Agama Lahir untuk Mencerahkan

Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*

Judul buku : Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of Indonesian Fiqh
Penulis : Yudian Wahyudi
Penerbit : Pesantren Nawesea Press Yogyakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 130 halaman

Ada kisah klasik yang sangat inspiratif dalam sejarah Islam (history of islam). Saat itu, Nabi Muhammad sudah berada di Madinah. Kekuasaan Islam saat itu telah menjangkau sebagian wilayah Persia dan Romawi. Karena setiap daerah belum mempunyai seorang ulama’ yang mumpuni, maka Nabi Muhammad mengirimkan sahabat seniornya untuk menjadi qodi (pemutus perkara) di setiap daerah yang masih kosong dari ulama’. Salah satu daerah tersebut adalah Yaman.

Sahabat yang mendapatkan tugas menjadi qodhi dan mufti di Yaman adalah Mu’adz ibn Jabal. Ketika hendak berangkat ke Yaman, Nabi bertanya kepada Mu’adz ihwal apa yang dilakukan ketika tidak mendapatkan jawaban suatu soal dari Al-Quran dan Sunnah. Mua’dz saat itu menjawab akan melakukan ijtihad dengan ra’yu (rasio). Mendengar jawaban tersebut, Nabi Muhammad kemudian menepuk punggung Mua’dz. Sebuah tanda bahwa jawaban Mu’adz sangat brilian dan direstui oleh Nabi Muhammad.

Walaupun kisah ini ada yang menyangsikan kebenarannya, seperti Ibn Hazm al-Andalusi, tetapi kisah ini menjadi titik pijakan paling legitimatif dalam rumusan ijtihad. Dari kisah inilah para ulama’ kemudian merumuskan teori pengambilan hukum (istinbat al-ahkam) yang bernama ijtihad. Teori ini menempatkan rasio (ra’yu) sebagai titik pijakan kuat dalam menafsirkan wahyu (al-Quran dan Sunnah). Dengan rasio, ijtihad menjadi pintu masuk yang luar biasa dalam menggelorakan semangat ilmiah yang berkembang di dunia Islam.

Dari ijtihad inilah, Islam tidak hanya mampu merumuskan peradaban fiqhnya, tetapi juga mampu membangun peradaban ilmu yang megah, yang menjadi inspirasi kebangkitan kembali (renaissance) Eropa pada abad ke-14. Peradaban ilmu yang dihasilkan Islam menjangkau keilmuan yang sangat luas, mulai ilmu bumi, ilmu astronomi, ilmu kedokteran, filsafat, dan sebagainya. Tokoh-tokoh juga datang, seperti Ibn Sina, Ibn Rusd, Ibn Khuldun, Al-Khawarizmi, Al-farabi, dan sebagainya.

Megahnya peradaban ilmu yang dihasilkan Islam lewat pintu ijtihad inilah yang kaji penulis buku lewat studi biografi tokoh bernama M Hasbi As-Siddiqy. Hasbi merupakan tokoh ulama’ kelahiran Aceh yang menulis ratusan buku ihwal keislaman, hukum, dan social. Kontribusi Hasbi dalam Islamic studies di Indonesia sangat luar biasa, khususnya terkait idenya tentang fiqh Indonesia. Hasbi mencoba menjadikan peradaban fiqh bukanlah sebagai produk yang harus diterima apa adanya, karena peradaban fiqh merupakan produk yang dihasilkan oleh ulama’ Timur Tengah. Hasbi ingin mendudukkan peradaban fiqh yang ada di Indonesia sebagai produk yang dihasilkan oleh ulama’ Indonesia sendiri, sehingga fiqh di Indonesia bisa mengetahui dan meneliti secara serius apa yang terjadi dengan fakta permasalahan sesungguhnya yang ada di Indonesia, tidak dibayang-bayangi apa yang terjadi di Timur Tengah sana.

Jalan paling strategis mebangun peradaban fiqh berbasiskan ke-Indonesiaan adalah melalui pintu ijtihad. Sekali lagi, ijtihad merupakan pintu masuk paling teruji dalam sejarah Islam, sehingga menjadikan islam selalu kompatibel dengan arus jaman yang mengitarinya. Dengan kekuatan ijtihad, Hasbi yakin bisa merumuskan peradaban fiqh yang benar-benar sesuai dan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Dengan mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan untuk menggali hukum yang ada dalam nash dengan metodologi tertentu, maka rintangan dan persoalan yang dihadapi bisa terpecahkan dengan pancaran cahaya pemikiran dari al-Quran dan Sunnah.

Ijtihad yang dimaksudkan Hasbi disini adalah ijtihad yang bukan sekedar menggunakan ushul fiqh, qowaid fiqh, ilmu al-Quran, dan tata bahasa (nahwu, sharaf, balagah). Bukan sekedar syarat-syarat itu saja, sebagaimana dijelaskan Imam al-Syafi’i dalam al-Risalah, tetapi juga menggunakan perangkat ilmu modern, semisal sosiologi, antropologi, dan social humaniora lainnya. Tak lain, agar proses ijtihad yang dilakukan bersifat dinamis dan progresif, serta mampu melakukan terobosan pemikiran dalam membangkitkan keilmuan di dalam studi hukum Islam.

Bagi Hasbi, ijtihad-ijtihad baru bagi pengembangan fiqh Indonesia menjadi sangat krusial, karena akan memunculkan gagasan dan gerakan baru dalam sosialisasi fiqh di dunia kontemporer. Bukan sekedar mengembangkan gagasan ihwal ushul fiqh saja, tetapi juga qiwid fiqh, ulumul quran, dan sebagainya. Semua itu harus dikaji lagi lebih serius, sehingga menghasilkan gagasan dan produk baru fiqh yang lebih visioner. Kajian-kajian tersebut harus ditumbuhsuburkan di berbagai pusat kajian keislaman, sehingga mampu menimbulkan efek social, dan pada akhirnya gagasan fiqh Indonesia bisa diterima semua khalayak.

Apa yang dilakukan Hasbi, sebenarnya merupakan bentuk pencerahan yang dilakukan para pemikir Islam. Tak lain pencerahan-pencerahan itu lahir karena hadirnya teori ijtihad yang telah dirumuskan para pemikir Islam awal. Pencerahan yang hadir dalam dunia islam lahir bukan sekedar kerisauan rasio dalam menjawab persoalan. Tetapi juga hadir dengan semangat moralitas teologis yang diamanatkan oleh wahyu. Perpaduan keduanya menghadirkan pencerahan yang semakin mengukuhkan intelektualisme dalam dunia Islam semakin teguh dan kuat.

Pencerahan dalam ijtihad bukan sekedar untuk menunjukkan eksistensi, sebagaimana terjadi di Eropa seperti Rene Descartes dan Immanuel Kant, tetapi juga wujud persembahan eksistensial untuk mewujudkan kemanfaatan sosial. Apapun status intelektual yang digapai tanpa adanya kemanfaatan, dalam konteks Islam, itu hanya menjadi absurditas intelektual yang uang, tak bermakna. Ijtihad adalah jalan pencerahan sekaligus jalan kemanfaatan.

*Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga.

-

Arsip Blog

Recent Posts