Strategi Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Menjelang Afta 2003

Oleh Meutia Hatta Swasono*

Pendahuluan
Menjelang pelaksanaan AFTA 2003 yang telah semakin dekat ini, dunia pariwisata Indonesia menghadapi tantangan berat, baik di bidang stabilitas keamanan, tantangan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tantangan ini makin dirasakan sejak awal terjadinya krisis moneter menjelang akhir tahun 1997, bahkan hingga kini pun masih terasa dampaknya. Kerusuhan demi kerusuhan keji yang melanda segala penjuru tanah air memperparah kondisi ini, sehingga sejumlah daerah yang memiliki banyak potensi wisata dan kegiatan pariwisata mengalami penurunan drastis dalam jumlah kunjungan wisatawan asing maupun domestik.

Dengan keterpurukan ekonomi nasional saat ini, terutama sebagai akibat beratnya beban hutang luar negeri, maka usaha usaha ekonomi berbasis kekuatan dalam negeri mulai menjadi harapan. Salah satunya adalah obyek obyek pariwisata yang tersebar di seluruh Indonesia. Kini insan insan pariwisata Indonesia harus mampu mencari strategi strategi yang tepat untuk mengatasi hambatan bisnis ekonomi maupun hambatan politik dan budaya dari luar untuk maju menjadi salah satu peluang dan alternatif, paling sedikit dengan tujuan mencegah pariwisata Indonesia menjadi mundur ke belakang.

Strategi atau langkah langkah apakah kiranya di dalam kepariwisataan yang perlu dilakukan, khususnya untuk ikut menggairahkan ekonomi dalam negeri dan pula untuk menyongsong AFTA 2003?

Tantangan Budaya vs Tantangan Ekonomi
Pengembangan pariwisata Indonesia hendaknya tidak terlepas dari arah pengembangan kebudayaan nasional Indonesia. Dengan kata lain, dalam kebudayaan nasional itulah hendaknya terletak landasan bagi kebijakan pengembangan pariwisata.

Kebudayaan nasional merupakan wadah pembentukan karakter dan sikap bangsa Indonesia, yang akan membuat lebih mampunya bangsa ini dalam menghadapi tantangan kehidupan dari waktu ke waktu. Pembinaan kebudayaan nasional ditujukan untuk menjawab pertanyaan, "bangsa semacam apa yang kita inginkan bagi bangsa Indonesia? Karakter nasional semacam apa yang harus dimiliki bangsa Indonesia di masa depan?" Kita telah sepakat bahwa Indonesia menjadi jaya dan indah berdasarkan dinamika pluralisme, tetapi kukuh menjadi satu sebagai keluarga besar dalam kebersamaan dan mutualitas Bhinneka Tunggal Ika. Dari sinilah kita menjadi bangsa yang secara politis mampu mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya, tanpa kecuali melaksanakan politik internasional 'bebas aktif', yang secara ekonomi mampu mandiri dan yang secara budaya mampu membangun dan memperkokoh kepribadian nasional". Dengan demikian bangsa ini akan mampu menjadi tuan di negerinya sendiri. Dalam konteks inilah maka pengembangan pariwisata harus dilakukan agar tidak mengorbankan cita cita pembangunan karakter bangsa.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI menyatakan sebagai visinya bahwa pembangunan kebudayaan dan pariwisata mendorong upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan persatuan bangsa, serta meningkatkan persahabatan antarnegara.

Pengembangan pariwisata Indonesia telah tercermin dalam rencana strategi yang dirumuskan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, yakni: (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan membuka kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta pemerataan pembangunan di bidang pariwisata; (2) mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkesinambungan sehingga memberikan manfaat sosial budaya, sosial ekonomi bagi masyarakat dan daerah, serta terpeliharanya mutu lingkungan hidup; (3) meningkatkan kepuasan wisatawan dan memperluas pangsa pasar; dan (4) menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan pariwisata Indonesia sebagai berdayaguna, produktif, transparan, dan bebas KKN untuk melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dalam institusi yang merupakan amanah yang dipertanggungjawabkan (accountable). Demikianlah pandangan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Penulis berpendapat bahwa pengembangan pariwisata Indonesia harus didahului dengan pemahaman mengenai berbagai tantangan dan hambatan yang harus dihadapi dalam merencanakan dan melaksanakan pengembangan pariwisata Indonesia tersebut. Sedikitnya ada tiga tantangan yang dapat dikemukakan di sini, sbb:

Pertama, dunia pariwisata Indonesia masih selalu menghadapi tantangan berupa tuntutan dan selera wisatawan dan investor asing di bidang pariwisata yang tidak seiring dengan tujuan menjaga kelestarian unsur unsur budaya masyarakat setempat maupun ekologi atau lingkungan alam setempat.

Kedua, masih adanya kenyataan bahwa nilai tambah ekonomi dari pengembangan pariwisata lebih besar jatuhnya ke tangan investor asing daripada kepada rakyat setempat.

Ketiga, masih adanya pola pikir "searah" yang melandasi hubungan antara pihak "tuan rumah" (Pemda dan penduduk) dan pihak "tamu" (wisatawan dan investor), padahal yang seharusnya adalah yang bersifat "timbal balik".

Menggugah Kehati-hatian Daerah
Berkenaan dengan tantangan pertama di atas, hal ini menuntut kewaspadaan dari Pemerintah Daerah dalam memadukan antara kemampuan daerah dan kebutuhan wisatawan. Dengan kata lain, kepentingan wisatawan memang tidak boleh terabaikan, namun sebaliknya, tuntutan dan minat pariwisata mereka pun tidak boleh merusak daya tarik utama daerah wisata Indonesia, baik yang berupa ekologi, obyek obyek wisata (termasuk peninggalan sejarah), adat istiadat serta kesenian setempat yang khas.

Telah dinyatakan di atas bahwa pengembangan pariwisata Indonesia harus seiring dengan upaya memperkokoh kepribadian nasional Indonesia. Maka insan pariwisata perlu menjaga untuk tidak memperjualbelikan unsur unsur seni budaya secara "kodian" yang cenderung menyederhanakan (over simplification), sehingga mematikan keunikan dan mendorong degradasi dari mutu seni budaya itu sendiri. Dengan kata lain, unsur unsur kebudayaan lokal, terutama kesenian lokal sebagai daya tarik wisata, tak seharusnya diperjualbelikan secara "murah" untuk sekedar memenuhi selera sesaat dari para wisatawan. Sebaliknya hal itu perlu dilihat dari segi jangka panjangnya, yakni bahwa kekhasan budaya lokal itu justru merupakan modal dasar jangka panjang untuk memberi substansi kepada manifesto budaya kita, "Bhinneka Tunggal Ika", yang harus tetap dipertahankan. Seni budaya lokal yang khas itu bahkan perlu dimatangkan melalui proses improvisasi dan pengayaan (enrichment), agar tetap akan menjadi daya tarik bagi para wisatawan, yang pasti juga akan makin menuntut kualitas akibat tajamnya persaingan internasional. Dengan cara itulah maka kepentingan kepariwisataan dapat menjadi sinkron dengan kepentingan mematangkan dan memperkokoh kepribadian nasional. Dengan kata lain, pariwisata, di samping sebagai obyek ekonomi bisnis, juga merupakan bagian dari strategi mencapai puncak puncak budaya daerah, untuk lebih memberi makna kepada pluralisme Indonesia.

Tantangan yang kedua menuntut penanganan oleh Pemda agar pengembangan sarana dan prasarana pariwisata tidak mengakibatkan tergusurnya (marginalisasi atau disempowerment) terhadap kepentingan masyarakat setempat, serta mengakibatkan pendapatan pariwisata lebih banyak dinikmati oleh investor asing daripada oleh masyarakat. Untuk itu perlu dicegah kemungkinan tentang lebih banyaknya penghasilan (nilai tambah) yang kembali ke pemilik modal asing daripada kepada masyarakat, di mana bagi masyarakat hanya sedikit tertinggal kerja rendahan, bukan pada tingkat manajerial. Manajemen yang masih dominan dipegang oleh ahli asing akan menyebabkan bangsa kita masih tetap dalam posisi sebagai "pekerja", bukan sebagai pengambil keputusan, sehingga hanya akan menjadi partisipan pasif saja terhadap berbagai kebijakan pengembangan yang diambil.

Makin besarnya bahan bahan impor (import content) dalam penjualan cinderamata dan makanan, atau makin besarnya pemasaran obyek wisata yang diperoleh pihak luar (pemilikan saham saham mayoritas hotel oleh investor asing), akan menyebabkan keuntungan lebih banyak jatuh ke tangan investor asing, bukan kepada bangsa Indonesia.

Membiarkan keuntungan lebih banyak jatuh pada pihak asing akan mengakibatkan bangsa kita dari segi bisnis pariwisata masih sulit untuk menjadi tuan di negerinya sendiri, yang akan bertentangan dengan landasan kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI.1 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI telah menggariskan bahwa pengembangan pariwisata diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan membuka kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta pemerataan pembangunan di bidang pariwisata.

Tantangan ketiga berkenaan dengan kualitas sumber daya manusia, khususnya mengenai landasan pola pikir dalam melihat kegiatan pariwisata oleh masyarakat setempat ybs. Hingga saat ini masih banyak ditemukan adanya tingkat pengetahuan, pemahaman dan kesiapan masyarakat setempat yang masih rendah dalam menerima kegiatan pariwisata dan pengembangannya. Masyarakat di banyak daerah di berbagai penjuru tanah air masih banyak yang belum memahami bahwa dengan menerima kunjungan wisatawan di daerahnya, Pemda dan masyarakat setempat pun bertanggungjawab untuk memberikan kemudahan dan rasa aman bagi wisatawan dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman baik dari perjalanan wisata yang dinikmatinya.

Artinya, jika wisatawan telah setuju untuk membayar mahal untuk dapat menikmati obyek wisata tertentu, maka Pemda dan masyarakat setempat perlu memberikan "respons" yang mendukung rasa aman maupun ketenangan yang diperlukan wisatawan untuk dapat menikmati obyek obyek wisata yang tersedia. Hal ini termasuk lingkungan yang bersih, aman, serta kualitas unggul dari obyek wisata dan atraksi budaya yang disajikan. Melalui cara itu, citra negara dapat ditingkatkan, dan kesan baik bangsa lain terhadap bangsa kita dapat ditumbuhkembangkan.

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri
Landasan pola pikir yang diperlukan dalam pengembangan dunia pariwisata adalah pola pikir yang berorientasi pada kebersamaan (mutuality). Hal ini harus ditanamkan sebagai salah satu kebijakan dalam pengembangan kebudayaan nasional Indonesia.

Sejak beberapa waktu yang lalu, orientasi kepada persaingan seringkali ditanamkan. Memang persaingan yang sehat, di mana tiap komponen usaha pariwisata meningkatkan kualitasnya secara alami sehingga berhasil baik dan dengan sendirinya akan mengalahkan sesamanya yang tidak bermutu, merupakan hal yang wajar. Persaingan sehat semacam itu bahkan perlu dihargai untuk meningkatkan kualitas pariwisata Indonesia. Namun persaingan tidak sehat, yang cenderung saling mematikan, tidak diharapkan adanya karena justru dapat mengakibatkan konflik yang mendorong kemunduran bagi dunia pariwisata kita.

Sebaliknya, melalui pola pikir kebersamaan dan kerjasama, banyak kemajuan akan dapat dicapai oleh dunia pariwisata. Di tingkat praktek, landasan pola pikir yang berorientasi pada kebersamaan dan kerjasama dapat ditunjukkan, misalnya, dalam pemberian izin operasional pada berbagai sarana pembangunan sarana sarana pariwisata yang baru. Pemberian izin usaha biro perjalanan wisata dan hotel harus diupayakan untuk bisa meningkatkan kerjasama antara jenis jenis usaha pariwisata itu sebagai suatu kekuatan bersama (yang bersinergi) dalam membangun pariwisata Indonesia agar mampu menjadi tuan di negerinya sendiri. Dengan cara itu dapat pula dikurangi ketergantungan insan pariwisata kita pada selera dan kepentingan pihak asing (wisatawan dan investor).

Dalam pola pikir yang sama, sebagai contoh lain, adalah pemberian izin bagi sarana transportasi baru, misalnya maskapai penerbangan baru (yang kelak mungkin berjumlah banyak dan sebagian mungkin pula merupakan usaha patungan dengan modal dan tenaga ahli asing). Izin tersebut harus diatur untuk tidak menyebabkan kerugian bagi national carrier Garuda Indonesia yang wajib kita banggakan sebagai aset nasional. Melalui orientasi kebersamaan dan kerjasama, usaha maskapai penerbangan swasta harus diatur agar dapat melengkapi jalur penerbangan Garuda, agar maju bersama demi kemajuan seluruh bangsa dan negara.

Penggunaan jenis jenis pesawat kecil yang mampu menjangkau pelosok tanah air yang terpencil harus diatur pula berdasarkan pola kerjasama yang dilandasi konsep pemerataan pembangunan nasional. Orientasi kebersamaan dan kerjasama antara Garuda dan berbagai maskapai penerbangan maupun dengan sarana angkutan darat, laut dan sungai, dalam praktek dapat menumbuhkan jaringan kerjasama yang lebih besar, tidak saja yang dapat menunjang perkembangan dunia pariwisata Indonesia, melainkan juga program program pembangunan nasional lainnya di lokasi lokasi yang selama ini belum cukup terjangkau oleh program program pembangunan.

Dengan demikian, rakyat kecil di berbagai daerah terpencil di mana pun di seluruh penjuru tanah air, dapat tersentuh oleh tangan tangan pembangunan nasional. Hal ini tidak saja akan bisa mengurangi perasaan ketidakadilan yang muncul karena tidak merasa menikmati hasil pembangunan, sebaliknya akan dapat mengembalikan rasa persatuan dan solidaritas antar sesama bangsa, yang selama ini terasa hilang dari kalbu anak bangsa.

Otonomi Daerah Bukan Chauvinisme dan Eksklusivisme
Salah satu bidang perhatian utama dunia pariwisata Indonesia akhir akhir ini adalah persoalan otonomi daerah dalam pariwisata. Kiranya otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik jika pembangunan daerah tidak dilandasi oleh orientasi dan pola pikir kebersamaan dan kerjasama pula, artinya pluralisme daerah dalam dinamika konvergensi nasional.

Kebersamaan dan kerjasama antara Pemda, antara Pemda dan Pemerintah Pusat, juga harus berorientasi pada pola pikir membangun seluruh bangsa Indonesia, bukan sekedar membangun rakyat lokal. Mustahil tercapainya keberhasilan otonomi daerah yang masih dilandasi oleh orientasi pola pikir persaingan dan orientasi penguasaan (sumber daya alam dan sumber daya manusia) di antara propinsi, termasuk pantai dan lautannya, yang masih menunjukkan adanya persaingan antar pejabat daerah, antar sesama pejabat dan juga antar sesama rakyat lokal. Otonomi daerah adalah demokratisasi daerah, wadah bagi "otoaktivita" daerah, suatu tanggungjawab daerah membangun diri sendiri dalam konteks nasional. Otonomi daerah bukanlah suatu chauvinisme daerah, apalagi eksklusivis-me daerah ataupun isolasi daerah.

Berbagai kerusuhan yang melanda tanah air kita, yang terwujud dalam pertikaian berdarah yang keji antara sesama rakyat lokal, pada dasarnya telah dilandasi oleh ketidakadilan dalam penanganan tuntutan kebutuhan, maupun penanganan atas hambatan budaya yang dialami kelompok masyarakat lokal yang berbeda beda dalam menangkap peluang yang tersedia di daerah setempat.

Hal ini pula yang perlu diperhatikan dalam pengembangan dunia pariwisata di era otonomi daerah. Hambatan budaya yang dialami oleh masyarakat lokal dalam menangkap peluang bisnis pariwisata, maupun potensi budaya yang unggul pada sekelompok warga masyarakat setempat tertentu, perlu diidentifikasi, dipahami dan ditangani dengan segala kepekaan budaya secara tepat dan bijaksana.

Pemberian kesempatan pada pihak yang unggul perlu diimbangi secara bijaksana dengan bantuan terhadap pihak yang lemah dalam menangkap peluang binis pariwisata yang tersedia. Kelemahan pada pihak masyarakat asli perlu ditangani agar dari pihak mereka tidak muncul kecemburuan sosial yang memicu kerusuhan, akibat keunggulan pihak pendatang yang lebih mampu menatap ke masa depan melalui peluang bisnis pariwisata setempat yang mampu mereka identifikasi. Dengan memahami berbagai potensi dan hambatan kultural yang ada pada warga masyarakat setempat dalam ruang lingkup upaya pembangunan otonomi daerah, maka potensi potensi wisata dalam rangka pengembangan wisata Indonesia akan dapat direalisasikan secara lebih baik.

Penutup
Sebagai penutup dapatlah dikemukakan bahwa strategi pengembangan pariwisata Indonesia perlu diarahkan untuk menjadikan bangsa kita menjadi tuan di negerinya sendiri. Untuk itu maka pembangunan dan pengembangan pariwisata Indonesia tidak boleh terlepas dari pembinaan kebudayaan nasional yang terarah pada pembangunan karakter dan sikap bangsa yang penuh kemandirian di bidang politik, ekonomi dan budaya, dan memiliki kepribadian nasional yang kokoh. Tentu hal ini akan lebih mudah digariskan apabila lembaga perencanaan nasional seperti Bappenas misalnya mampu menetapkan strategi kebudayaan nasional secara tegas.

Prinsip menjaga kelestarian budaya dan lingkungan alam bangsa harus tetap menjadi prioritas dalam pengembangan pariwisata Indonesia. "Membayar mahal" oleh wisatawan, khususnya wisatawan asing, tidak boleh berarti bahwa batasan batasan dalam penjagaan kekayaan alam dan budaya bangsa Indonesia boleh mereka langgar. Di sinilah harga diri dan martabat Pemda setempat dipertaruhkan. Pemda harus mampu bertindak sebagai "tuan di negeri sendiri" dalam pengembangan pariwisata, dan tidak tunduk kepada tuntutan luar yang tidak sesuai dengan penjagaan dan kepentingan kekayaan nasional kita. Masalah ini memang sudah lama disadari, namun dalam praktek masih selalu belum berlaku sesuai dengan yang cita cita idealnya. AFTA 2003 akan membawakan semangat persaingan bebas dari pihak luar negeri yang harus diwaspadai oleh kita di dalam negeri. Kita tidak seharusnya semata mata terdikte oleh kepentingan dan selera pihak "tamu" (wisatawan dan investor asing).

Pemda Pemda perlu memahami, bahwa investasi modal asing tidak selalu memberikan sumbangan nilai tambah ekonomi yang memadai terhadap ekonomi daerah. Investasi modal asing yang tidak cukup memberikan keterlibatan masyarakat (struktur pemilikan saham, pendayagunaan SDA dan SDM dalam negeri dll) akan tidak memberi makna ekonomi yang memadai kepada Pemda dan masyarakat setempat.

Kerjasama antar daerah, yang masing masing memiliki keunikan khusus untuk kepariwisataan, sangat diperlukan. Persaingan tidak sehat antar daerah pariwisata harus bisa ditransformasi menjadi suatu sistem kerjasama program dan kegiatan. Otonomi daerah bisa disinkronkan dengan usaha pembangunan dan pengembangan daerah. Pariwisata diarahkan pula sebagai bagian dari strategi budaya nasional untuk mematangkan budaya budaya daerah, sehingga mencapai puncak puncaknya (Pasal 32 UUD 1945) dan memperkukuh identitas nasional dan daerah. Seperti telah diutarakan di atas, otonomi daerah bukanlah chauvinisme daerah, apalagi eksklusivisme daerah. Kerjasama antar daerah berdasarkan kebersamaan (mutualitas) adalah sarana mencapai konvergensi nasional.

Kita perlu segera melakukan pemetaan nasional secara lengkap berdasar berbagai kategori dan kualifikasi baik dari segi permintaan (wisatawan) maupun penawaran (obyek wisata) untuk menyusun langkah langkah praktis di lapangan.

*Dr. Meutia Farida Hatta Swasono adalah mantan Ketua Jusuran Antropologi FISIP UI, saat ini menjabat Ketua Program D III Pariwisata FISIP UI. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah diajukan pada "Seminar Pariwisata Indonesia 2001", Program D III Pariwisata FISIP UI, Jakarta 7 Maret 2001-red.

-

Arsip Blog

Recent Posts