan ini berujung pada krisis likuiditas dan krisis ekonomi tahun 1997 akibat utang yang jatuh tempo. Negara kemudian harus menjamin dengan bantuan likuiditas (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia/BLBI) yang nilainya mencapai Rp 600 triliun. BI tahun 2002, mengutip Badan Pemeriksa Keuangan, menyebut kerugian negara terkait BLBI oleh pemilik 48 bank bermasalah mencapai Rp 84,84 triliun.

Pascakasus BLBI, indikasi perselingkuhan juga pernah terjadi pada zaman pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Pada pengujung 2002 Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang sangat kontroversial. Keputusan yang lebih dikenal dengan inpres release and discharge ini memberikan pengampunan hukum bagi para pemilik bank bermasalah terkait BLBI jika telah memenuhi skim penyelesaian utang (MSAA, MRA/MRNIA, dan APU) yang pada saat itu dilakukan lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada zaman Megawati, kasus indikasi perselingkuhan politik-bisnis juga terjadi dalam kaitan dengan penjualan aset-aset jaminan BLBI dan penjualan BUMN (privatisasi) yang menjadi andalan kebijakan dalam penyelesaian defisit APBN.

Pada era pemerintahan SBY kasus perselingkuhan pengusaha-penguasa juga banyak mencuat. Kasus lumpur Lapindo adalah salah satu yang paling fenomenal. Kasus ini disimpulkan secara politik sebagai fenomena kesalahan alam. Kerugian akibat lumpur yang mencapai Rp 27,4 triliun jadi tanggungan negara lewat APBN. Lapindo hanya menanggung biaya tanggap darurat Rp 1,3 triliun.

Perselingkuhan pengusaha-penguasa juga terjadi di parlemen. Kasus percaloan anggaran pondok dan katering haji yang dilakukan oleh KH Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat pada saat itu, merupakan kasus pertama di DPR. Kasus ini berujung pada pemecatan yang bersangkutan sebagai anggota DPR oleh Badan Kehormatan DPR. Kasus Aziddin ternyata hanya fenomena pucuk dari gunung es.

Masih banyak kasus korupsi lain di parlemen yang menunjukkan peran pengusaha yang secara langsung memengaruhi proyek anggaran untuk keuntungan kroni bisnis dan kroni politik. Bulyan Royan, anggota Komisi IV DPR saat itu, terbukti lewat pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi, mengarahkan proyek departemen untuk dikerjakan rekanan bisnisnya.

Banyaknya pengusaha yang menjadi politisi ditengarai jadi salah satu penyebab maraknya kejahatan bisnis memengaruhi kebijakan negara. Indonesia Corruption Watch pasca-Pemilu 2004 mencatat, 39 persen dari 550 anggota DPR adalah pengusaha. Angka ini naik dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu 33,6 persen. Periode DPR 2009-2014 diperkirakan naik lagi akibat perubahan sistem rekrutmen pemilu.

Pejabat Berbisnis

Persoalan relasi politik dan bisnis dapat dilihat dari dua pola. Pertama, relasi terbangun karena kedekatan bisnis dengan dunia politik. Ini dapat terbangun dengan sumbangan bisnis untuk pemenangan pemilu, dan karena rekanan bisnis pemerintah ingin mempertahankan kemudahan mendapatkan proyek pemerintah. Sumbangan dari bisnis rekanan pemerintah biasanya diberikan kepada partai-partai penguasa. Pola kedua terjadi karena tak ada larangan pebisnis menjadi politisi atau pejabat negara.

Ini memungkinkan pebisnis masuk memengaruhi kebijakan publik, terutama kebijakan anggaran secara langsung. Juga karena aturan pemilu tidak mengatur persyaratan ketat untuk pebisnis, setidaknya untuk mundur dari jabatan bisnis sebelum memasuki pencalonan sebagai calon pejabat negara. Dalam pelaksanaan pemerintahan, UU juga tak tegas mengatur pembatasan pengaruh kalangan bisnis dalam pengambilan keputusan publik, terutama keputusan politik.

Indonesia termasuk terlambat dalam penerapan pembatasan pejabat berbisnis. Di Filipina, pembatasan pejabat berbisnis diatur di dalam konstitusi. Anggota legislatif di Filipina dilarang menduduki institusi yang dibentuk pada masa dia menjabat. Juga ada larangan tegas untuk tidak menerima kontrak proyek atau perilaku khusus lain yang dapat mendatangkan keuntungan finansial secara langsung ataupun tidak langsung (pasal 13 dan 14 konstitusi Filipina). Di Thailand pengaturan pembatasan pejabat berbisnis juga terdapat di konstitusi. Pembatasan dilakukan dalam bentuk larangan memiliki saham, usaha, atau kerja sama dengan perusahaan tertentu (pasal 208 konstitusi Thailand).

Jika Presiden betul-betul serius membereskan persoalan pengaruh bisnis terhadap politik, ia harus segera mengajukan UU terkait konflik kepentingan untuk segera dibahas di DPR. Usulan ini harus mengatur agar politisi melepaskan jabatan bisnis sebelum mendaftar sebagai pejabat publik, termasuk di dunia politik.

Ibrahim Fahmy Badoh, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch

Sumber : Kompas, Selasa, 16 Februari 2010
-

Arsip Blog

Recent Posts