Cerpen Herman
Dimuat di Kompas
Suatu malam dia datang ke rumahku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai pengelana yang berasal dari jauh. Katanya, ia datang ke kampung kami untuk mengadu nasib sebab di kampungnya dia tidak memiliki apa-apa lagi.
Sebagai orang yang dituakan di kampung, aku menyambutnya dengan sangat baik. Kulayani dia selayaknya tamu yang benar-benar baru tiba dari perjalanan sangat jauh. Bincang-bincang kami pun mengalir seperti air. Lalu dia minta aku bercerita. Cerita tentang apa saja, katanya. Tentang kampung ini juga boleh, pintanya.
Aku pun mulai bercerita tentang sejarah kampungku apa adanya, seperti yang kudapat dari kakekku semasa hidupnya dulu. Kulihat dia sangat menyimak ceritaku.
Esok malam dia kembali datang ke rumahku dan meminta aku bercerita. Kali ini aku bercerita tentang yang lain pula. Aku bercerita tentang hikayat-hikayat yang kuperoleh dari kakek dan nenekku. Dia juga kulihat mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ketika ada satu alur saja yang kurang dipahaminya, dia langsung menyela dan aku menjelaskannya.
Begitulah saban malam. Katanya, dia belum bisa tidur sebelum mendengar aku bercerita. Akhirnya, kuajak dia untuk tinggal bersamaku, di rumahku.
Saban malam aku bercerita padanya. Semua hikayat yang pernah kudengar dari kakek dan nenek kukisahkan kembali kepada lelaki itu, tetapi aku tak pernah mendengar cerita dari dia, siapa dia, dari mana asalnya, apa pekerjaannya, dan mau apa dia sebenarnya, aku tak pernah diberi tahu. Ingin sekali aku mendengar cerita dari dia, tetapi dia tak pernah di rumah kala siang hari. Sedangkan malam, aku sudah berjanji kalau aku yang bercerita.
Suatu malam aku berhenti bercerita. Aku minta dia yang bercerita kepadaku. “Aku tidak minta kamu membawa hikayat, aku hanya minta kamu menceritakan siapa dirimu dan dari mana sesungguhnya kamu,” ujarku malam itu. Lelaki itu hanya diam. Kulihat dia menundukkan kepalanya. Hatiku luruh dan akhirnya aku kembali menceritakan sebuah hikayat lagi kepadanya.
Suatu hari aku jatuh sakit. Aku tak sanggup lagi bercerita. Beberapa malam sudah lewat, aku belum sanggup juga bercerita. Lelaki itu pun tak lagi pulang ke rumah. Hingga beberapa malam berikutnya dia juga tak pulang, sedangkan sakitku terasa semakin parah.
Sudah lima hari aku tak keluar ke meunasah. Sebagai orang tua yang dipercayakan mengurus meunasah, seharusnya aku beritahukan kepada Pak Lurah atau pengurus lain. Suatu malam Pak Lurah datang ke rumahku. Semula Pak Lurah mengira aku tak mau lagi mengurusmeunasah karena sudah ada yang mencari rezeki sehingga lupa terhadap meunasah. Tentu saja aku terkejut dan sangat malu mendengarnya.
“Apa maksud, Pak Lurah?” tanyaku.
“Maaf, saya lihat lelaki yang tinggal bersama Pak Imam sangat rajin menjual obat sambil bercerita di lapangan bola. Banyak orang yang datang mengunjungi dia meskipun hanya sekadar mendengarkan dia bercerita. Tapi obatnya banyak laku, Pak Imam.”
“Jadi dia penjual obat?!” Aku tersentak mendengar cerita Pak Lurah. Kuurut dadaku yang sesak.
Besoknya, Pak Lurah mengajak aku ke puskesmas yang terletak di ujung jalan kampung. Untuk sampai ke puskesmas, kami melewati lapangan bola kaki. Pak Lurah menunjuk lapangan bola itu saat kami melintasinya.
“Di sini biasanya dia menjual obatnya sambil berteriak-teriak menceritakan sesuatu. Ceritanya sangat menarik. Dia juga sangat hafal segala cerita seluk-beluk kampung kita, tentang gajah duduk yang menjadi kepercayaan orang-orang kampung kita, tentang rencong yang bentuknya seperti basmallah, tentang taman gunongan, dan lain-lainnya. Dia paham dan hafal benar semua itu sehingga orang-orang suka mendengar dia bercerita. Di penghujung ceritanya, dia selalu menawarkan obatnya. Banyak laku obat dagangannya,” ujar Pak Lurah panjang lebar.
Aku diam sambil memerhatikan lapangan bola itu. Sepulangnya dari puskesmas, aku melihat banyak orang berkumpul di lapangan bola tersebut seperti yang dikatakan Pak Lurah.
“Nah, itu pasti dia, lelaki yang tinggal bersama Pak Imam,” ujar Pak Lurah. “Apa Pak Imam tak ingin mendengarkan dia bercerita? Pak Imam pasti suka mendegar ceritanya. Kalau Pak Imam tak keberatan, kita singgah dulu sebentar melihat-lihat,” lanjut Pak Lurah semangat.
Aku dan Pak Lurah mendekati kerumunan orang di lapangan bola. Sebelum sampai di tempat kerumunan itu, aku mendengar seseorang berteriak dengan alat pengeras suara. Suara itu sangat kukenal. Sangat kukenal lagi cerita itu. Itu hikayat Buloh Peurindu yang pernah kuceritakan kepada seorang lelaki, malam Minggu lalu.
Pak Lurah menarik tanganku agar dapat masuk dalam kerumunan orang yang berdesak-desakan. Semula aku tak mau, tetapi Pak Lurah memaksaku. Setelah melewati desakan orang, di tengah lapangan aku melihat seorang lelaki berbadan kurus menggunakan ikat kepala merah melantunkan syair-syair cerita sambil menggenggam pengeras suara. Bajunya berlengan panjang warna putih. Dia juga mengikat kain sarung di pinggangnya sebatas lutut.
Kuperhatikan lelaki itu, pakaiannya persis seperti pakaian Aneuk Meutuah dalam Hikayat Dangderia. Dari mana lelaki ini bisa berpenampilan seperti itu, apakah karena juga dia mendengar ceritaku?
Semua orang terdiam mengangguk-angguk mendengar lelaki itu bercerita, termasuk Pak Lurah. Kulihat Pak Lurah sesekali tersenyum ketika lelaki itu bercerita sambil memperagakan suatu gerakan seperti gerakan tokoh dalam ceritanya.
“Hari ini sampai di sini dulu saya ceritakan tentang Apa Bangai, besok saya sambung kembali. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian? Ini obat bukan sembarang obat. Kalau Apa Bangai sering lupa, lupa bertanya siapa tamunya, di mana tinggalnya, maka dengan saudara-saudara memakai ini obat, akan terjauh dari lupa punya sifat. Kalau kemarin saya jual sampai lima puluh ribu rupiah, ini hari saudara-saudara tak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu. Saudara-saudara tidak punya uang empat lima, tiga puluh, dua lima; ini hari cukup keluarkan dua puluh ribu saja. Silakan ini obat dibawa pulang. Ini hari saya mau bagi-bagi rezeki. Sepuluh pembeli pertama, saya kasih keringanan lima belas ribu saja.”
Lelaki itu berkeliling mendekati para pengunjung sambil membawa sepuluh bungkus obatnya. Akhirnya, dia sampai di tempat aku dan Pak Lurah berdiri. Lelaki itu menatapku. Lama dia memandangku, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Lalu dia berkata, “Pak Imam sudah sembuh?”
Aku tak menjawab pertanyaannya, kecuali diam. Aku terus menatap matanya sampai akhirnya dia tak tahan kupandang. Lelaki itu kembali ke tempatnya semula, tempat barang-barang dagangannya.
“Hari ini saya cukupkan sampai di sini dulu,” ujar lelaki itu sambil mengemasi barang-barangnya. Satu per satu pengunjung pun meninggalkan tempat itu. Kuajak Pak Lurah segera pulang. Aku tak mau lagi melihat lelaki itu. Dia sudah mencuri hikayatku, pikirku.
Seminggu sudah berjalan sejak hari itu, tak kulihat lagi lelaki itu menjual obat di lapangan bola. Ke mana dia pergi, aku juga tak tahu. Aku pun tak mau lagi memikirkannya. Hatiku mulai tenang tak mendengar dan tak melihat dia. Tetapi, suatu hari di balai rapat kecamatan, ketika menghadiri musyawarah kecamatan, aku melihat seorang lelaki membawa Hikayat Bayan Budiman. Lelaki itu hadir untuk menghibur para peserta musyawarah.
Kepalaku langsung pening. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata dan sajak yang dibawakan orang itu. Mataku menatap tajam ke arah panggung kecil dalam balai rapat kecamatan. Di sana seorang lelaki kurus mengenakan pakaian mirip Aneuk Meutuah dalam Hikayat Dangderia sedang melantunkan Hikayat Bayan Budiman dengan syahdunya.
Beberapa minggu kemudian, lelaki kurus yang pernah tinggal bersamaku dua bulan yang lalu jadi terkenal di kotaku. Dalam setiap acara, baik di kampung maupun kecamatan, dia selalu hadir sebagai pembawa hikayat. Semua hikayat yang pernah kuceritakan padanya dijadikan sebagai pencari rezeki dan nama. Kini dia semakin terkenal, bahkan sampai ke ibu kota provinsi. Oh, lelaki itu telah mencuri hikayatku dan menjadi orang yang sangat terkenal. Sementara aku semakin tua. ***
Koeta Radja, 2007-2010
Sumber: http://www.sriti.com