Pementasan Bulang Cahaya, Menteri Malaysia pun Berdecak Kagum

Batam, Kepri - Luar biasa. Kata itu menjadi komentar pertama yang berasal dari Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia, Datuk Seri Ahmad Sabery Cheek ketika menyaksikan pementasan Opera Melayu Bulang Cahaya yang dibawakan Teater Selembayung Riau, Ahad (8/2) malam di auditorium Sumatera Promotion Center (SPC) Kota Batam. Raut puas terpahat di wajahnya. Ia tak henti-hentinya berkomentar tentang pementasan itu kepada sejumlah menteri yang hadir malam itu. Seperti, Menteri Pariwisata Arief Yahya dan Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara.

“Saya begitu kagum. Karya itu luar biasa sekali,’’ katanya saat berbagi cerita dengan awak media.

Datuk Seri Ahmad Sabery Cheek mengaku sangat menikmatinya. Pementasan opera tersebut benar-benar mencerminkan sifat dan tindak-tanduk masyarakat Melayu. Apalagi dengan kostum dan bahasa yang digunakan. Ia hampir-hampir merasa berada di Malaysia, bukan lagi di Indonesia.

“Alangkah bagusnya kalau karya ini dibagi lagi ke orang-orang Melayu yang lainnya,’’ katanya.

Pementasan Opera Melayu Bulang Cahaya diangkat dari novel Rida K Liamsi yang kini menjadi Chairman Riau Pos Group. Novel Bulang Cahaya itu diterbitkan pada 2007. Pementa­san yang berlangsung dua jam tersebut disaksikan bos-bos media se-Indonesia, Gubernur Kepri HM Sani, pejabat Kepri, Menteri Kabinet Jokowi, dan Menteri Malaysia dan masyarakat Batam sekitarnya. Apresiasi ratusan penonton yang memadati auditorium tersebut cukup membuat pertunjukan berlangsung khidmat hingga usai.

Opera Melayu Bulang Cahaya yang diangkat ke panggung teater dengan judul serupa, mengisahkan cerita seputar konflik yang terjadi dalam Kerajaan Melayu Riau-Lingga Johor-Pahang. Persaingan merebut kuasa dan pengaruh dalam konflik yang tak kunjung selesai antara dua puak besar, Melayu dan Bugis. Sebuah kisah yang memicu lahirnya perjanjian Traktat London 1824 yang berisi, memisah kekuasaan Riau-Lingga Johor-Pahang ke dalam dua rumpun negeri. Hindia Belanda, termasuk Riau masuk dalam kekua­saan Belanda. Sedang Semenanjung, termasuk Johor, Temasik, dan Pahang di bawah kekuasaan Inggris.

Raja Jaafar merupakan anak Raja Haji Fisabilillah. Garis keturunan menunjukkannya sebagai seorang Bugis-Melayu. Sementara Tengku Buntat adalah putri berdarah Melayu anak dari Tengku Muda Muhammad.

Dalam perebutan kekuasaan di bawah kuasa Sultan Mahmud III itu, terselip pula kisah cinta yang menggetarkan jiwa antara Raja Djafaar (dari puak Bugis, anak Raja Haji Fisabilillah) dan Tengku Buntat (dari puak Melayu, anak Tengku Muda Muhammad). Sebuah kisah cinta terbelit kerumitan yang tak kunjung selesai. Akhirn­ya, Djafaar merajuk dan bertolak ke Kelang (Malaysia) karena Tengku Buntat dinikahkan dengan Tengku Husin atau Tengku Long, anak tertua Sultan Mahmud.

Sultan pun menikah dengan adik Djafaar, Raja Hamidah atau Engku Putri Hamidah, pemilik sah Pulau Penyengat Indra Sakti. Cinta, politik ranjang Bugis, trik dan intrik, dendam serta amarah yang memicu perang saudara dua puak itu menyebabkan kandasnya asmara dua sejoli tersebut. Kisah ini diakhiri dengan konflik kakak beradik Djafaar dan Hamidah, serta Djafaar dan Tengku Long. Inilah kehebatan perempuan, meski Cik Puan Bulang (Buntat) tak setanding Cleopatra, namun cintanya membuat kekuasaan Kerajaan Riau-Lingga terbelah dalam dua rumpun negeri.

Selama lebih dari dua jam, para pelakon Teater Selembayung Riau berlaga di atas pentas. Mereka bermain ciamik meskipun usia para pemainnya terbilang masih muda.

Rida K Liamsi mengapresiasi hasil karya kumpulan anak-anak muda tersebut. Meski hanya berlatih selama tiga bulan, pengguba­han karya dari novel menjadi pementasan opera tersebut sangat memuaskan.

“Dari sini saya bisa menangkap spirit anak-anak teater. Mereka sudah mengemas karya ini dengan sangat baik. Meskipun mungkin kurang panjang,’’ katanya.

Selain itu, ia juga mengapresiasi kerja keras Fedli Azis dalam menerjemahkan imajinasinya dalam novel. Ia memberi kebeba­san sepenuhnya pada Fedli untuk menerjemahkan isi novel tersebut. Sebab, Fedli-lah yang paling tahu tentang hal-hal perteateran.

“Saya senang karya saya diberi penghargaan seperti ini. Setelah beberapa tahun, karya itu diterbitkan, akhirnya bisa dipentaskan juga,’’ katanya.

Sementara itu, Gubernur Kepri HM Sani juga mengapre­siasi karya tersebut. Ia tidak beranjak dari bangku penonton mulai dari awal hingga akhir pementasan. Kedatangannya malam itu didampingi sang istri, Aisyah Sani.

“Pementasan yang cukup bagus. Para pemainnya menguasai materi,’’ katanya.

Namun demikian, ia menilai perlu ada perubahan sedikit ten­tang materinya. Apabila karya itu hendak ditampilkan lagi. Sebab ini menyangkut tentang sejarah.

“Materi yang sekarang itu sudah bagus. Tapi karena ini sejarah, perlu agak panjang dan lebar dalam menyampaikannya,’’ katanya.

Monaliza Hamzah, seorang penonton yang juga penikmat karya seni teater, merasa terhibur dengan pementasan opera ini. Hanya saja dia terganggu dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa tutur. Meski tetap dengan tatanan bahasa Melayu.

“Karena ini bercerita tentang Melayu. Harusnya, bahasa Melayunya sangat kental,’’ ujarnya.

Monaliza mengaku sengaja datang untuk melihat pementasan opera tersebut. Pasalnya, kisah itu baru pertama kali dipentaskan oleh teater yang juga baru pertama kali tampil di Batam. Dia penasaran dengan pertunjukan teater tersebut.

Jika dipandang dari segi pementasan, karya tersebut telah dikemas dengan sangat apik. Namun, jika dipandang dari segi materi sejarah yang disampaikan, karya tersebut agak melenceng dari sejarah aslinya.

Dia mengambil contoh saat Tengku Buntat yang telah memiliki suami Raja Husein meminta bertemu dengan Raja Djaafar yang juga sudah memiliki istri dan seorang anak berumur delapan bulan. Saat itu, Tengku Buntat dan Raja Djaafar terlibat perdebatan seru.

Nah, dalam adat budaya Melayu, tidak pantas rasanya bagi seorang wanita untuk berkata panjang lebar dengan nada yang tinggi kepada seorang lelaki. Apalagi, dia sudah menikah.

“Saya tidak setujunya di situ. Tapi ini kan karya fiksi. Jadi, mari kita anggap itu sebagai fiksi yang berlatarkan sejarah,” katanya lagi.

Fedli Azis, sang sutradara, usai pementasan mengatakan kalau pementasan Bulang Cahaya ini tidak akan berhenti di pang­gung aula utama gedung SPC Batam. Ia berjanji akan membawa karya ini ke Pekanbaru. Mereka akan menggelar roadshow tiga hari ber­turut-turut mulai 26, 27, dan 28 Februari mendatang.

Menurutnya, Opera Bulang Cahaya diharapkan mampu mengembali­kan ingatan kolektif banyak orang tentang sejarah Melayu, yang barangkali tercecer. “Novel Pak Rida ini, cukup menarik dan rumit untuk dinaikkan ke atas panggung teater. Namun kerumitan itu menantang kami untuk bekerja keras agar bisa menundukkannya menjadi tonton menarik tanpa menghilangkan esensi yang terkandung di dalamnya,” ujarnya.

Proses latihan berlangsung selama tiga bulan. Garapan kali ini mengandalkan beberapa unsur agar lebih menarik seperti mema­sukkan nyanyian, tarian, multimedia, dan dekorasi yang terkesan mewah. ‘’Paling tidak kami berterima kasih kepada Pak Rida yang mempercayakan pada Teater Selembayung Riau untuk menggarap nov­elnya menjadi pementasan Opera Melayu Bulang Cahaya. Kami mengharapkan apresiasi masyarakat Riau untuk menonton bersama,’’ ajaknya.

Sumber: http://www.riaupos.co
-

Arsip Blog

Recent Posts