Cerpen Venny Mandasari
Hanifah mempunyai tiga anak, masih kecil-kecil. Si sulung Chania, berumur lima tahun. Sejak berumur empat tahun Hanifah sudah mengajarkan Chania mencuci piring, menyapu lantai, dan menjaga kedua adiknya jika Hanifah pergi bekerja. Chania anak yang sangat pintar. Hanifah bekerja mencuci dan menggosok dari rumah ke rumah.
“Mak, Chania capek,” keluh Chania setelah pagi-pagi dia bangun, mencuci piring, memandikan kedua adiknya, dan menyapu lantai. “Hari ini Chania nggak usah jaga adik ya?” pinta Chania, memelas. Baru kali ini dia berani menolak ibunya. Kedua adiknya sangat penurut padanya, cuma yang kecil sangat lincah. Chania lelah mengejarnya ke sana ke mari.
“Chania mau, kita nggak makan?” tanya Hanifah, lembut. Dia sedang memasak.
Chania terdiam memandangi kedua adiknya yang sedang bermain. Chania sangat berakal. Chania tidak ingin, dia dan kedua adiknya kelaparan. Kemudian dia menggeleng lemah.
“Ayah kan kerja, Mak. Kenapa Mamak juga harus bekerja?” cempreng suara Chania. Dari subuh Ayah Chania sudah pergi dan pulangnya sore. Ayahnya buruh bangunan.
“Gajinya tidak cukup, Chan.” Hanifah menatap Chania, kasihan, tapi cuma sebentar. “Mamak sudah siap masak. Mamak pergi, ya,” kata Hanifah buru-buru. “Jaga adikmu baik-baik,” teriaknya di daun pintu.
Lukman, adiknya yang kecil menangis melihat ibunya pergi. Chania membujuknya agar diam. Di usianya yang masih kecil, Chania sangat pintar mengurus adik.
“Ana Mak, Kak?” tanya adiknya, Della yang cadel.
“Kerja,” jawab Chania sambil menggendong Lukman.
“Jam belapa pulang na?”
“Nanti sore, Del. Sibuk kali pun Della ini!” bentak Chania dengan suara terengah-engah karena keberatan menggendong Lukman, bercampur kesal karena pertanyaan Della.
Della tampak tidak peduli dimarahi kakaknya. Dia tetap bermain.
“Della...!” panggil tiga orang anak seusia Della dan Chania.
“Apa?” suara kanak-kanak Della sangat lembut. Dia bangkit dari duduknya.
“Main, yuk?” Ketiga temannya membawa boneka. Ada boneka panda, kelinci, dan patung. Della segera mengambil boneka teddy-nya yang sudah kusam, boneka bekas, yang ditemukan ibunya.
“Kak, Della main ya?” kata Della pada Chania. Chania mengangguk, tersenyum tipis.
“Jangan jauh-jauh ya!” teriaknya pada Della kemudian. Dilihatnya punggung Della dan teman-temannya sampai menghilang. Matanya berkaca-kaca. Dia ingin sekali bermain bersama mereka, tapi waktunya tidak ada.
Mungkin inilah nasibnya sebagai anak perempuan sulung. Sudah tanggung jawab Chania menjaga kedua adiknya. Neneknya, ibu dari Hanifah, sangat menyayangi Chania. Chania disarankan untuk tinggal bersama neneknya, tapi Hanifah tidak mengijiinkannya. Bersama neneknya, Chania pasti akan bahagia. Nenek Chania cuma tinggal berdua bersama kakeknya.
Seperginya Della, Chania menidurkan Lukman di ayunan.
* * *
Pulang kerja, Hanifah merebahkan badannya di kamar dengan kasur tipis tanpa tempat tidur. Kasur itu pun dia dapat dari tetangganya yang baik hati bernama Lea.
Hanifah dan Agung, suaminya, pindah hanya membawa pakaian. Hanifah kawin lari karena ayahnya tidak merestui hubungannya dengan Agung. Pekerjaan Agung tidak tetap. Hanifah dan anak-anaknya diterima di rumah orangtua Hanifah, tapi pintu mereka tertutup untuk Agung.
Lukman berlari menuju kamar, mengejar ibunya.
“Aduh, Nak. Mamak capek. Pergi sana, sama kakakmu,” Hanifah berpaling dari Lukman. “Chania!” teriaknya kemudian.
Chania akan tidur di kamarnya, saat Hanifah memanggilnya. Badannya sakit-sakit, letih, satu harian menjaga Lukman. Chania tidak menghiraukan panggilan Hanifah. Ingin rasanya dia tenang, satu hari saja tanpa perintah dari ibunya. Chania ingin seperti teman seusianya yang lain, yang waktunya hanya dihabiskan untuk bermain, bukan bekerja.
“Chania!” ulang Hanifah lagi.
Chania tetap tidak menyahut. Ditutupnya mukanya dengan bantal.
Tidak berapa lama, terdengar langkah kaki Hanifah masuk kamar Chania.
“Hey, kemana kupingmu, dipanggil dari tadi?” bentak Hanifah, menarik telinga Chania, hingga bangkit dari tidurnya. Chania sangat terkejut.
“Chania capek, Mak.” Air mata Chania langsung mengalir.
“Kau kira Mamak nggak capek, ha?!” bentak Hanifah. “Kau jaga adikmu sebentar, Mamak mau istirahat.” Hanifah menarik tangan Chania keluar dari kamar. Chania menurut, namun air matanya tetap mengalir.
* * *
“Hanifah!” teriak seseorang di pintu.
Hanifah tahu betul dengan suara itu. Segera dia bangkit dari tidurnya dengan semangat. Chania sedang mengejar Lukman yang akan ke sumur.
“Ada apa Kak Lea?” tanya Hanifah keluar dari kamar. Wajahnya dipasang seramah mungkin. Lea adalah tetangga Hanifah yang kaya, yang sering memberi mereka makanan, baju, dan uang. Lea salah seorang majikan tempat Hanifah mencuci.
“Tidur kau?”
“Tidak, golek-golek saja. Kecapekan. Maklumlah, Kak. Cari uang payah.” Muka Hanifah minta dikasihani, duduk di lantai. Lea menatapnya simpatik, ikut duduk di dekat Hanifah. Rumah Hanifah kosong melompong, tanpa kursi. Hanya ada satu meja dan tivi 14 inci.
“Lauk apa kalian tadi?”
“Tak ada. Cuma ikan asin dan sambal.”
“Ini ada ayam aku masak tadi.” Lea menyodorkan piring yang tertutup.
“Wah, terima kasih sekali, Kak.” Diambil Hanifah piring itu, lalu diletakkannya di atas meja, di samping tempat dia duduk.
Mata Hanifah tertuju pada baju Lea. “Cantik kali baju Kakak, ya. Beli dimana?” tanyanya berbasa-basi, di balik sebuah niat. Sejak gadis, Hanifah senang meminta.
“Ah, iya? Di Pasar. Ini kubeli seratus ribu.”
“Aih, mahalnya. Ingin sekali aku membeli baju, apalagi ini mau hari Raya, tapi tak ada uang. Sampai seratus ribu, manalah aku sanggup. Baju anak-anak ini lagi,” kata Hanifah memelas. Wajahnya selalu ingin dikasihani.
“Nanti kukasih uang THR mencucimu lebih dan baju ini untukmu,” ucap Lea yang tidak habis-habis rasa kasihannya terhadap Hanifah.
“Wah, terima kasih sekali lah, Kak. Baik kali Kakak ini. Tak enak hati pula aku,” balas Hanifah dengan sumringah.
***
Beberapa menit kemudian, Agung pulang. Sampai di depan pintu, dia menanyakan Lukman, anak kesayangannya. Sejak menikah, Agung sangat menginginkan anak laki-laki, namun ternyata dua anak pertama mereka adalah perempuan. Itu sebabnya Hanifah tidak dia beri ijin KB sampai akhirnya mendapat anak laki-laki. Agung sangat membenci Chania.
“Di belakang tadi, sama Chania,” jawab Hanifah.
“Oh,” jawab Agung singkat, lalu tersenyum pada Lea. Della sedang bermain di depannya, mencari perhatiannya. Mata Della mencuri-curi pandang pada Agung, sambil berbicara pada bonekanya. Agung kelihatan cuek.
“Chania!” panggil Agung kemudian. “Bawa Lukman kemari!”
Chania yang sedang mengejar Lukman di kamar mandi, gelagapan saat mendengar teriakan ayahnya. Rasa takutnya pada Agung lebih besar dari pada sama Hanifah. Lantai kamar mandi licin, dia terpleset, sementara Lukman semakin mendekati bibir sumur. Dinding sumur setinggi dada Lukman. Chania ingin berteriak memanggil ayah dan ibunya, tapi rasa takutnya lebih besar.
Sambil menunggu Chania, Agung berbincang dengan Lea dan Hanifah.
“Kemana anak itu? Lama kali.” Agung bergumam beberapa menit kemudian. “Della, coba lihat kakakmu,” katanya kemudian pada Della.
Della berjalan menuju dapur. Agung tidak sabar, lalu menyusul Della.
“Ini Bang, sekalian bawa ayam dari Kak Lea. Taruh di atas meja ya,” pinta Hanifah, melihat suaminya bangkit. Disodorkannya piring dari Lea tadi. Agung menurut. Baru dua langkah dia berjalan, terdengar suara Della di dapur.
“Mak, Kak Nia acuk umul,” teriak Della, menunjuk ke arah sumur.
Chania dan Lukman sudah tidak ada lagi di sana.
--0--
KSI Medan, Agustus 2010
Sumber: http://oase.kompas.com