Oleh Pradaningrum Mijarto
Sebelum Batavia berdiri, di bawah tanahnya pernah ada sebuah kota bernama Jayakarta. Lokasinya sekarang kira-kira di daerah The Batavia Hotel hingga ke Jalan Kopi. Karena Sunda Kalapa dulu itu lokasinya kini ada di sekitaran Kalibesar Barat. Kisah tentang Jakarta tak akan bisa lepas dari keberadaan Fatahillah yang pada tahun 1527 berhasil mengenyahkan Pajajaran dan Portugis. Pada tahun itu pula, ia merebut Sunda Kalapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Di tahun 1619 VOC yang dipimpin oleh JP Coen menaklukkan Jayakarta dan membakar kota itu untuk kemudian mendirikan Batavia.
Nugroho Notosusanto dalam sebuah tulisan yang terbit dalam Ketoprak Betawi menulis, tanggal 21 Agustus 1522 Pajajaran dan Portugis membuat perjanjian, di mana Portugis, melalui Fransisco de Sa, diizinkan membangun sebuah benteng di Sunda Kalapa. Pada 1526 de Sa mendapat tugas menggempur Bintan dan dari sana ia mengarah ke selatan hingga bertemu Fatahillah dan kalah.
Lantas siapa itu Fatahillah? Ia berasal dari Pasai dan melarikan diri saat kota itu direbut Portugis. Fatahillah pun mengembara ke Demak. Dari Demak ia tiba di Jawa Barat dan bertemu de Sa di Sunda Kalapa. Bertempur, menang, dan tinggal sebentar di Jayakarta untuk kemudian pergi ke Cirebon dan menetap di sana. Kekuasaan diserahkan kepada Tubagus Angke. Siapa dia, sejarah tak terlalu banyak menyebut siapa Tubagus Angke ini. Dalam penelitian Dinas Museum dan Sejarah tahun 1994 disebutkan, Tubagus Angke masih kemenakan Maulana Bagdad atau Maulana Abdurahman (dalam Babad Banten).
Tubagus Angke dikatakan memiliki putra yang kemudian melanjutkan kekuasaan di Jayakarta. Nama sang putra adalah Pangeran Jakarta Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama inilah yang kemudian takluk pada pasukan VOC di bawah JP Coen. Coen kemudian membakar kota Jayakarta dan membangun Batavia di atas reruntuhannya.
Pangeran Jakarta Wijayakrama diperkirakan mulai memerintah pada 1596 karena dalam salah satu sumber Belanda disebutkan, raja Jayakarta di kala itu sudah tua – maksudnya Tubagus Angke. Di seputaran waktu itu diperkirakan kekuasaan sudah diserahkan kepada Pangeran Jakarta.
Pada 1610 Wijayakrama membuat perjanjian dengan Pieter Both, gubernur jenderal, yang isinya antara lain, orang Belanda yang datang ke Jayakarta boleh berdagang; orang Belanda boleh membangun loji untuk tempat dagangan mereka; orang Belanda boleh mengambil kayu dari pulau-pulau untuk membuat kapal; cukai barang diserahkan ke Raja Jakarta.
Namun lama kelamaan hubungan itu makin tak harmonis hingga tiba JP Coen di Jayakarta. Perselisihan itu berbuntut perang pada 1618 dan akhirnya pada 1619 Jayakarta berhasil direbut Coen.
Kisah tersebut di atas agak sulit didapat, kalaupun ada, informasinya berbeda dengan bahasa yang tak teratur, pula. Demikian pula informasi tentang bagaimana wajah Fatahillah, misalnya.
Terlebih lagi di Museum Sejarah Jakarta (MSJ), yang memamerkan sejarah Jakarta sejak masa pra sejarah hingga masa kolonial, ternyata tak ditemukan periode Jayakarta semasa Fatahillah. Periode itu sepertinya hilang sehingga cerita melompat dari zaman pra sejarah, Hindu, langsung Batavia di bawah JP Coen (kolonial). Tak lengkap bicara sejarah Jakarta tanpa menyebut Fatahillah. Periode sekitar satu abad hilang. Padahal inti sejarah Jakarta adalah dimulainya Jayakarta sebagai embrio Jakarta.
Tugas melengkapi periode Fatahillah itu tak sebatas tugas MSJ tapi juga dinas, dalam hal ini dinas kebudayaan yang kini berbagi peran dengan dinas pariwisata. Keberadaan bidang pengkajian dan pengembangan sejak masa Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI sejatinya antara lain bertugas menutupi bolongnya periode sejarah itu.
Barangkali di HUT ke-482 Jakarta ini lantas ada greget dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, khususnya bidang kebudayaan, untuk segera merapatkan diri, merancang program, membenahi apa yang dirasa kurang dan melenceng, termasuk menggali potensi budaya asli Jakarta. Pasalnya, sejak penggabungan dua dinas, pariwisata dan kebudayaan, rasanya bidang kebudayaan berjalan bagai tanpa pegangan, tanpa induk. Kalau boleh lebih gamblang, seperti tak punya arah yang jelas, yaitu sebuah program besar yang disinerjikan dengan seluruh bidang termasuk pariwisata.
Sumber: http://www1.kompas.com
Sebelum Batavia berdiri, di bawah tanahnya pernah ada sebuah kota bernama Jayakarta. Lokasinya sekarang kira-kira di daerah The Batavia Hotel hingga ke Jalan Kopi. Karena Sunda Kalapa dulu itu lokasinya kini ada di sekitaran Kalibesar Barat. Kisah tentang Jakarta tak akan bisa lepas dari keberadaan Fatahillah yang pada tahun 1527 berhasil mengenyahkan Pajajaran dan Portugis. Pada tahun itu pula, ia merebut Sunda Kalapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Di tahun 1619 VOC yang dipimpin oleh JP Coen menaklukkan Jayakarta dan membakar kota itu untuk kemudian mendirikan Batavia.
Nugroho Notosusanto dalam sebuah tulisan yang terbit dalam Ketoprak Betawi menulis, tanggal 21 Agustus 1522 Pajajaran dan Portugis membuat perjanjian, di mana Portugis, melalui Fransisco de Sa, diizinkan membangun sebuah benteng di Sunda Kalapa. Pada 1526 de Sa mendapat tugas menggempur Bintan dan dari sana ia mengarah ke selatan hingga bertemu Fatahillah dan kalah.
Lantas siapa itu Fatahillah? Ia berasal dari Pasai dan melarikan diri saat kota itu direbut Portugis. Fatahillah pun mengembara ke Demak. Dari Demak ia tiba di Jawa Barat dan bertemu de Sa di Sunda Kalapa. Bertempur, menang, dan tinggal sebentar di Jayakarta untuk kemudian pergi ke Cirebon dan menetap di sana. Kekuasaan diserahkan kepada Tubagus Angke. Siapa dia, sejarah tak terlalu banyak menyebut siapa Tubagus Angke ini. Dalam penelitian Dinas Museum dan Sejarah tahun 1994 disebutkan, Tubagus Angke masih kemenakan Maulana Bagdad atau Maulana Abdurahman (dalam Babad Banten).
Tubagus Angke dikatakan memiliki putra yang kemudian melanjutkan kekuasaan di Jayakarta. Nama sang putra adalah Pangeran Jakarta Wijayakrama. Pangeran Wijayakrama inilah yang kemudian takluk pada pasukan VOC di bawah JP Coen. Coen kemudian membakar kota Jayakarta dan membangun Batavia di atas reruntuhannya.
Pangeran Jakarta Wijayakrama diperkirakan mulai memerintah pada 1596 karena dalam salah satu sumber Belanda disebutkan, raja Jayakarta di kala itu sudah tua – maksudnya Tubagus Angke. Di seputaran waktu itu diperkirakan kekuasaan sudah diserahkan kepada Pangeran Jakarta.
Pada 1610 Wijayakrama membuat perjanjian dengan Pieter Both, gubernur jenderal, yang isinya antara lain, orang Belanda yang datang ke Jayakarta boleh berdagang; orang Belanda boleh membangun loji untuk tempat dagangan mereka; orang Belanda boleh mengambil kayu dari pulau-pulau untuk membuat kapal; cukai barang diserahkan ke Raja Jakarta.
Namun lama kelamaan hubungan itu makin tak harmonis hingga tiba JP Coen di Jayakarta. Perselisihan itu berbuntut perang pada 1618 dan akhirnya pada 1619 Jayakarta berhasil direbut Coen.
Kisah tersebut di atas agak sulit didapat, kalaupun ada, informasinya berbeda dengan bahasa yang tak teratur, pula. Demikian pula informasi tentang bagaimana wajah Fatahillah, misalnya.
Terlebih lagi di Museum Sejarah Jakarta (MSJ), yang memamerkan sejarah Jakarta sejak masa pra sejarah hingga masa kolonial, ternyata tak ditemukan periode Jayakarta semasa Fatahillah. Periode itu sepertinya hilang sehingga cerita melompat dari zaman pra sejarah, Hindu, langsung Batavia di bawah JP Coen (kolonial). Tak lengkap bicara sejarah Jakarta tanpa menyebut Fatahillah. Periode sekitar satu abad hilang. Padahal inti sejarah Jakarta adalah dimulainya Jayakarta sebagai embrio Jakarta.
Tugas melengkapi periode Fatahillah itu tak sebatas tugas MSJ tapi juga dinas, dalam hal ini dinas kebudayaan yang kini berbagi peran dengan dinas pariwisata. Keberadaan bidang pengkajian dan pengembangan sejak masa Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI sejatinya antara lain bertugas menutupi bolongnya periode sejarah itu.
Barangkali di HUT ke-482 Jakarta ini lantas ada greget dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, khususnya bidang kebudayaan, untuk segera merapatkan diri, merancang program, membenahi apa yang dirasa kurang dan melenceng, termasuk menggali potensi budaya asli Jakarta. Pasalnya, sejak penggabungan dua dinas, pariwisata dan kebudayaan, rasanya bidang kebudayaan berjalan bagai tanpa pegangan, tanpa induk. Kalau boleh lebih gamblang, seperti tak punya arah yang jelas, yaitu sebuah program besar yang disinerjikan dengan seluruh bidang termasuk pariwisata.
Sumber: http://www1.kompas.com