Jakarta - Bagaimana bisa Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 pada masanya bisa menguasai wilayah Indonesia yang luas? Bagaimana pula Indonesia yang luas itu bisa dikuasai perusahaan kongsi dagang dari Belanda, negara kecil di Eropa?
Sejarawan UGM Sri Margana menjelaskan, saat VOC dibentuk, tahun 1602, belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang ada, imbuhnya, hanya kerajaan-kerajaan di wilayah cikal bakal Indonesia. Saat masuk ke wilayah Nusantara, VOC membuat perjanjian dan kerjasama dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara ini.
"Seperti Amangkurat I yang terguling oleh pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Amangkurat I saat itu harus beralih ke barat, ke Tegal hingga kemudian meninggal di Tegal. Penerus Amangkurat, kemudian meminta bantuan VOC. Adipati Anom, penerus Raja Amangkurat itu adalah raja pertama yang dipilih dan dilantik Belanda," jelas Sri dalam 'Seminar Bedah Sejarah VOC 1602 Batavia' di Kemendikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (11/2/2015).
Permintaan tolong pada VOC itu tentulah tak gratis, ada sejumlah imbalan yang ditawarkan pada VOC bila berhasil mengembalikan kerajaan. Akhirnya, Trunojoyo berhasil ditangkap, dan raja penerus Amangkurat memberikan konsesi dagang hingga memberikan wilayah pesisir Jawa.
"Demikian pula dengan Raja Pakubuwono II minta bantuan VOC, harus lari ke Jawa Timur dan minta tahtanya di Jawa Tengah dikembalikan. Bila berhasil, maka wilayah Jawa Timur akan diberikan pada VOC. Begitu juga di Makassar, ada Aru Palaka versus Raja Bugis. Di Ternate dan Tidore. Di Blambangan Banyuwangi, yang pernah dijajah Bali. Jadi keterlibatan VOC pada politik lokal itu diundang," imbuhnya.
Karena VOC adalah perusahaan dagang, maka VOC tidak mau bila hanya diberi janji lisan. Janji itu haruslah hitam di atas putih. Sejak 1602 hingga 200 tahun setelahnya, VOC selalu menggunakan perjanjian hitam di atas putih. Semua arsip perjanjian konsesi dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara itu didapat dengan cara yang legal, bertanda tangan.
"Semua perjanjian VOC itu dibukukan hingga 7 seri. Sekarang masih disimpan di Arsip Nasional dan Belanda," jelas doktor sejarah lulusan Universitas Leiden Belanda ini.
Jadi, dia apa yang terjadi di Indonesia itu diistilahkannya sebagai 'Invited Colonialism'. Karena sering dimintai tolong menumpas rival-rival kerajaan itulah VOC jadi memiliki aset dan konsesi dagang yang signifikan di Nusantara.
"Kerajaan sedang bertempur sendiri. Konflik dengan internal sendiri. Sehingga muncullah intervensi asing. Pola itu juga sekarang terjadi. Saat Indonesia memasuki krisis ekonomi, memanggil Bank Dunia, IMF," sindirnya.
Nah, karena kepentingan VOC adalah berdagang, mencari rempah-rempah dan hasil alam, maka, bila perang terjadi secara berlebihan, tak ada yang menanam rempah-rempah dan hasil alam itu.
"Lantas untuk menciptakan keadaan damai, maka atas campur tangan VOC, kerajaan itu dibagi untuk meredam konflik internal sendiri," tuturnya.
Kerajaan yang dibagi itu seperti kerajaan Mataram, yang dibagi antara Hamengkubuwono, Pakubuwono dan Mangkunegaran.
"Hal seperti ini tak pernah muncul dalam buku sejarah kita. Bahwa kita terlarut dalam politik internal, ribut sendiri," tutur pria berkaca mata ini.
Sedangkan Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, VOC juga meninggalkan kebiasaan buruk bagi negara Indonesia hingga kini. Kebiasaan buruk itu yakni korupsi.
"VOC itu perusahaan multinasional pertama di dunia yang meninggalkan warisan sampai dengan saat ini dampaknya kita rasakan, yaitu korupsi. VOC itu bangkrut karena korupsi. Kompeni itu korupsi. Seperti VOC dan penjajahan Belanda yang sudah tinggal sejarah, insya allah nanti koruosu di Indonesia juga jadi bagian dari sejarah kita, bukan keseharian," jelas Anies.
Hadir pula dalam acara tersebut Prof Dr Lilie Suratminto. MA (sejarawan Universitas Indonesia), Dr. Sri Margana,MA (sejarawan Universitas Gajah Mada), dan sejarawan Bonnie Triyana sebagai moderator. Sejarah VOC yang disoroti adalah saat monopoli dagang VOC dari tahun 1602 hingga 1629.
Sumber: http://demo.analisadaily.com