ANGGOTA Komisi VII DPR RI Saleh Djasit terancam hukuman seumur hidup. Saleh Djasit didakwa telah melakukan korupsi dana APBD Riau 2003 sebesar Rp 4,719 miliar saat menjabat Gubernur Riau (1998-2003). Yakni ketika pemerintahan provinsi (pemprov) Riau mengadakan 20 unit mobil pemadam kebakaran.
Inilah perjalanan kasus dugaan korupsi yang dilakukan pria kelahiran Pujut Rokan Hilir, Riau pada 13 November 1943 yang menjadi anggota DPR dari Partai Golkar untuk periode 2004- 2009. Pada Desember 2002, Saleh Djasit sebagai Gubernur Riau menyampaikan nota draft APBD tahun 2003 tentang penjabaran, kegiatan dan proyek anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dalam nota tersebut, mencantumkan pengadaan tiga unit mobil pemadam kebakaran dengan harga perunit Rp 725 juta yang akan dialokasikan untuk Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Rokan Hilir dengan total anggaran Rp 2,175 miliar.
Setelah menyampaikan nota keuangaan di hadapan DPRD Riau, Saleh dihubungi Hengky Samuel Daud yang menawarkan agar masing-masing Kabupaten dan Kota mengadakan dua unit mobil damkar. Saleh Djasit pun menyetujui dan mengarahkan Hengky Daud untuk menemui panitia anggaran eksekutif dan legislatif. Saleh Djasit pun juga mengatur agar tawaran tersebut dianggarkan dalam APBD 2003.
Untuk melaksanakan arahan Saleh Djasit, Hengky Daud yang juga Direktur PT Istana Sarana Raya (ISR) menemui Panitia Anggaran Legislatif yakni Sudarman Ade. Sudarman Ade pun lantas menemui Saleh Djasit. Dalam pertemuan tersebut, Saleh menegaskan bahwa kembali persetujuannya agar Panitia Anggaran menanggarkan mobil damkar Type V80 ASM.
Selanjutnya, Panitia Anggaran menanggarkan pengadaan mobil damkar dengan dua tipe yakni Type V80 ASM sebanyak 13 unit dan Type Forcer TLF 8/30 sebanyak 13 unit yang telah disepakati Saleh Djasit dan Hengky Daud. Melihat penganggaran tersebut, DPRD Riau telah menyampaikan peringatan kepada Saleh Djasit melalui surat nomor : 903/KEU/2003- 3/192 tanggal 20 Maret 2003. Isinya, agar proyek yang belum dianggarkan pada tahun 2003, agar ditunda pelaksanaannya dan dibicarakan pada perubahan anggaran tahun 2003.
Dalam APBD 2003 dan Keputusan Gubernur Riau Nomor 06 Tahun 2003 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan, Kegiatan dan Proyek Anggaran APBD Tahun 2003 yang dikeluarkan tanggal 24 Maret 2003, pengadaan mobil damkar dirubah menjadi sebanyak 26 unit. Untuk Type Forcer TLF 8/30 dengan harga perunit Rp 800 juta, total anggarannya Rp 10,4 miliar. Dan 13 unit Type V80 ASM dengan harga perunit Rp 750 juta dengan anggaran Rp 9,880 miliar. Total pengadaan 26 unit mobil damkar Rp 20,280 miliar. Namun dalam penjabaran APBD 2003 tersebut diberi tanda bintang dengan maksud bahwa kegiatan pengadaan mobil damkar tersebut belum dapat dilaksanakan.
Saleh Djasit yang tahu tanda bintang tersebut, tetap mengupayakan mempercepat pengadaan mobil damkar. Caranya, yakni memerintahkan Kepala Bapedda Riau Zulkifli Saleh untuk merubah jumlah unit mobil damkar dari masing-masing 13 unit menjadi 10 unit.
Saleh Djasit memberikan disposisi kepada surat penawaran Hengky Daud yang bertuliskan 'Supaya segera dilaksanakan PL'. Padahal, Saleh Djasit mengetahui bahwa penunjukkan langsung PT Istana Sarana Raya milik Hengky Daud tersebut bertentangan dengan pasal 3 Keppres RI Nomor 18 Tahun 2000.
Berbekal disposisi dari Saleh Djasit, Hengky Daud dan Sudarman Ade menemui Kepala Biro (Karo) Perlengkapan yang juga Ketua Panitia Pengadaan Azwar Wahab dan Sekda Riau Arsyad Rahim. Pada pertemuan itu Arsyad memerintahkan Azwar agar pengadaan mobil damkar tersebut dilakukan dengan tender atau lelang.
Namun Hengky Daud tetap menekan Azwar Wahab dengan alasan Saleh Djasit telah menyetujui. Sebagai pelaksanaan disposisi Saleh Djasit, pada 7 Juli 2003 Azwar Wahab membuat surat kepada Hengky Daud yang intinya menyetujui pengadaan 10 mobil damkar Type V 80 ASM.
Siang harinya, Hengky Daud dan Sudarman Ade mendatangi ruang kerja Azwar untuk mengambil surat persetujuan. Saat melihat hanya 10 mobil damkar yang disetujui Azwar, Hengky Daud marah dan mengancam Azwar Wahab untuk melaksanakan pembelian 20 unit mobil damkar.
Tak lama kemudian, Saleh Djasit memerintahkan ajudannya yakni Zulkafli untuk memanggil Azwar Wahab. Saat Azwar menghadap Saleh, di ruang tersebut sudah ada Sekda Arsyad Rahim. Arsyad kembali mengingatkan agar pengadaan mobil tersebut ditenderkan saja.
Pada 8 Juli 2003, Saleh melakukan pertemuan dengan Hengky Daud bersama Sudarman Ade. Hasilnya, mereka sepakat untuk mengadakan mobil damkar satu tipe yakni Type V 80 ASM yang merupakan produk Hengky Daud.
Saleh lalu memerintahkan Azwar Wahab untuk melaksanakan persetujuan pengadaan 20 unit mobil dengan Type V 80 ASM dan langsung menulis disposisi pada surat nomor :024/PP/185 tanggal 8 Juli 2003.
Tanggal 9 Juli 2003, Saleh menerbitkan surat nomor : 050/PP/1035. a perihal persetujuan prinspip penunjukkan langsung pengadaan 20 unit mobil damkar Type V 80 ASM dengan harga Rp 760 juta per unit. Sebagai pelaksanaan disposisi Saleh Djasit, lalu Azwar Wahab memerintahkan Zul Effendi untuk melengkapi seluruh proses pengadaan mobil pemadam kebakaran sebagai formalitas untuk memenuhi persyaratan administrasi saja.
Atas persetujuan Saleh, pada 23 Juli 2003 ditandatangani surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan atau kontrak pengadaan 20 unit mobil damkar yang ditandantani T Izazan selaku pimpro dan HS Daud selaku Direktur Utama PT Istana Sarana Raya.
Saleh Djasit pada 22 Oktober 2003 memerintahkan Karo Keuangan Nazaruddin untuk memproses surat perintah membayar uang (SPMU) kepada Hengky Daud sebesar Rp 15,2 miliar atas pengadaan 20 unit mobil damkar.
Padahal, sesuai hasil penelitian tim tenaga ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), bahwa secara fisik teknis pompa Tohatso V 80 ASM adalah identik dengan pompa Tohatsu V 75 GS dengan harga perunit hanya Rp 444.594.454. Akibatnya, terdapat kemahalan harga sebesar Rp 4,719 miliar. (Persda Network/Yuli Sulistyawan)
Sumber : kompas.com : 29 Mei 2008