Denpasar - Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan di Pulau Dewata yang digelar sejak tiga dasa warsa lalu, mampu menampilkan beragam ekspresi seni dan budaya hingga mendapat sambutan antusias masyarakat setempat, maupun masyarakat nasional dan internasional.
"PKB dalam perkembangannya, tidak hanya menampilkan seni budaya Bali, namun juga seni dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara," kata Kadek Suartaya, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu (18/5).
Ia menyambut baik, PKB yang kali ini mengusung tema "Citta Wretti Nirodha", yakni pengendalian diri menuju keseimbangan dan keharmonisan, selain melibatkan seniman dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali, juga utusan dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara.
Dengan demikian pengembangan kesenian Bali yang diwarisi masyarakatnya secara turun-temurun terbukti mampu menampung dan menumbuhkan daya cipta para seniman, sekaligus membangkitkan gairah semangat untuk membangun.
Aneka jenis kesenian menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pulau Dewata yang tetap eksis, hidup dan terus berkembang di tengah-tengah kehidupan.
Kandidat doktor program S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu menambahkan, hampir semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan pada agama Hindu yang dianut sebagian besar warga di Pulau Dewata.
Perkembangan berkesenian itu melalui proses panjang, mulai dari dasar-dasar kesenian yang pernah ada pada zaman pra-Hindu hingga masuknya kebudayaan Hindu ke Bali.
Hampir semua jenis kesenian itu dikaitkan dengan berbagai kesusastraan yang menjadi sumber dalam ajaran Hindu. Meskipun dalam perkembangan kesenian Bali sangat menghargai perbedaan dan bisa menerima unsur-unsur luar yang dapat memperkaya khasanah, sehingga menjadi lebih unik dan bermutu.
Oleh sebab itu kesenian Bali sejak dulu mendapat pengaruh dari unsur kebudayaan luar seperti China, Belanda dan Mesir. Perpaduan pengaruh luar itu tetap mencerminkan nuansa seni budaya Bali.
Pengaruh unsur budaya asing seperti dari China misalnya, menurut Suartaya, hingga sekarang tetap melekat pada kesenian arja. Demikian pula pengaruh dari Mesir dan Belanda juga masih tampak jelas dalam seni ukir bangunan tradisional Bali.
Berkat keselektifan dan faktor kehati-hatian para seniman maupun para leluhur, pengaruh luar tersebut tidak bertentangan dengan norma serta estetika seni dan budaya yang dianut masyarakat Bali, ujar Suartaya.
Sumber: www.mediaindonesia.com (19 Mei 2008)