Cerpen Benny Arnas
Dimuat di Suara Merdeka
Pesawat itu tinggal landas. Menyusur langit yang membentang biru keputihan. Ah, adakah yang peduli dengan apa yang mengeriap dalam diriku? Memang, hidup ini bukan tentang peduli-memeduli. Bukan juga tentang rasa yang makin dibunuh makin menyuluh. Aku tak akan menyeret Yusuf dalam khidmatnya perasaan ini karena laki-laki itu memang tak tampan. Muhammad? O, aku tak mau kualat membawa-bawa suami Khadijah itu; ia hanya lelaki—yang sangat—biasa. Sungguh, aku tak lelah berharap bahwa ini bukan tentang ketakaburan, keberlebihan dalam mencuatkan perasaan.... Ya, demi Tuhan, takkan ada yang menyaingi cintaku padanya. Takkan! Siapapun itu. Sebelum maupun setelah zaman aku memantik perasaan itu!
***
Takkan ada yang melebihi cintanya padaku. Aku tahu dia hanya wanita biasa. Ibu rumah tangga yang melakoni perannya dengan biasa pula. Namun, adalah adil bukan, bila kunyatakan bahwa hanya 0,99% saja wanita kota yang menjalankan peran sebagaimana mestinya! Bukankah, bagi wanita kini, karir menjadi sesuatu yang mesti dikedepankan, mengalahkan segalanya? Memang, ini terkesan memukul rata. Namun, paling tidak, aku ingin menegaskan bahwa, bagiku, ia sangatlah istimewa. Begitu istimewa. Hingga aku rela melakukan apa saja untuk menemukan titik lemahnya. O tidak! Aku gagal, gagal menemukannya! Sudah 16 tahun kami mengayuh sauh. Satu putra dan satu putri mengawaki bahtera kami. Sungguh, aku tak pernah melihatnya menangis serupa tadi. Ia memelukku lama sekali di pelataran bandara. Aku tahu, ia baru akan melepas pelukannya ketika yakin bahwa air matanya tak lagi membekas di kantung matanya. Namun, ketika kami saling merenggangkan pelukan, ia tak dapat menyembunyikannya. Ya, walaupun ia seri-serikan wajah, tapi itu tak cukup berhasil menutupi sembab matanya. Pula, aku sangat yakin, ketika aku telah berada 11.000 kaki di atas tanah, ia masih menengadah. Dengan tangan yang melambai tak rela. Dengan air mata yang tumpah ruah.
***
Mungkin, Papa pikir aku tak pernah mendapatinya memukul Mama hingga terjerengkang di suatu malam. Sebenarnya, tak ada niat sedikitpun untuk menguping apalagi sampai mengintip pertikaian mereka. Namun, suara mereka terlampau keras. Mungkin mereka kira aku sudah tidur sejak pukul 8. Mereka tak tahu bahwa aku baru saja mengerjakan PR pukul 11.30 malam. Setengah jam sebelum aku menyaksikan semuanya. Pun ketika Mama membuat pintu berderit sekitar 15 menit sebelumnya, aku baru saja memeluk guling dengan tampang sok pulas. Padahal, aku hanya ingin Mama mencium keningku sebagaimana sering dia lakukan. Malam itu tidak. Aku pun tak mempermasalahkannya. Mungkin Mama tak mau menganggu tidurku. Mungkin ia tahu bahwa aku terlampau lelah dengan PR-PR. Mungkin.... Ah, yang jelas aku bersyukur bahwa adikku tak tahu semuanya. Bogem mentah Papa yang beberapa kali menghantam wajah, pecutan ikat-pinggang kulit yang beberapa kali mampir di pinggang dan bahu, bahkan tendangan yang aku yakin membuat perut senak, adalah hal yang tak pernah kubayangkan akan diterima Mama. Apa Papa tak tahu bahwa aku anak kelas satu SMA?
***
Pagi itu, Mama tak keluar kamar. Aku tak tahu mengapa. Ketika aku hendak ke kamarnya, Papa melarangku. Kakak juga melarangku. Mereka jadi aneh pagi itu. Maka, aku hanya melahap roti selai kacang setengahnya (biasanya aku habis sampai dua lapis). Di dalam mobil ke sekolah, aku tak berani menanyakan hal itu pada Kakak. Apalagi pada Papa. Yang kutangkap dari raut muka mereka, ada sesuatu yang tak biasa. Papa seperti orang kesal berpanjangan. Kakak yang cemberut sesekali melirik Papa yang duduk di samping sopir. Wajahnya mirip sekali orang yang menahan marah. Semua makin ganjil ketika sampai di sekolahnya, Kakak tak mencium punggung tangan Papa. Entah mengapa, aku meniru tingkahnya ketika aku telah sampai di SMP. Beberapa kali Papa memanggilku. Namun, aku tak menoleh-noleh. Aku tak mengerti. Aku merasa Papa memang harus dicuekkan pagi itu. Pagi itu saja, pikirku. Namun, ternyata tidak dengan Kakak. Kakak tak pernah salim pada Papa lagi. Aku pernah bertanya pada Kakak tentang itu. Kakak selalu mengatakan bahwa aku masih kelas dua SMP. Masih anak-anak. Nanti aku akan tahu sendiri. Uuuh, selalu begitu.
***
Aku tak mengerti bagaimana cinta ini dapat sebegitu rimbun. Ketika kami satu kelas di SMA dulu, sedikit pun rasa itu tak terpendar. Namun, ketika kami terpisah jauh—sungguh aku tak lagi mengingatnya atau mungkin aku sudah melupakannya, tiba-tiba saja, perasaan ’suka yang ganjil’ lamat-lamat menyusup. Wajahnya, perawakannya, gaya bicaranya, belahan rambutnya... mampu kugambarkan dengan sempurna dalam ingatan. O, sungguh aku tak paham. Akhirnya, aku lelah berselisih dengan perasaan. Maka, aku pun takluk. Aku bagai menyadari sesuatu: Aku adalah wanita yang masih percaya pada Tuhan. Maksudku, kelak, ketentuan-ketentuan-Nyalah yang akan menggiringku ke kehidupan yang sebagaimana mestinya. Jodoh adalah satu dari ketentuan-ketentuan itu. Ketentuan yang penuh rahasia. Rahasia? O maksudku semacam misteri. Misteri? Entahlah, semuanya sumir. Yang kurasai adalah, aku begitu mencintainya, seperti apapun perlakuannya. Desas-desus dari tetangga, kuanggap, tak lebih sebagai rasa iri yang meluap hingga harus dibagi dengan orang lain. Sungguh, aku mencintainya. Sangat mencintainya.
***
Walaupun aku tak dapat menyangkal betapa Papa bukanlah orang yang membuatku (dan adikku) bangga memilikinya, namun aku tak percaya pada pendapat teman-temanku itu (sebagian mereka adalah anak-anak tetangga). Papa suka jalan dengan wanita lain. Dan Mama beberapakali bilang, para tetangga iri pada kami. Aku sempat bertanya apa yang membuat mereka iri. Ketika kusebut beberapa kemungkinan penyebabnya, Mama menggeleng. Bukan karena Papa selingkuh (sambil berseloroh, Mama berkata, siapa yang naksir dengan lelaki jelek berbadan gempal seperti Papa), bukan karena kami sedikit lebih kaya dari mereka, bukan karena Mama adalah wanita cantik yang selalu ramping, bukan karena Papa-Mama memiliki satu arjuna-satu srikandi.... Bukan itu semua, kata Mama. Mereka iri karena Mama memiliki Papa yang begitu Mama cintai; Papa memiliki Mama yang begitu mencintainya. Aku diam. Alangkah beruntungnya Papa. Hingga, sepulang dari bandara dengan wajah yang memarun, Mama langsung menuju kamarnya. Aku tahu, di sana, kasur dan bantal akan basah. Tiba-tiba, aku sangat bersyukur, Papa pergi dari kami. Dari kehidupan kami. Mungkin, inilah sebabnya, perceraian adalah perkara yang dimungkinkan sekaligus dibenci Tuhan.
***
Kata Kakak, aku tak boleh sedih. Bahkan Kakak menyuruhku bersyukur. Aku tak paham. Aku gegas mengetuk keras-keras pintu kamar Mama. Memanggilnya dengan setengah berteriak. Masih setengah daun pintu dikuak, Mama sudah memelukku. Mama menangis. Aku pun menangis. Dari balik pintu yang terbuka sedikit, kulihat Kakak juga menangis. Kakak pun bergabung dengan kami di kamar itu. Kami saling berangkulan. Aku masih tak mengerti. Aku tiba-tiba saja bertanya, mana Papa. Mama memelukku makin erat. Maka, raunganku mengalahkan tangis Mama ketika Kakak bilang Papa pergi selamanya. Mama buru-buru menimpali bahwa Papa bukannya meninggal. Papa bertugas ke luar pulau. Aku tak percaya. Baru ketika Kakak memberikanku pilihan, aku tersadar bahwa Papa lebih baik tak bersama kami. Adik ingin Papa pergi, atau kita punya dua Mama, tanyanya sembari menyeka air mataku.Akan selalu kungiang kata-kata Kakak itu.
***
O, bagaimana mungkin tenung itu tak dapat dicabut?! O, benarkah yang dikatakan lelaki sepuh itu. Tenung adalah jembatan untuk membuat cinta itu tumbuh. Dan istriku, masih katanya, bukan wanita biasa. Cintanya tumbuh tak tergesa-gesa padaku. Akhirnya, cinta itu melingkupi segenap perasaannya, tanpa ada perkara tenung-tenungan itu. Walaupun aku menyangkalnya tadi, namun hati kecilku mengakui betapa cintanya begitu dalam padaku. Sudah beberapa kali kucoba meluruhkannya. Dari main serong, memukulinya bertubi-bertubi, bahkan ketika aku menceraikannya pun, ia masih bilang bahwa ia tetap mencintaiku. Oohhh! Tak tahukah ia bahwa aku hanyalah mantan remaja yang tergila-gila padanya ketika SMA. Dan itu kuluapkan dengan menguna-gunainya. Dan berhasil. Namun, siapa pula yang sudi memiliki istri yang tak pernah marah dan tak pernah menyanggah. O, alangkah hebatnya guna-guna dukun itu. O bukan, alangkah bodohnya aku!!!
”Aku heran, untuk apa kau jauh-jauh terbang ke sini, bukankah kau sudah menceraikannya?” Dukun itu tiba-tiba bertanya.
Aku mengernyitkan dahi.
”Maksudku, kau sudah bisa menikah lagi sekarang,” lanjutnya.
Aku meneguk liur. Kutinggalkan lelaki itu. Sungguh, aku ingin menangis. Aku ingin kembali....
***
Sebuah buku usang terbuka halaman tengahnya. Di sana terbaca sebuah paragraf.
Natnitnole adalah nama bunga yang selalu jatuh berserakan di taman-taman kota Hatna Hatnareb saban pagi. Orang-orang yang lalu lalang di jalan setapak taman, bagai bersicepat menginjaknya. Makin remuk mahkota dan kelopaknya, maka makin menyebarlah bau-bau harum yang bersumber dari kotak sarinya yang pecah.
Makin hancur bunga itu, makin semerbak wanginya.
Makin dibunuh cinta itu, makin hiduplah ia. ***
/Lubuklinggau, 10 s.d. 15 Desember 2009
Sumber: http://www.sriti.com