Cerpen Emil We
Melihat deretan karya yang kuhasilkan –puluhan novel, ratusan cerpen, beberapa antologi puisi. Ah, rasa-rasanya muncul kembali kerinduan yang susah kubendung. Kutahu kerinduan ini mengunjungiku dari jaman yang lama, kerinduan dari masa kecilku yang tak sepenuhnya indah namun penuh warna.
“Tuhan tak mungkin tak punya rencana, Kun. Dia tak pernah tidur,” begitu kata-kata Ustad Basyar puluhan tahun lalu ketika menghiburku –ketika aku tengah gundah gulana membayangkan bentangan masa depanku yang masih sumir.
Tapi tentu saja saat itu aku menggugat dan mempertanya esensi kalimatnya, rencana apa yang hendak Tuhan jabarkan dengan menumbangkan pohon di atas Emak-Bapak yang sudah sekuat tenaga menyelamatkan diri dari amukan angin puting beliung ? lantas, mengapa saat itu cuma aku yang selamat di dekapan Emak ? Mereka berdua seharusnya selamat dari amukan angin bedebah itu, begitu pula dengan tetangga kiri-kanan beserta kawan sepermainanku yang menjadi korban keganasannya.
“Tuhan Mahabijak, Kun. Percayalah. Jika harapan manusia dikabulkan Tuhan sesuai keinginannya, maka semua itu terjadi atas dasar kemurahanNya. Namun jika harapan kita ternyata dijawab Tuhan dengan cara yang lain, mungkin itu semua terjadi atas dasar kebijakanNya. Tuhan tetaplah Tuhan, Kun. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” Amboi. Membius benar kata-kata Ustad Basyar. Guru mengajiku yang baik dan bijak itu menempati kisah tersendiri di larik-larik buku hidupku. Setelah Emak, Bapak, Kakek, barulah Ustad Basyar. Nama-nama mereka bersemayam di podium kehormatanku, ketika doa-doaku terlantun sehabis shalat kutunaikan.
Saat berdiri di sela rak-rak toko buku seperti sekarang, menyaksikan deretan karya-karyaku dipajang berjajar, entah mengapa aku kembali terkenang petaka angin itu. Kuingat puluhan rumah dihambur tercerai-berai –pohon tumbang dijungkirbalikkan, meski saat itu masih berusia empat tahun, ingatanku sangat jelas menggambar bencana itu –bencana yang menjadi titik balik perjalanan hidupku. Setelah Emak-Bapak meninggal, praktis aku kehilangan pegangan. Jiwaku kering. Kurasa ada lubang di hidupku. Namun kemudian lubang itu segera ditambal Kakekku yang lantas mengasuhku. Tapi, tentu saja Kakek mencurahkan cintanya dengan cara yang ia tahu. Ia mengasuhku dengan format cinta yang dikenal lelaki tua kepada cucunya. Ah, Kakekku, kuingat lagi postur tubuhnya yang tinggi, kurus, punggungnya cenderung melengkung. Bentuk kepalanya bulat, hidungnya mancung, matanya menyipit serupa daun belimbing. Tatap matanya sayu –seakan memandang rembulan ketika purnama.
Kemudian kuingat pakaiannya yang serba hitam. Baju, celana, sabuk, kopyah yang tersemat sedikit miring pun berwarna hitam. Hanya sarung yang tak berwarna hitam, tapi itu pun sudah pasti berwarna gelap. Kata tetangga kiri-kanan yang lantas kudengar, setelah puting beliung merenggut Emak-Bapak, kebiasaan Kakek jauh berubah. Kata tetanggaku lagi, Kakek sedang membuat jarak dengan Gusti Allah. Ah, aku tak tahu apa maksudnya, dan aku tak peduli dengan itu. Yang jelas bagiku dia lebih dari segalanya. Dan, dia pandai menyenangkanku. Kuingat ia selalu terkekeh ketika aku sedikit nakal dan meminta gendong di punggungnya.
“Kakek harus jadi kuda ! Kakek harus menggendongku seperti si Toing digendong Bapaknya !!” pintaku saat itu. Ah, aku ingat betul peristiwa itu. Kakek terkekeh panjang menanggapi rajukanku.
“tenanglah, Cung. Meski sedikit encok, punggung Kakek masih lebih kuat dibanding punggung Bapak si Toing, ayo, naik dan pegangan yang kuat,” demikian Kakek berujar sambil menepuk-nepuk punggung seperti kuli pengangkut beras.
Dipanggilnya aku Kuncung, panggilan kesayangan buatku.
Setelah itu aku digendongnya, kami melangkah berkeliling rumah, Kakek menggendongku dengan sedikit menari, terkadang mengayunku, terkadang gerakannya maju mundur laiknya kuda lumping. Tak lupa ketika beraksi, bibirnya menirukan bunyi gemelatak tapal kuda beserta ringkikannya. Ah, Kakek, kuingat betul dia menyenangkanku dengan sempurna. Kekehan tawa dan batuknya ketika lelah, kalimatnya yang memelas memohon ampun agar sang kuda beristirahat, kami pun selalu berhenti di pelataran rumah sambil memandangi benda langit yang bercahaya di kala malam. Kuingat saat menyaksikan kerlingan benda-benda itu, jiwaku diliputi rasa syahdu, sementara Kakek, ah tidak, seringkali kudapati ia menyeka kelopak matanya, “Kenapa, Kek ? Kakek menangis ?” demikian kuucap setiap kali dada Kakek terlihat sesak. Seperti hafal kebiasaannya, aku tahu Kakek menarik nafas dalam-dalam.
“Tidak, Cung. Kakek tak menangis,” demikian jawabnya sambil menatapku. Kuingat tatap matanya nanar berkaca-kaca. Setelah itu dia pasti mengelus rambutku dan kemudian berkata,
“Cepatlah besar, Cung. Cepatlah besar. Kuharap aku masih menyaksikanmu tumbuh besar,” demikian ia berujar dan kemudian mengecup keningku.
“Sekarang waktunya tidur, kuda dan penunggangnya pastiah lelah, besok kita bermain lagi,” Kakek lantas tersenyum menggurat keriput.
“Tapi sebelum tidur, Kakek punya dongeng buatmu,” kuingat pertama kali Kakek berucap demikian. Wajahnya bercahaya.
“Dongeng, Kek ?”
“Iya. Cerita dari antah berantah, jaman ketika manusia masih berbincang dengan binatang,”
“wah, pasti seru, Kek” ujarku tertarik
“Pasti. Pasti kamu tertarik. Kamu harus mendengar dongeng dari jaman yang lama, dongeng yang hanya segelintir manusia yang pernah mendengarkannya,” bola mata Kakek berbinar menanggapiku.
Mulai malam itu, selain menjalani perannya sebagai kudaku, Kakek juga menjadi pendongeng menjelang tidurku. Aku suka sekali cerita Kakek. Benar-benar menyeret imajinasiku ke titik terjauh. Apalagi intonasi suaranya saat membawakan cerita, ah, kukira Kakekku adalah pendongeng nomer satu di dunia. Ya. pendongeng nomer satu. Tak ada yang lain.
Aku paling suka saat Kakek mendongeng kisah-kisah kecerdikan si Kancil. Mulai dari menetaki kepala buaya yang berjajar di atas sungai dengan alasan menghitung jumlah buaya yang bersiap memangsanya, ah, binatang cerdik itu berhasil mengakali sindikat buaya hingga berhasil menyeberang sungai dengan selamat. Ada lagi dongeng yang kusukai, yaitu dongeng si Kancil ketika menghadapi si raja hutan yang sombong, seekor harimau loreng.
“Am .. ampun Paduka Raja .. hamba mengakui kehebatan Paduka. Hamba bersedia dimakan oleh Paduka. Tapi..."
“Tapi apa, Hah ? hrrrrr …Roaarrr !!!” raja hutan mengaum menggentarkan seisi hutan.
“Hamba .. hamba mendapat cerita mengerikan dari Ki Gajah, konon ada makhluk mengerikan di luar hutan hendak mengobrak-abrik seisi hutan. Makhluk itu .. makhluk itu .. jauh lebih hebat dari Paduka, jauh lebih kuat, ia sangat ganassss, Paduka, ”kurang ajar ! berani-beraninya kau bilang ada makhluk lain yang lebih perkasa, hah !! hrrrrrrrhhh,"
“Iy .. iya, Paduka. Makanya itu hamba sengaja menemui Paduka Harimau yang perkasa untuk meminta perlindungan seisi hutan,” timpal Kancil menyenangkan hati Harimau Loreng.
“Untunglah dalam perjalanan kemari, hamba berhasil memperoleh kabar rahasia tentang kelemahan makhluk itu, Paduka,” lanjut Kancil.
“Kelemahan? Kelemahan apa maksudmu, Cil ? Hrrrr Roaaarrrr !!!”
“Kelemahan maksud hamba adalah sesuatu yang dia takuti. Makhluk mengerikan itu paling takut dengan bunyi gong milik Paduka Raja Nabi Sulaiman –Sang Penguasa jin, binatang, dan juga setan belang. Paduka harus menabuhnya biar makhluk itu lari terbirit-birit. Kalau perlu pukul sekencang-kencangnya, Paduka. Sekeras-kerasnya. Setelah itu hamba bersedia disantap Paduka Harimau demi kebaikan seluruh penghuni hutan ini. Hamba pasti mati bahagia.”
“Jangan banyak omong, Kancil. Mana gong-nya. Biar kupukul sekarang juga. Jangan buang waktu lagi. Aku sudah lapar!! hrrrr roaarrr!!”
“Itu gongnya, Yang Mulia. Itulah gongnya, tapi tunggu sebentar biar hamba bersembunyi dan tak mendengar bunyi gong menakutkan itu. Hamba tak ingin lemas ketakutan sebelum disantap Paduka Harimau.”
“Tapi awass!! jangan kau coba-coba melarikan diri, Cil.”
“Ti.. tidak, Paduka. Mana mungkin hamba berani mengakali Paduka. Nyawa hamba berada di ujung kuku dan taring Paduka. Pukul gongnya cepat-cepat, Paduka. Itulah gong milik Baginda Raja Nabi Sulaiman ! mumpung makhluk mengerikan itu belum sampai kemari.”
Konon menurut dongeng Kakek, Kancil saat itu menunjuk gong milik Baginda Raja Nabi Sulaiman –berupa sarang tawon hutan sebesar gentong yang menggantung di dahan pohon. Tawon pun bukan sembarang jenis tawon. Tapi yang ditunjuk si Kancil adalah jenis tawon pembunuh yang memiliki ukuran tubuh sebesar jempol tangan Kakekku. Aku terhenyak. Aku menahan nafas. Sembari menunggu kelangsungan klimaks dongeng yang kutunggu-tunggu, jantungku terayun cepat.
Blaakk!!
Cakaran Harimau sombong terayun kencang menabuh gong Baginda Raja Nabi Sulaiman. Sang Raja Hutan menunggu. Tak disangka gong Baginda Raja Nabi Sulaiman malah berbunyi kebas tak nyaring.
Tiga detik berselang, masih sunyi tak ada reaksi. Namun dalam hitungan detik ke empat, suara mengaung tiba-tiba muncul. Ratusan tawon pembunuh mengamuk menghajar pengusiknya.
Tawon-tawon itu menerjang bersamaan dengan mengarahkan moncong sengatnya yang mematikan.
Nggg… ngggg … Jzzt !! Jzztt !! Aw ! Roaaarrrrr !!! Kancil Sialaaaaaaaaann !!!
Harimau pendek akal itu lari pontang panting dihajar tawon pembunuh. Ia menyumpah-nyumpah sambil kelimpungan terkencing-kencing.
“Jadi pesan Kakek, kamu tak boleh sombong, Cung. Tetaplah menjadi manusia rendah hati dan tidak congkak. Jangan seperti Harimau, perkasa tapi pendek akal karena kecerdikannya ditutupi kesombongan.”
Demikianlah satu episode didongengkan Kakekku. Imajinasiku kala itu terbang. Cipta khayalku mengunjungi kelebatan hutan gung liwang-liwung yang menakutkan. Tak ada jejak manusia. Hanya ada kerajaan binatang lengkap dengan si kancil yang cerdik beserta harimau-nya yang pendek akal namun perkasa.
Mulai malam itu, dongeng demi dongeng membuaiku setiap malam menjelang tidur. Membawa imajinasiku kian tinggi menembus ruang khayal yang mahaluas. Puluhan kisah kancil mengerjai gajah, serigala, harimau, buaya, juga puluhan binatang hutan lainnya. Kisah kekonyolan si Petruk, Bagong dan Gareng, cerita lakon wayang mulai episode Ramayana hingga Perang Barata Yudha, ah, Kakek malah lebih hebat jika menceritakan episode Mahabarata. Yang kusuka adalah cerita tentang Resi Bisma yang sedemikian menyayangi Arjuna. Rasa-rasanya saat itu kubayangkan Kakek adalah jelmaan resi Bisma, sementara aku membayangkan menjadi ksatria Arjuna yang bidik panahnya tak pernah meleset. Ah, Kakekku memang pendongeng nomer satu, ya, pendongeng terbaik yang bertengger di urutan teratas, tak ada yang lain.
Seiring bertambahnya usia, aku tak lagi bocah di bawah lima tahun. Setiap petang, kusaksikan kawan-kawan sepermainanku bergegas menuju surau dan mengaji hingga menjelang isya. Sepulang mengaji, barulah mereka menjemputku di rumah dan mengajakku bermain petak umpet atau terkadang bermain jamuran. Di bawah temaram rembulan, aku dan kawan-kawan menikmati masa kecil yang bahagia sembari diiringi nyanyian serangga senja dan suara jangkrik yang terus berderik. Biasanya aku dan kawan-kawan bermain hingga angin terasa dingin, setelahnya, kami pulang ke rumah dan bersiap tidur.
Selalu saja kujumpai Kakek menantiku di beranda rumah. Ia duduk di kursi anyaman rotan sambil jemarinya menggamit lintingan tembakau hasil karyanya sendiri, itu pun sudah pasti ditemani secangkir kopi. Terkadang di kejauhan, di saat dalam perjalanan pulang, kudengar suaranya menembang syahdu. Suara yang melukis sedih. Kesepian. Agak terkesan miris. Aku tahu ia menantiku. Bersiap menyaji cerita terbaru yang diramunya demi cucu kesayangannya. Namun di suatu malam, di saat aku berbaring bersiap mendengar dongengnya, ia yang duduk di sampingku memandangku dengan tatapan sedih, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Tangannya yang keriput dan kasar membelai kepalaku.
“Kalau pulang bermain, janganlah malam-malam, Cung. Angin malam tak baik buatmu. Kamu tentu tak ingin terus-terusan batuk seperti Kakek.” Ia tersenyum lembut penuh cinta.
“Iya, Kek. Aku keasyikan,” sahutku meminta maaf. Ia lantas terkekeh sambil memijat betisku yang pegal-pegal sehabis bermain petak umpet. Sesekali batuk meluncur dari tenggorokannya. Dadanya naik turun mengatur nafas. Saat itu kuingin mengatakan sesuatu.
“Kek, aku ingin mengaji di Ustad Basyar, semua kawan-kawanku mengaji di sana, boleh ?” lanjutku meminta ijinnya. Kakek menarik nafas panjang.
“Hmmm .. Iya, Cung. kamu memang harus mengaji. Nanti biar kuminta Bapak si Toing mengantarmu ke Ustad Basyar.”
“Kenapa bukan Kakek sendiri yang mengantarku?” protesku
“Kakek ada perlu, Cung. Kapan-kapan Kakek kesana. Mulai besok, sehabis maghrib, berangkatlah mengaji dengan si Toing.”
“Kalau begitu jangan besok, Kek. Kalau Kakek tak bisa mengantarku ke Ustad Basyar, kita tunda barang sehari, lusa juga boleh,” usulku kemudian
“Tak usah, Cung. Mengajilah mulai besok. Jangan ditunda lagi keinginanmu agar tak membusuk. Besok biar Kakek diwakili Bapak si Toing.”
Begitulah kalimat Kakek menandaskan. Terus terang saat itu aku kecewa, tapi apa boleh buat, Ia enggan mengantarku ke Ustad Basyar. Kuduga Kakek enggan mengantarku karena malu. Ya, ia malu kepada Ustad Basyar karena tak lagi shalat lima waktu. Kakek mungkin enggan diingatkan. Mungkin benar kata tetanggaku dulu, Kakek membuat jarak dengan Gusti Allah.
Pernah sepulang mengaji, kujumpai Kakek tengah duduk di beranda sambil seperti biasa –menikmati lintingan tembakau kesukaannya. Namun kutahu ada yang kurang pas, di sampingnya tak ada secangkir kopi pahit, malah yang kulihat adalah botol gepeng dengan aroma menyengat. Menjumpaiku mendekap kitab suci, Kakek tersenyum bangga. Kuhampiri dia, kucium tangannya, dia lantas menatapku dengan pandangan nanar.
“Mengajilah yang benar, Cung. Jangan bandel. Turuti kata-kata Ustadmu. Hehehe uhuk uhuk !” Kakek terkekeh dan terbatuk. Kucium aroma menyengat dari bibirnya. Di kemudian hari ketika dewasa, kutahu aroma itu berasal dari oplosan minuman keras botol gepeng itu. Ternyata betul kata tetangga, Kakek saat itu sudah jauh berubah.
“Kakek sudah sholat. Kek ?” tanyaku menyahutinya lembut. Sebenarnya aku tahu Kakek tak mungkin sudah sholat.
“Doakan, Cung. Doakan.” Begitulah jawaban Kakek
“Kenapa doakan, Kek?" kata Ustad Basyar, sholat harus dilakukan sendiri-sendiri,” ujarku menggurui
“Iya. Maksud Kakek, sebentar lagi Kakek sholat, agak malam sedikit,” jawabnya tersenyum. Kutahu ia sekedar menyenangkanku.
“Baiklah kalau begitu, aku mau tidur, Kek,” timpalku sambil berlalu.
“Kalau mau tidur, jangan lupa berdoa,” ujarnya lembut.
“Sudahkah diajari Ustad Basyar doa sebelum tidur?” lanjut Kakek setengah berteriak.
“Belum, Kek,” sahutku sambil melangkah
“Besok minta Ustad Basyar mengajarimu doa sebelum tidur,” timpal Kakek yang kemudian terbatuk. Kurasa batuknya lebih parah dari yang sudah-sudah.
Malam itu pertama kalinya Kakek absen mendongengiku. Sebenarnya aku ingin menagih kisah-kisah baru darinya, tapi kuurungkan juga lantaran tubuhku capek setelah seharian mengejar layang-layang, aku sangat-sangat mengantuk. Dan lagipula, malam itu Kakek terus menerus didera batuk. Aku tak enak hati menagihnya mendongeng.
Selanjutnya, hari-hariku berjalan seperti biasa. Kebiasaan Kakek yang menantiku sepulang mengaji juga masih sama.
Namun, ternyata aku yang belum genap dua minggu berguru ke Ustad Basyar mendapat kejutan baru. Diluar dugaan, Ustad Basyar adalah pencerita yang ulung. Kemampuan berceritanya terpaut sedikit di bawah Kakekku, tapi itu pun sudah kuanggap sempurna. Kakek nomer satu, yang kedua barulah Ustad Basyar. Hampir dua minggu sekali sehabis memberi pengajaran, beliau menceritakan kisah-kisah penuh hikmah kepada kami –para santrinya. Kisah para nabi dan rasul, kisah para sahabat, kisah kehebatan pejuang Badar, ah, aku dan kawan-kawan terbuai membayangkan kehebatan manusia-manusia pilihan itu. Nabi Adam sang putera sorga, bahtera Nabi Nuh, Nabi Musa yang membelah laut merah, Kisah-kisah manusia goa Ashabul Kahfi, Nabi Isa yang lahir tak berbapa, Nabi Muhammad, ah, aku paling suka kisah Abdul Muthalib dan Muhammad kecil, kubayangkan Kakekku, kubayangkan diriku, kubayangkan kami berdua berada dalam fragmen sejarah yang indah, saat itu kuberdoa semoga Kakek dinaungi rahmat Allah.
“Ustad pasti kenal Kakekku, kan ?” suatu saat aku bertanya kepada guruku yang bijak itu.
“Oh, tentu, Kun. Kakekmu orang baik, orang bijak, semoga Gusti Allah melimpahkan rahmat kepadanya.”
Ustad Basyar saat itu menjawab sembari menghembuskan nafas panjang. Suaranya menyirat sedih.
“Berdoalah untuk Kakekmu, Kun. Sebagai cucu yang baik, kamu harus rajin mendoakannya. Jangan lupa doakan pula Bapak-Emakmu sehabis sholat.”
“Iya, Ustad. Pasti,” sahutku lirih
“Jangan bersedih, Kun. Tuhan tahu yang terbaik. Berbaiksangka-lah. Jangan berputus asa dari rahmat Tuhan. Sepulang nanti, sampaikan salamku kepada Kakekmu.”
Begitulah Ustad Basyar mengakhiri perbincangan kami. Entahlah, beliau lebih sering menyempatkan diri berbincang denganku daripada dengan santrinya yang lain. Mungkin karena aku yang yatim, mungkin pula karena aku yang sering terlihat melamun membayangkan kehidupanku tanpa Kakek.
Sepulang mengaji, di jalan sambil melangkah menuju rumah, seperti biasa kudengar suara Kakek menyenandungkan tembang syahdu. Suara sedih tergambar, suara letih nan ringkih dari lelaki tua yang pasrah menjalani sisa hidupnya.
“Sudah pulang, Cung ?” sapa Kakek setibaku di depannya. Ia tengah duduk santai sembari jemarinya menggamit lintingan tembakau.
“Sudah, Kek,” jawabku penuh bakti. “Oh iya, ada salam dari Ustad Basyar,” lanjutku.
“Wa’alaikum salam,” timpalnya lirih. Bibirnya lantas mengerucut menyemburkan asap rokok.
“kau sudah mau tidur, Cung?” tanyanya kemudian.
“Iya, Kek. Aku mau tidur,” jawabku singkat
“Kalau begitu, ayo Kakek temani, Kakek punya dongeng baru buatmu,” sambung Kakek yang kemudian bangkit dan membuang lintingan rokoknya.
Kami berdua lantas berjalan ke dalam rumah. Kitab suci Alqur’an kuletakkan di dalam lemari. Tak lama berselang, aku pun berbaring di tempat tidur, Kakek duduk di pinggir tempat tidurku sambil menatapku haru.
“Ustad Basyar juga sering mendongengiku, Kek” celetukku menatapnya
“oh iya?”
“Iya, sehabis mengaji, dua minggu sekali.”
“Pandaikah gurumu bercerita?” tanya Kakek antusias
“pandai sekali, Kek.”
“Pandai mana dengan Kakekmu ini?” tanyanya yang tersenyum menggoda
“Tentu lebih pandai Kakek. Kakek tak ada duanya kalau mendongeng. Kakek juara dunia,” ujarku yang tertawa kecil. Ia pun terkekeh berkepanjangan.
“Malam ini kisah tentang apa, Kek?” tanyaku memotong tawanya. Ia lantas terbatuk.
“Kisah si cerdik kancil.”
“Ah, aku bosan dengan si Kancil, Kek. Yang lain saja. Bagaimana kalau kisah tentang Baginda Raja Nabi Sulaiman, dulu Kakek cerita tentang Gong-nya. Sekarang aku ingin mendengar cerita tentang beliau,” potongku
“Tapi cerita kancil kali ini lain dari yang lain, Cung. Kancil kali ini kalah karena sombong. Kau tahu dia kalah oleh siapa? Oleh siput! Makhluk yang lemah,” sanggahnya antusias.
“Aku bosan dengan dongeng kancil, Kek. Aku ingin cerita Baginda Raja Nabi Sulaiman. Kata Ustad Basyar, Baginda Sulaiman hebat sekali, Kek. Beliau bisa bicara dengan semut dan burung. Ayolah, Kek. Ceritakan kisah lainnya tentang Baginda Raja Nabi Sulaiman.”
“Bagaimana kalau kisah masa kecil Prabu Kresna?” tawar Kakek
“Nggak mau, Kek.”
“Kalau kisah Subali, Sugriwa, atau Anoman Obong?”
“Nggak mau, Kek. Aku mau cerita Baginda Raja Nabi Sulaiman,” aku ngotot
“Bagaimana kalo Petruk jadi ratu? tentu lucu, Cung.”
“Ah, nggak mau. Aku nggak mau, Kek. Aku ingin kisah Baginda Raja Nabi Sulaiman,” tolakku enggan ditawar.
Saat mengenang kenakalanku malam itu, rasa-rasanya jiwaku runtuh, aku menjelma menjadi pendosa kecil yang keras kepala.
Malam itu, Kakek akhirnya terdiam, ia menatapku nanar, kulihat ada bening kaca di matanya yang keruh.
“Mungkin malam ini Kakek tak ada dongeng buatmu. Maafkan Kakek, Cung,” ujar Kakek yang beranjak dari tempat tidurku. Ia menghembuskan nafas panjang. Aku pun menarik nafas sesak. Sesak karena jengkel. Jengkel karena Kakek yang kusayangi tak memenuhi harapanku.
Ah, aku masih kecil saat itu.
Hari-hari berikutnya hubunganku dengan Kakek sedikit bergeser. Meski ia selalu menantiku sepulang mengaji, Kakek tak lagi duduk di pinggir pembaringanku menjelang tidurku. Tak ada lagi dongeng, tak ada lagi cerita yang menyeret daya khayalku mengunjungi tempat-tempat terjauh di kutub bumi.
Namun tak lama berselang, kalimat Ustad Basyar ketika menghiburku terbukti kebenarannya, bahwa setiap manusia tak boleh berputus asa dari rahmat dan kebaikan Tuhan.
Saat aku tengah asyik mengaji, konsentrasiku teralihkan Ustad Basyar yang bergegas melangkah menuju pelataran surau. Perlahan kuikuti langkahnya, aku penasaran. Tak kusangka ternyata Ustad Basyar menemui Kakekku yang tengah berdiri menunggunya. Di pelataran mereka berbincang, percakapan mereka terlihat karib. Di akhir percakapan, kulihat Kakek menangis sesenggukan.
Dadanya yang ringkih naik turun. Kucoba menduga masalah yang menggusarkannya, ya Tuhan, saat menyaksikan Kakek yang menangis sesenggukan, hatiku serasa dicengkeram dan kemudian dilempar hingga pecah berantakan.
Sepulang mengaji, bergegas kulangkahkan kaki menuju rumah. Aku ingin tahu keadaan Kakek selepas menemui Ustad Basyar. Di kejauhan saat melangkah, tak kudengar sayup suaranya yang menembang seperti biasa ketika menungguku pulang mengaji, aku kian khawatir. Namun syukurlah, setiba di rumah kujumpai Kakek dengan wajah cerah menyambutku di beranda. Ia mengenakan pakaian putih. Baju-celananya yang berwarna hitam telah ia tanggalkan, terkecuali kopyahnya yang tetap berwarna hitam, sedang sarungnya kali ini berwarna hijau cerah.
“Kamu sudah sholat, Cung ?” tanyanya sambil tersenyum.
“Tentu sudah, Kek. Aku selalu berjamaah isya’ dengan Ustad Basyar.”
“Oh, iya. Kakek lupa,” sahutnya cepat.
“Sudah mau tidur, Cung ?” tanyanya lagi.
“Iya, Kek. Aku lelah sekali hari ini. Kenapa, Kek?”
“Kalau kau mau tidur, sekalian Kakek temani, Kakek ada dongeng buatmu, kali ini tentang Baginda Raja Sulaiman,” katanya sumringah
“Benarkah, Kek?”
“Iya. Benar, mulai malam ini, Kakek akan mendongeng lagi buatmu.”
Wajahnya cerah, tak nampak sedikitpun aura gamang yang biasa menghiasi wajahnya. Terasa muncul pengharapan baru di dirinya, saat itu kuberdoa semoga Kakek tak apa-apa.
Malam itu Kakek kembali mendongeng buatku. Diceritakannya kisah Baginda Raja Nabi Sulaiman dari awal hingga akhir. Kisah ketika bala-tentaranya berhenti lantaran seekor semut terdengar bercakap-cakap, kisah ketika burung hud-hud yang cerdas diperintah memata-matai negeri yang dipimpin ratu Bilqis, ah, saat itu imaginasiku terseret kepiawaian Kakek dalam mendongeng. Intonasi suaranya, mimik wajahnya, tangannya yang bergerak dinamis, bayanganku segera terbang mengunjungi tempo waktu antah berantah, menggambar fragmen kisah masa lalu, membayangkan aku turut larut dalam langkah Baginda Raja Nabi Sulaiman saat menunjukkan tahta Ratu Bilqis yang telah dipindahkan lewat karamah pengikutnya.
Aku puas malam itu. Kupeluk Kakek sehabis menuntaskan dongengannya. Aku cinta dia, aku sayang dia, saat itu kurasa betapa ia menyayangiku sepenuh hati. Tuhan memang Maha Perencana, begitu ucap syukurku saat terkenang peristiwa itu.
Keesokan harinya, di kala pagi, ketika aku masih lelap dalam mimpi dan dibuai udara dingin, Kakek perlahan membangunkanku. Saat kusadar, kucium aroma wangi dari tubuhnya.
“Cung, bangun. Sebentar lagi subuh. Kita harus bergegas ke surau,” begitu ucap Kakekku.
Aku kebingungan. Masih tak kuasa mencerna kalimatnya. Namun aku tak ambil pusing. Aku mengikuti kalimatnya, aku pun membersihkan diri dan bergegas mengambil wudhu. Saat keluar dari kamar mandi, kudengar adzan subuh berkumandang menyayat hati, aku tahu itu suara Bapak si Toing.
Kami berdua melangkah cepat menuju surau, dan memang seperti kata ustad Basyar, kita harus bergegas memenuhi panggilan Tuhan, dan panggilan Tuhan di dunia ini salah satunya adalah adzan. Panggilan untuk shalat, panggilan untuk kemenangan, panggilan untuk menuju kebahagiaan. Sesampai di surau, Kakek melangkah sambil memandangi ornamen surau seakan ia merindukan sesuatu, dan ia pun terharu. Apalagi ketika kemudian Ustad Basyar bergegas menyongsongnya,
“Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah.”
Hanya kalimat itulah yang lirih kudengar dari ustad Basyar saat memeluk Kakekku. Mereka berdua kemudian memandangku dan tersenyum,
“Gusti Allah menitipkan anugerah terbaik buatku, Ustad. Terima kasih telah membimbingnya,” ujar Kakek yang beralih menatap Ustad Basyar.
“Alhamdulillah, alhamdulillah,” Ustad Basyar mengangguk pelan sembari memandang haru Kakek.
Kuingat hari itu adalah hari bersejarah bagiku lantaran kuanggap Tuhan menjawab doaku. Aku ingat betul. Tiap ekspresi wajah yang dipancarkan Kakek tak mungkin kulupakan. Hari itu adalah hari yang dilimpahi keberkahan. Kata tetanggaku kemudian, Kakek sudah berdamai dengan Tuhan. Semoga memang demikian adanya.
Setahun kemudian, Kakek menderita sakit. Sakitnya kurasa parah karena Kakek tak pernah sakit terus-menerus selang dua minggu lamanya. Punggungnya terus berguncang karena batuk. Keriput di wajahnya kian jelas. Namun yang kutakjub, di tengah fisiknya yang melemah, wajahnya seolah memancarkan cahaya, tak nampak sedikitpun kekhawatiran ataupun kemurungan seperti sebelum menunaikan shalat lima waktu. Bahkan, selama beliau mampu bangkit, Kakek memohon padaku agar menuntunnya ke surau. Ustad Basyar sempat mencegahnya ke masjid, beliau tak tega dengan kondisi Kakek yang acapkali memaksakan diri. Namun Kakek mengatakan jika ia ingin menjaga janjinya dengan Tuhan. Ia tak ingin mencederai perdamaiannya dengan Tuhan,
“Saya mesti menunjukkan niatan yang baik kepada Gusti Allah,” begitu kata Kakek.
“Tapi panjengengan sudah berlebihan,” timpal Ustad Basyar
“Biarlah, Ustad. Biar kali ini masa lalu saya tebus sepenuh hati, saya tak mungkin mengingkari jika umur saya seperti daun layu yang siap jatuh, lantas kapan lagi jika tidak sekarang. Saya khawatir kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir buat saya,” begitu kata Kakek.
Kakekku, lelaki tua yang menyayangiku, yang bermata menyipit seperti daun belimbing, yang bertubuh kurus, tinggi cenderung melengkung, menemui Tuhannya di usianya ke 79, di kala ia sujud, di surau saat shalat subuh. Aku menangis, Ustad Basyar menangis, seluruh jamaah menangis. Saat itulah kurasa hidupku kian sepi, namun Ustad Basyar memelukku dan menatapku haru.
“Kunadi, Kakekmu telah berpulang. Percayalah dengan niat baik Tuhan bahwa kakekmu telah cukup mendidikmu.”
“iya, Ustad.”
“Kakekmu orang baik, dia akan terus dikenal sebagai lelaki yang baik.”
“iya, Ustad.”
“Hidayah memang datang dari langit, bisa lewat proses panjang, bisa lewat jalan singkat. Kakekmu setahun lalu pernah bercerita padaku jika kamu pernah memaksanya menceritakan kisah Nabi Sulaiman. Ketahuilah, Kun. Saat itu Kakekmu bersedih, ia tak bisa menceritakan kisah para nabi kepadamu lantaran ia tak tahu,” Ustad Basyar menarik nafas. Ingatanku menaut peristiwa setahun lalu.
“Ia kemudian menemuiku, Kun. Meminta diceritakan kisah para nabi yang belum kuceritakan kepadamu, mungkin karena kisah-kisah itu dia tergugah. Kakekmu masih sering mendongeng buatmu, Kun?”
“iya, Ustad. Masih. Bahkan tadi malam.”
“Kakekmu sangat menyayangimu, Kun,” kalimat Ustad Basyar terdengar bergetar.
Sejak saat itu, kumantapkan niatku untuk meyakini jika Tuhan menyiapkan rencana indah buatku di masa depan, seperti esensi dari kata-kata Ustad Basyar ketika menghiburku. Dan kini setelah dewasa, aku pun telah membuktikannya.
Melihat deretan karya yang telah kuhasilkan, saat berdiri di sela selasar panjang rak-rak toko buku, rasa-rasanya terngiang kembali dongeng demi dongeng yang pernah diceritakan Kakekku. Aku terharu.
“Maaf, Pak. Ini novel Bapak, bukan?” Sosok perempuan muda tiba-tiba berdiri di sebelahku. Aku sedikit terkejut. Di bibirnya tersungging senyum penasaran, telunjuknya menunjuk kover novel. Tatap matanya kemudian menilik deretan buku yang terpajang di rak-rak.
“Oh, iya. Ini buku saya,” jawabku lembut. Aku salut keramahannya. Senyumnya seketika mengembang sembari bola matanya berbinar.
“Great, ternyata dugaan saya benar, saya tak menyangka bisa ketemu Bapak disini,” ujarnya antusias. Ia lantas tertawa tak percaya.
“Saya suka novel Bapak. Tapi saya jauh lebih suka cerpen-cerpen yang Bapak tulis. Intuisinya murni. Karakternya kuat. Gaya penceritaannya ..mmm .. asyik, susah membedakan apakah tulisan itu real atau cuma imajinasi. Inspiratif, menyegarkan,” ujarnya antusias.
Perempuan itu lantas menghujaniku dengan pujian, juga pertanyaan. Tentang keberadaan intuisiku yang dirasanya melimpah, tentang proses kreatif, hingga pertanyaan seputar tempat favoritku ketika menulis. Ah, rasa-rasanya gambaran perspektifnya tentang diriku sangatlah berlebihan. Perempuan muda itu lantas membeli kumpulan cerpen terbaruku, ia memintaku membubuhkan tanda tanganku.
“Kalau boleh bertanya, siapa orang yang paling berpengaruh dengan proses kreatif Bapak?” tanyanya saat menungguku membubuhkan tanda tangan.
“Kakek,” jawabku yang tersenyum.
“Apa beliau mengajari Bapak teknik menulis?”
“Oh, tentu tidak. Kakek saya seorang yang buta huruf,” jawabku,
Gerak mata perempuan di depanku seolah ingin tahu lebih lanjut. Tatap matanya menunggu.
“Tapi meski Kakek buta huruf, beliau adalah pendongeng terbaik yang pernah saya jumpai sepanjang hidup. Mungkin karena kisah-kisah yang beliau ceritakan kepada saya menjelang tidur yang menyebabkan imajinasi saya terlatih sejak kecil.”
Aku tersenyum bangga, ia tersenyum tak percaya, tapi memang begitulah adanya.
***
Maret 2010, Bangil
Emil W.E, Seorang penikmat sastra, anggota forum diskusi sastra “Bengkel Imajinasi”, anggota Adventurers and Mountain Climbers (AMC 1969) Malang, kini tinggal di kampung kecil di Jawa Timur sehabis menekuni profesinya sebagai urban di Jakarta. Gemar menulis di alam bebas, karya-karya yang sudah dipublikasikan di antaranya puisi dalam buku antologi puisi untuk Munir, antologi empati Jogja, Malang Post, cerpen-cerpennya tersebar di oase kompas, beberapa tulisan cerpennya bisa dinikmati di www.emilwe.wordpress.com
Sumber: http://oase.kompas.com