Cerpen Sayuri Yosiana
Aku terkantuk-kantuk disudut bangku stasiun tua. Disebuah kota kecil yang kuno. Kota lama di perbatasan ibukota. Senyumku lama menghilang. Betapa tidak? Nyaris dua jam aku menanti kereta terakhir tiba. Lelah setelah seharian membantu keluarga sahabatku yang mengadakan pesta tunangan dengan kekasihnya. Berkali-kali mataku melirik jam tangan.
Hatiku lelah sudah. Jadwal kereta api negeri ini sudah kadung semrawut. Masyarakat hanya mampu menggerutu untuk setiap keterlambatan datang dan perginya kereta. Tak mampu berbuat lain. Para pejabat berwenang agaknya sudah lama terkena penyakit tuli. Hingga suara masyarakat pemakai jasa setia kereta apipun tak lagi terdengar. Aku menghela nafas berkali-kali. Malam makin larut. Sudah jam sembilan ! Astaga, aku nyaris berdiri saking kagetnya. Mundar mandir tak karuan. Baru kusadari sekelilingku mulai sepi. Beberapa orang yang tadi tampak masih menunggu sepertiku, entah kemana perginya. Mungkin mereka pulang lagi. Atau ke kamar kecil. Penjaja makanan juga sudah sejam lalu membereskan dagangannya dan kembali pulang. Berarti sekarang tinggal aku sendirian di stasiun kecil ini.
Aku menoleh berkeliling. Sepi. Tiba-tiba dari arah belakang ada suara serak menegur. Membuatku nyaris terperanjat. Lho, tadi tak ada siapa-siapa? Seorang kakek berseragam pegawai kereta api tersenyum seraya mengepulkan asap rokoknya. Perlahan menghampiriku. Matanya menyipit memperhatikanku. Aku samasekali tak gugup, meski sempat kaget tadi. Dia tersenyum menganggukan kepala.
“Masih bertahan menunggu keretanya, mba?” tanyanya dengan suara serak yang lembut. Aku tersenyum. “Ya, pak. Soalnya cuma naik kereta saya bisa sampai dengan cepat kerumah. Kendaraan umum malam begini sudah jarang. Dan kurang aman” jawabku. Dia mengaggukan kepala. Lalu memandang jauh kearah lajur datangnya kereta. Pandangannya tampak menerawang jauh. Sejauh pandangannya. Wajahnya tampak pias. Terbatuk kecil di berkata lagi.
”Mba, mungkin sebentar lagi kereta terakhir akan tiba. Tenang saja. Pasti mba akan segera sampai kerumah dengan selamat. Kereta terakhir ini sudah lama tak beroperasi. Tapi kecepatannya tak kalah dengan yang biasa beroperasi”
Aku merasa heran. Memang kereta seperti apa yang akan membawaku pulang ini? Apa bukan yang biasa?
Seolah mengerti isi benakku, si petugas stasiun ini tertawa kecil. ” Keterlambatan ini memang karena kereta terakhir biasa ada sedikit masalah, mba. Jadi kami sedang mencoba mengoperasikan kembali yang lama. Tak perlu banyak tanya, mba. Naik saja dengan nyaman. Dan selamat berkumpul kembali dengan keluarga”, jelasnya sambil melengos pergi. Aku hanya menganggukan kepala. Lalu menatap kepergiannya sampai membelok kepintu samping.
Kini aku benar-benar sendiri. Menunggu kereta terakhirku. Mata yang kantuk kucoba menahannya sekuat mungkin. Aku berjalan mundar mandir. Beberapa saat kemudian telingaku seperti mendengar peluit dikejauhan.
Peluit? Tak sempat berfikir lebih jauh, buru-buru kukemasi barangku yang terdiri dari ransel, payung dan jacket malam serta topi pet pemberian abangku. Benar saja, dikejauhan tampak sebuah sosok hitam muncul. Derunya menggetarkan jantung. Rel-rel kereta didepanku seolah bersiap-siap untuk menyambut kereta yang sempat membuatku marah karena keterlambatannya yang tak kira-kira ini. Meskipun tentu saja bukan keretanya yang salah. Tapi faktor human errornya. Aku merasa sedikit aneh. Kereta yang pelan-pelan tiba dihadapanku ini agak lain dari yang lain. Tampak berkilau. Seluruhnya berwarna hitam berkilau. Baru kali ini kulihat dengan jelas sosoknya. Tampak seperti sepur jaman dulu kala.
Aku ternganga. Ini sih memang sepur jaman kemerdekaan seperti yang sering kubaca dibuku atau kulihat di film-film. Astaga ! Jadi ini kereta terakhirku? Oh no ! tidak. ih serem. Mana mungkin aku mau naik kereta jaman silam ini. Tak berlampu pula. Masinisnya mana? Penumpangnya? Astaga. jangan-jangan cuma aku sendiri. Aku melangkah mundur menjauhi keretaku. Kereta itu tampak anggun menunggu. Aku masih ternganga memperhatikan benda hitam didepanku ini. Naik tidak, naik tidak? batinku bertanya ragu. Akhirnya aku berlari kecil menuju pintu samping. Barangkali petugas kereta itu masih ada. Aku akan minta pendapatnya. Tapi pintu itu telah terkunci. Aku sedikit panik. Tak lagi bisa keluar dari stasiun ini. Sungguh aneh. Menurut beberapa petugas stasiun yang biasa aku temui, biasanya sepi atau ramainya penumpang terakhir, pintu gerbang samping stasiun tak pernah dikunci. Tetap dibiarkan terbuka. Karena memang tak ada kuncinya, alias sudah lama tak pernah dikunci. Entahlah..aku merasa sedikit merinding.
Kereta itu tampaknya akan segera meninggalkanku. Aku bingung. Kalau tak naik berarti aku akan disini sampai pagi. Kalau ada orang jahat bagaimana? Aku jadi gelisah. Akhirnya dengan berdoa aku naiki sepur aneh itu. Sedikit kaget karena dipintu kereta ternyata ada petugas berdiri tersenyum. Astaga, nyaris jantungku copot. Aku tak membalas senyumnya. Hanya memberikan karcis kereta tanpa sadar meski dia tak menagihnya. Wong aku baru naik. Tapi aku sudah tak sabar lagi ingin cepat agar kereta ini berangkat. Digerbong yang kumasuki, ternyata ada beberapa orang tampak tertidur. Pakaian mereka tampak lusuh. Aku menarik nafas lega. Setidaknya aku tidak sendirian di gerbong aneh ini. Tak ada lampu, Hanya pelita kecil berkelip-kelip disudut gerbong. Aneh ! benar-benar seperti kembali keabad lalu. Sempat terfikir aku setengah memasuki lorong waktu. Kutepis pikiran gila itu. Lelah membuat fikiranku mulai tak waras agaknya.
Kuletakkan ranselku didekat kaki. Lalu kusandarkan kepala dikaca jendela. Memandang keluar. Ke peron yang sepi. Kereta mulai berjalan perlahan. Tiba-tiba aku melihat si kakek petugas stasiun nampak duduk di bangku ujung dekat pintu samping tempat dia menghilang tadi. Kami saling tatap. Kulihat dia melambaikan tangannya dan mengacungkan jempol sambil tersenyum. Aku hanya mampu terpana sambil terus memandangnya semakin menjauh. Aku merasa benar-benar aneh malam ini. Halusinasikah? Baru kusadari sepertinya aku memang belum pernah melihat petugas itu sebelumnya. Siapa dia? petugas barukah? entahlah, aku mulai didera lagi kantuk yang tadi sempat menyerangku berkali-kali. Rasanya aku mulai tertidur.
Aku terbangun karena pundakku serasa didorong-dorong. Aku mengerjapkan mata dan terduduk. Kulihat petugas kereta tersenyum padaku. “Sebentar lagi sampai, mba. Siap-siap ya. Jangan ada yang ketinggalan” bisiknya perlahan. Kuucapkan terimakasih. Ah, rasanya baru saja aku tertidur sebentar, tahu-tahu sudah sampai. Diluar tampak lampu-lampu kota.
Keretapun memasuki stasiun kotaku. Suasana stasiun sama sepinya malam ini. Yah tentu saja, jam segini siapa pula yang akan naik kereta? batinku kesal. Seharusnya aku sudah sampai rumah jam tujuh tadi. Kubersiap turun. Sempat kulirik arah kursi yang selagi aku naik, masih ada penumpangnya. Tapi kursi itu kosong. Tak ada penumpangnya yang terdiri dari seorang ibu tua, seorang anak kecil dan seorang gadis muda. Kemana mereka? Sudah lebih dulu turunkah? Ah, masa bodolah.
Di pintu kereta sempat kutanyakan pada petugas. Kemana penumpang-penumpang yang tadi satu gerbong bersamaku.
Petugas itu tersenyum. “Mereka tidak turun kemanapun , mba. Mereka adalah penumpang abadi kami. Seperti juga saya petugas abadi kereta ini sejak lama. Hanya dikereta ini kami bertugas dan berjaga. Dan menjemput penumpang yang kemalaman, tapi masih setia menunggu kehadiran kami untuk membawa kembali kekeluarganya”.
Mendengar penjelasannya, aku seperti merasakan ada sesuatu yang tak beres. Tapi logikaku lebih mendominasi.
“Apa mereka keluarga bapak, atau masinisnya?” tanyaku iseng. Dia cuma tertawa.
“Mereka dan saya adalah petugas khusus yang mengurusi kereta ini bagi penumpang yang sabar menunggu hingga larut. Penumpang seperti itu adalah bagian kami. ” ujarnya tersenyum. Mengulangi lagi penjelasannya.
Aku masih tak memahami. Tapi petugas itu segera mendorongku keluar. Aku nyarus terjungkal. Baru saja kakiku menginjak lantai peron, aku terkejut setengah mati karena kereta tiba-tiba langsung berangkat dengan kecepatan tinggi. Nyaris terbang. Aku menjerit kecil. Jantungku rasa lepas. Kakiku lemas tak terkira. Aku terduduk di lantai peron. Tak mampu berdiri. Rasanya ingin berteriak. Tapi mulutku terkunci. Semakin terkejut karena tanganku seolah ada yang menarik untuk berdiri. Aku melongo, ternyata abangku yang tampak pias . Aku amat lega. Aduh aku ketakutan sekali tadi melihat kereta ajaib itu kabur begitu saja. Serasa mimpi rasanya. Abangku tak mengatakan sepatah katapun sementara aku bercerita. Membimbingku berjalan melewati lorong stasiun hingga pintu keluar. Kotaku selalu ramai duapuluhempat jam. Masih banyak orang nongkrong-nongkrong di warung kopi sekitar stasiun.
Abangku hanya bertanya apa aku baik-baik saja? Aku menganggukan kepala. Tenggorokanku rasa kering. Abangku pergi kesebuah warung dan membelikanku minuman dingin. Tenggorokanku terasa lega.
“Aku tak bisa mengantarmu sampai rumah, karena aku mau kerumah bude. Numpang nginap karena besok ada ujian skripsi. Aku takut kesiangan. Jadi kau pulang sendiri ya. Dekat ini kan?” kata abangku seraya memberiku ongkos pulang. Aku jadi kesal. Kok sempat-sempatnya menjemputku, tapi tak mau mengantarku pulang sekalian? protesku.
“Dari tadi aku menunggumu. Ternyata keretamu telat ya. Aku sungguh harus segera pergi. Itu ada angkot. Cepatlah naik.” Badanku didorongnya masuk angkot tanpa mau mendengarkan penjelasanku. Abangku melambaikan tangan saat angkot berangkat.
Lima menit kemudian, aku sudah sampai halaman rumah. Ayah ibuku sudah duduk diteras depan. Mereka segera menyambutku dan sibuk bertanya mengapa aku begitu terlambat. Aku jelaskan sambil berjalan masuk rumah. Sempat kulihat wajah kedua orangtuaku pias. Lalu saling lirik satu sama lain. Aku merasa konyol telah menceritakan semua pengalaman anehku distasiun malam ini. Tapi orangtuaku tak bertanya lagi. Mereka menyuruhku segera mandi dan istirahat. Aku merasa kebetulan tak lagi ditanya-tanya. Segera kuganti baju tanpa istirahat lagi, mandi dan berganti pakaian. Duduk dikamar sendiri, merenungi pengalaman tadi. Entah kenapa perasaanku menjadi tak enak hati. Aku merasa tak percaya seperti yang kulihat diwajah orangtuaku tadi. Setelah mandi fikiranku agak segar. Namun aku sempat merinding dan tak percaya bahwa yang kunaiki tadi adalah sebuah sepur jaman dulu. Masa kereta seperti itu masih beroperasi sih di jalur kereta ibukota?
Aku keluar kamar dan menghampiri kedua orangtuaku yang sedang asyik nonton tivi. Ibuku bertanya apa aku baik-baik saja. Aku hanya mengangguk lalu mulai bertanya tentang pengalamanku yang aneh itu. Apakah aku memang tidak sedang bermimpi? Ayah menepuk pundakku. Lalu berdehem. ” Sepertinya kau termasuk salah satu orang dikota ini yang akhirnya terpilih untuk ikut menikmati kereta hantu itu, nak”, jawab ayahku tenang. Tapi aku melotot mendengar jawabannya. Kereta hantu? Mana mungkin aku bisa naik kereta hantu? Itukan hanya cerita karangan masyarakat saja yang pernah aku dengar sebelumnya.
Ayah melanjutkan. ” Dulu Erry abangmu juga sempat mengalaminya. Itu saat dia masih SMA loh. Maka sekarang dia faham apa yang terjadi padamu. Tak mungkin kau naik kendaraan umum setelah lewat jam delapan belum pulang. Pasti kau nekad menunggu kereta. Maka dia mungin berinisiatif menjemputmu. Mengingat pengalamannya dulu, mungkin dia takut kereta hantu itu akan menjemput adiknya pula. Dan ternyata perasaannya tepat, bukan?
“Tapi dia mengatakan akan kerumah bude yah. Jadi aku disuruh pulang sendiri.” gerutuku.
”Ya, memang. sekalian jalan , jawab ayah santai. Ibu tertawa. Yang penting kau selamat nak. Lain kali jangan terlalu larut pulang. Terutama penggemar kereta sepertimu. Ingat nak, kereta terakhir itu sudah jadi legenda dikotanya sebagai pengantar terakhir orang-orang yang kepulangan malam. Tanya saja abangmu nanti kalau dia sudah pulang.”
“Ah, kereta itu bukan kereta hantu, ayah. Petugasnya sendiri yang cerita padaku bahwa itu kereta sengaja dioperasikan karena kereta lainnya sudah tidur semua malam ini”, jawabku mangkel. Ibu cekikikan sambil mengelus tanganku. Ayah tetap tenang dengan cerutunya.”
Petugas yang kau temui sudah almarhum, nak. Itulah mengapa dia masih ada disekitar situ malam begini. Percayalah nak, hal-hal seperti ini bukan yang pertamakalinya. Hanya saja kau terlalu percaya diri. Terlalu asyik dengan duniamu yang realistis. Tak mampu menangkap pesan alam yang disampaikan udara malam”, jelas ayahku membuatku makin keki. Ah, ayah dari dulu kebanyakan berkhayal. Hingga lebih sering menakut-nakuti anaknya yang mencoba berfikir secara logika. Ayah adalah seorang dalang yang juga penyair setingkat kecamatan.
Sedangkan ibuku sinden terkenal dikota kelahirannya dulu. Namun aku tak ingin ikut pola pikir mereka yang suka menghubungkan segala sesuatunya dengan hal-hal yang diluar nalar. Aku bergegas masuk kamar setelah pamit pada kedua orangtuaku.
Diranjang, aku berfikir keras. Benarkah pengalamanku ini, ya Gusti? Ah, baru kali ini aku tak sabar menunggu kepulangan abangku. Selama ini aku tak pernah menggubris cerita tentang kereta hantu yang konyol itu. Padahal sudah lama terdengar dari mulut kemulut. Termasuk kisah abangku yang sebenarnya justru tak pernah diceritakannya padaku. Aku justru baru tahu dari penuturan ayah tadi. Lalu aku terkenang kembali tentang petugas yang datang dan pergi tanpa jejak itu. Tentang pintu gerbang yang tiba-tiba terkunci. Hingga aku tak bisa melarikan diri keluar stasiun saat takut melihat bentuk kereta yang akan membawaku pulang. Aku tersentak. Ya, kereta itu memang layak diberi julukan kereta hantu karena aneh bentuknya, dan tiba-tiba pergi dengan kecepatan tinggi begitu saja setelah mengantarku. Juga penumpang dan petugas kereta dengan ceritanya yang mendirikan bulu romaku sekarang. Mereka adalah penumpang dan petugas abadi? Astaga, berarti mereka juga hantu dong. Aku tiba-tiba merasa merinding juga malu sendiri karena merasa logikaku mulai goyah. Setelah kurangkai-rangkai kejadian di stasiun tadi, rasanya aku mulai mempercayai apa kata ayah. Yang kunaiki kereta hantu! Aku mengkerukan kening tak habis fikir. Soalnya semua tampak begitu nyata, terlepas dari yang aneh-anehnya tadi.
Jadi malam ini aku telah menaiki kereta hantu, dengan penumpang hantu dan petugas hantu? Kecuali aku sendiri yang manusia?. Aku masih tak mampu percaya. Namun toh sejak saat itu aku nyaris tak pernah pulang malam dengan kereta lagi. Cukup naik kendaraan umum saja. Naik kereta hanya kalau hari masih siang atau sorei. Good bye kereta hantuku. Good bye Sepur jadulku! Semoga itu benar-benar kereta hantu terakhirku.
----
Terinspirasi dari kisah legenda kereta hantu Jakarta-Depok
TENTANG PENLIS :
Sayuri Yosiana lahir dan besar di Jakarta. Hobi membaca, menulis, fotografi dan travelling. Menyukai dunia seni, sejarah dan heritage. Bersama rekannya mendirikan dan mengelola situs kesehatan holistik kabarsehat.com. Saat ini masih aktif menulis dan menerima jasa pengeditan dan pengembangan tulisan untuk naskah-naskah ringan. Dapat dihubungi melalui kontak email sy@sayuriyosiana.om
Sumber: http://oase.kompas.com