Menimba Ilmu di Agrowisata Kebun Teh Jamus

Surabaya, Jawa Timur - Belasan wanita paruh baya yang mengenakan caping tampak cekatan memetik pucuk daun teh satu persatu, dan kemudian memasukan daun-daun itu ke dalam keranjang yang dilekatkan di punggungnya. Bila keranjang terisi penuh, berarti pemetik itu menghasilkan teh seberat 10 kg. Dalam sehari, dua sampai tiga kali keranjang yang diisi dengan penuh oleh para pemetik teh.

Kegiatan seperti itu nyaris terjadi setiap hari di Perkebunan Teh Jamus yang berada di Dusun Jamus, Desa Girikerto, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jatim, yang berbatasan dengan Kabupaten Sragen, Jateng.

Lokasi agrowisata teh itu justru lebih dekat dari Sragen yang hanya 40 km arah timur, sementara dari Kota Ngawi arah barat berjarak 45 km, dan bila ditempuh dari Kota Surabaya sekitar 245 km.

Perkebunan teh itu merupakan peninggalan Kolonial Belanda tahun 1886, ketika pertama kali perkebunan itu dikembangkan oleh pengusaha negeri Kincir Angin, Van der Rap. Kemudian perkebunan itu beganti pengelola beberapa kali, sampai akhirnya mulai tahun 1973 hingga kini dikelola oleh swasta nasional, PT Candi Loka.

Manajeman Candi Loka merupakan pengelola ke-13. Kebun Teh Jamus dikelola berdasarkan SK Hak Guna Usaha (HGU) terbaru No. 12/HGU/BPN/2001 dengan luas areal 478,2 hektar. Lahan perkebunan yang berada di ketinggian 800 hingga 1.200 mdpl itu tergolong jenis andosol dan regosol. Curah hujan rata-rata di Jamus 2.500 mm/tahun dengan suhu berkisar 18-20 derajat celcius serta kelembaban 80-90 persen.

Kondisi seperti in menjadikan kawasan Jamus menjadi obyek agrowisata yang menawan dan nyaman serta sering dikunjungi wisatawan.

Menurut pimpinan Perkebunan Teh Jamus Purwanto WP, dari lahan seluas 478,2 ha yang ditanami teh 418 ha, dan sisanya ditanami beragam pohon penghijauan. Sehingga lokasi yang dijadikan areal wisata di kawasan Jamus menjadi teduh akibat rindangnya aneka pohon kayu-kayuan yang ditanam pengelola maupun yang tumbuh alami yang berusia seratus tahun lebih.

Di sana ada pohon kantil raksasa berusia 100 tahun lebih yang berada di dekat gerbang tempat rekreasi. Monumen alam itu tetap dilindungi. Dengan keberadaan pohon itu Perkebunan Teh Jamus mendapat penghargaan Kalpataru pada 2004, atas kepeduliannya menjaga lingkungan hidup.

Agrowisata Kebun Teh Jamus, selain menawarkan pemandangan menawan, juga memberikan nilai pendidikan dengan memberikan kesempatan pengunjung menyaksikan langsung kegiatan perkebunan, mulai menanam, memetik daun teh, hingga proses pengolahan teh sampai pengemasannya untuk siap jual.

Pengelola juga menyediakan pemandu yang memberikan penjelasan secara seluruhan proses teh di perkebunan yang setiap bulan menproduksi 40 ton sampai 50 ton bahan baku teh hijau dan hitam untuk pabrik teh kemasan yang produksnya juga dikirim ke sejumlah negara, seperti Inggris dan Belanda.

Perkebunan Teh Jamus menyajikan segala yang ada secara alami dan “kuno”, sehingga di sana tidak akan dibangun resort atau hotel. Tapi, Pemkab dan pengelola berupaya memberdayakan masyarakat sekitar, dengan menyiapkan home stay.

“Kami tidak akan memberikan izin pendirian hotel atau resort di Jamus. Wisatawan cukup menginap di rumah penduduk yang kini sedang kita tata pengelolaannya,” kata Bupati Harsono.

Dari Kota Ngawi menuju Perkebunan Teh Jamus sejauh 45 km, kini mudah dan nyaman untuk ditempuh, karena jalan beraspal mulus sudah dibangun oleh Pemkab Ngawi, dua bulan lalu.

Bukit Borobudur

Salah satu bukit yang tertutup pohon teh di kawasan Perkebunan Teh Jamus menjadi obyek wisata menarik, karena bentuknya yang menyerupai candi Borobudur, sehingga dikenal sebagai Bukit Borobudur.

Bukit setinggi 35,4 meter tersebut dengan luas areal 3,54 ha ditumbuhi 35.400-an pohon teh. Jika dilihat dari kejauhan, rimbunan pohon teh berundak tersebut memang mirip dengan Candi Borobudur.

Di puncak Bukit borobudur itu tersisa beberapa pohon teh tua yang sengaja tidak dipangkas, yang tingginya rata-rata dua meter. Inilah pohon teh yang berusia lebih dari 100 tahun, merupakan pohon teh generasi pertama yang ditanam Van de Rap.

Pemandangan hamparan kebun teh dan para buruh wanita paruh baya penduduk Desa Girikerto memetik teh pagi hingga siang hari, matahari terbit maupun tenggelam, tampak menawan dilihat dari puncak Bukit Borobudur.

Untuk mencapai Bukit Borobudur, pengunjung harus berlelah ria menapaki 117 anak tangga terbuat dari tumpukan batu kali yang tersusun rapi.

Di kawasan rekreasi berhawa sejuk yang mengenakan karcis masuk hanya Rp2.000 per orang itu terdapat fasilitas kolam renang yang diperuntukan bagi anak-anak, yang airnya berasal dari sumber mata air alami Sumber Lanang.

Airnya terasa dengan suhu berkisar 15-22 derajat celcius. Konon, banyak warga setempat percaya bahwa air Sumber Lanang yang bisa langsung diminum tanpa dimasak dulu membuat awet muda.

“Saya dulu ketika menjadi Kepala Puskesmas Sini sering datang ke sini dan minum air sumber ini. Nyatanya, kini saya bisa jadi bupati,” kata dr Harsono, Bupati Ngawi dua periode itu sambil terbahak.

Menurut dia, air dari Sumber Lanang pernah diteliti di laboratorium, hasilnya air mengandung mineral lain, sehingga bisa menyehatkan tubuh. “Ini ilmiah lho,” ucap Harsono menyakinkan.

Purwanto menambahkan, debit air Sumber Lanang 90 liter per detik. Berdasarkan potensi itulah, pihaknya selain mengelola kebuh teh juga memanfaatkan sumber daya air untuk pembangkit listrik mikrohidro yang menghasilkan listrik 90 ribu watt.

Selain itu, sumber air ini manfaatnya dirasakan oleh warga yang membutuhkan air bersih. Air diatur pengalirannya melalui pipa menunju Stasiun Pengisian. Setiap hari 150 tangki, setiap tangki 8.000 liter, mampu didistribusikan dengan harga jual setiap tangki Rp25.000.(*an/z)

-

Arsip Blog

Recent Posts