Tanjungpinang, Kepri - Jembatan Engku Putri akan kembali menjadi saksi keriuhan ribuan masyarakat Tanjungpinang dan wisatawan dari segala penjuru. Ya karena hari ini, Jumat (6/2) pukul 14.00 WIB di tempat ini, Festival Sungai Carang (FSC) 2015 bakal ditutup dengan perhelatan akbar pawai perahu hias.
Untuk pertama kalinya, FSC yang disempenakan dengan hari jadi ke-231 Kota Tanjungpinang ini juga disandingkan dengan semarak pelaksanaan Hari Pers Nasional di Kepri. Ini diyakini bakal menambah keriuhan suasana. Lantaran akan ada lebih dari 400 wartawan dari seluruh Indonesia yang juga bakal menjadi saksi mata festival sungai gagasan Budayawan Melayu Rida K Liamsi ini.
Sebelum 28 perahu hias itu dilepas, masyarakat akan terlebih dahulu dihibur oleh kelompok drumband SMP Negeri 2 Tanjungpinang. Kelompok ini merupakan yang terbaik pertama pada gelaran festival drumband antarpelajar yang juga bagian dari senarai panjang FSC 2015. Secara menghibur dan penuh gairah, bocah-bocah pelajar ini akan membawakan gubahan lagu-lagu khas Melayu, seperti Lancang Kuning.
Berakhirnya lagu drumband sekaligus menjadi permulaan pelepasan pawai perahu hias. Iring-iringan perahu berhiaskan ornamen kemelayuan ini akan mengarungi jalur hulu sungai Riau, yang pernah menjadi bandar dagang dan dikenal dengan keriuhannya. Jembatan Engku Puteri yang kini membentang di atasnya itu akan menjadi garis pelepasan.
Satu yang perlu diingat, bahwa pawai ini tak mengandalkan kecepatan masing-masing armada menuju garis akhir. “Perlombaan perahu hias ini lebih mengedepankan hasil kreativitas yang dipamerkan tiap kapalnya. Setiap tim peserta mengadu kebolehan dalam menampilkan hiasan yang didominasi dengan ornamen Melayu. Dan tampilan yang tetap mengedapankan nilai artistiknya. Sehingga tak heran, jika tim pemenang nanti, akan dinobatkan sebagai kapal dengan hiasan terelok dari pemilik ide paling inventif,” kata Ketua Umum Panitia Penyelenggara FSC 2015, Socrates, Kamis (5/2).
Sementara pelepasan perahu hias itu akan ditilik menurut nomor undian sekaligus nomor urut peserta yang sudah ditetapkan. Berada di barisan terdepan, sebagai kapal pandu, adalah kapal Citra 1 dan Citra Tubindo Batam. Setelahnya diikuti perahu hias dari nomor urut pertama hingga terakhir.
Rute tempuh yang dilewati puluhan perahu hias ini menjadi istimewa lantaran melewati beberapa kawasan sarat sejarah. Selemparan batu dari hulu Sungai Riau, iring-iringan perahu hias akan melewati kawasan kampung Kota Piring. Daerah ini punya arti penting, karena yang Dipertuan Muda IV Raja Haji Fisabilillah pernah mendirikan istana sekaligus petirahannya. Yang kemudian oleh masyarakat sekitar masyhur disebut Istana Kota Piring.
Sehamparan ke depan, pawai perahu hias tiba di kawasan Kampung Bulang. Memang, tak banyak sejarah yang mencatat tentang kampung ini. Namun, Kampung Bulang merupakan kampung lama yang sudah ada sejak akhir abad 19 silam. Bahkan, kampung ini juga dijadikan sebagai salah satu latar cerita pada novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi.
Usai melintasi kawasan Kampung Bulang yang penuh kenangan, arak-arakan perahu hias ini melintasi Tanjungunggat. Kawasan ini memang tak menyimpan catatan historis mengenai kegemilangan kerajaan Riau-Lingga. Akan tetapi Tanjungunggat merupakan titik masuk para pengungsi Vietnam ke Tanjungpinang di media 1960-an. Ini jadi pengingat bahwa masyarakat Melayu adalah masyarakat yang terbuka dan ringan tangan untuk membantu.
Selanjutnya, 28 perahu hias ini melintasi Pulau Penyengat, pulau terpenting dalam catatan sejarah Kerajaan Riau-Lingga. Pulau ini menjadi penting karena pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan. Lebih uniknya, dari 13.466 pulau yang ada di Indonesia, hanya Pulau Penyengat yang dijadikan mahar kala Sultan Mahmud meminang istrinya, Engku Puteri Hamidah.
Jelang melintas di sehadapan Pulau Penyengat inilah, Socrates mengimbau agar seluruh perahu hias berpacu dalam kecepatan rendah. Pasalnya, di lintasan inilah, tim juri yang berada di pelataran seberang Gedung Daerah Tanjungpinang, menilai satu per satu perahu yang melintas. “Kalau terlalu cepat nanti malah tak dinilai sama dewan juri,” kata Socrates.
Ada pun tim juri pada pawai perahu hias ini terdiri dari juri yang berkompeten di bidangnya. Yakni dari perwakilan Lantamal IV Tanjungpinang, Lembaga Adat Melayu (LAM), Kesyahbandaran dan Otoritas Kepelabuhanan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang, dan panitia dari internal panitia FSC 2015.
Sudah selesaikah pawai hias tersebut? Sabar! Iringan-iringan terus berlanjut hingga ke perairan sehadapan dengan Tugu Raja Haji Fisabilillah. Di depan tugu yang dulunya bernama Tanjung Buntung inilah pawai perahu bakal disurai. Karena kawasan ini menjadi garis akhir iring-iringan kapal, hampir bisa dipastikan di sekitaran tugu juga bakal ditumbuhi keriuhan yang tak kalah gahar dengan yang ada di Sungai Carang.
Bila sedemikian, boleh dikatakan FSC 2015 bakal memulangkan keriuhan yang pernah ada 342 tahun silam. Keriuhan yang bermula kala Laksamana Johor Tun Abdul Jamil, pada tahun 1672, dititahkan untuk membangun sebuah negeri oleh Sultan Abdul Jalil Syah. Maka Tun Abdul Jamil pun berlayar hingga ke Bintan, dan membuka kesultanan baru di Sungai Carang.
Tidak hanya sekadar membangun kesultanan, Tun Abdul Jamil juga berhasil menyulap hulu sungai yang semula lengang, menjadi bandar dagang yang membuat banyak kapal dagang dari segara penjuru berlabuh di sana. Saking riuhnya bandar dagang tersebut, para pedagang menamai Sungai Carang sebagai ‘riuh’, hingga menjadi Riau yang dikenal sekarang. Mari meriuhkan lagi Sungai Carang!
Sumber: http://batampos.co.id