Rembang - Lontong opor ayam telah ada bersama masyarakat Indonesia sejak lama. Tiap daerah menciptakan variasi rasa dan seleranya masing-masing, tak terkecuali lontong tuyuhan, masakan khas Desa Tuyuhan.
Sajian lontong dari desa di Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, ini mirip dengan lontong opor ayam. Bedanya, kuah santan lebih kental dan pedas, menonjolkan perpaduan rasa kemiri dan cabe rawit.
Masakan itu dijumpai hampir di seluruh daerah Rembang. Namun, yang cita rasa dan suasananya khas hanya di Pusat Penjualan Lontong Tuyuhan di Desa Tuyuhan. Disebut lontong tuyuhan karena masakan itu berasal dari Desa Tuyuhan. Konon, resep lontong ini diwariskan turun-temurun para leluhur Desa Tuyuhan.
Penjual lontong tuyuhan yang di kompleks wisata kuliner Pusat Penjualan Lontong Tuyuham adalah Munzeri (51). Dia mengatakan, resep lontong tuyuhan diturunkan kepada kaum perempuan Desa Tuyuhan. Tak heran jika kaum pria hanya tahu cara memasak, tetapi tidak dapat memasaknya. Seolah-olah mereka ditakdirkan untuk menjual saja.
Kekhasan lontong tuyuhan dimulai dari bentuk lontongnya, yaitu berbungkus daun pisang dengan bentuk kerucut segitiga.
Adapun cara memasak opor ayam hampir sama dengan memasak opor ayam umumnya. Bumbu-bumbu yang dibutuhkan pun mirip, antara lain bawang merah, bawang putih, lengkuas, kemiri, ketumbar, kencur, pala, dan kunyit.
Agar mendapatkan kekhasan pada rasa, bumbu itu masih ditambah cabai merah yang ditumis sampai layu dan jahe. Dan rasa pedas ini memang terasa menonjok, berpadu dengan rasa gurih santan kental.
Sebagai peningkat aroma, ditambahkan pula salam dan serai. Masukkan santan encer, garam secukupnya, dan ayam hingga matang. Berikutnya, tuangkan santan kental dan masak sampai mendidih.
"Untuk menambah gurihnya opor ayam, bisa ditambahkan taburan irisan bawang merah goreng," kata Munzeri.
Air Tuyuhan
Hartono (72), warga Desa Sumbergirang, Kecamatan Lasem, mengaku menjadi langganan Munzeri sejak Munzeri berjualan keliling. Selain terkesan dengan bentuk dan kegurihan lontong, ia sangat menyukai rasa daging ayamnya.
"Dagingnya empuk, tidak alot. Jika dipisahkan dari kuah, daging itu tetap gurih karena bumbu-bumbu kuah meresap di dalamnya," ujar Hartono yang datang seminggu tiga kali.
Munzeri menggunakan daging ayam kampung. Setiap hari, ia menghabiskan 10-12 ekor.
Daging itu dimasak berbarengan dengan bumbu-bumbu, termasuk tambahan cabai merah yang ditumis sampai layu. Aroma kuah yang memadukan daun salam dan serai semakin menambah cita rasa lontong tuyuhan.
Menurut Munzeri, generasi ketiga penerus penjual lontong tuyuhan pertama, Mbah Latmin, cita rasa lontong tuyuhan tidak terlepas dari kepercayaan para penjualnya. Mereka meyakini lontong hanya akan terasa enak jika dimasak dengan air Desa Tuyuhan.
Hal itu diperkuat dengan pernyataan sejumlah pelanggan. "Kalau tidak dimasak dengan air Desa Tuyuhan, rasanya lain," kata Ny Barudin (42), pelanggan Munzeri dari Desa Gedungmulyo, Kecamatan Lasem.
Bila kita membeli lontong tuyuhan, penjual biasanya akan menawarkan potongan ayam opor menggunakan istilah yang populer di sana, seperti gending, sempol, mentok, dan rongkong, biasa terlontar dari mulut warga Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Gending merupakan sebutan untuk paha atas ayam, sempol untuk paha bawah, mentok untuk dada, dan rongkong untuk leher. Kata-kata yang terlahir sejak beberapa dekade itu kini digunakan para penjual lontong tuyuhan saat menawarkan potongan ayam dagangannya.
Angkring
Rata-rata para penjual lontong di Pusat Penjualan Lontong Tuyuhan berdagang sejak pukul 12.00 hingga 20.00, khusus warung Lontong Tuyuhan Munzeri tutup pukul 16.00.
Warung milik Munzeri, seperti layaknya rata-rata warung lontong tuyuhan lain, bangkunya berupa dingklik atau kursi panjang terbuat dari kayu dan mejanya pun dari kayu yang bertaplak plastik berornamen bunga.
Tempat meracik lontong berbentuk angkringan pikul dari bambu dan rotan. Hal ini menambah kesan khas lontong tuyuhan.
Sebelum menetap di sana, Munzeri memikul angkringan itu keliling kota Lasem. ”Kalau malam, saya meletakkan lampu teplok. Tak lupa saya membawa kendi air minum untuk pembeli di tepi-tepi jalan. Karena sudah menetap, lampu dan kendi itu tidak saya gunakan lagi,” kata Munzeri yang berjualan lontong tuyuhan sejak 31 tahun lalu.
Sejak 1977 hingga 1990, ia meneruskan tradisi Mbah Latmin menjual lontong keliling kota Lasem. Waktu itu, harga seporsi lontong Rp 50, sekarang Rp 5.000.
Seiring dengan bertambahnya pelanggan dan prakarsa Pemerintah Kabupaten Rembang memusatkan penjualan lontong tuyuhan, Munzeri mulai berjualan menetap. Usia yang mulai senja juga menjadi alasan dia berjualan di Pusat Penjualan Lontong Tuyuhan.
Jangan lupa mampir
Pusat penjualan itu memadukan wisata kuliner dan alam pedesaan. Selain dapat menyantap lontong tuyuhan, pengunjung juga dimanjakan dengan pemandangan desa dan pegunungan Lasem yang tidak banyak tercemar polusi kendaraan.
Lokasi wisata kuliner itu terletak sekitar tiga kilometer dari kota Lasem, kota kecamatan di Kabupaten Rembang. Sesampai di pertigaan kota di kompleks Masjid Agung Lasem, belok ke kanan ke arah selatan menyusuri Jalan Raya Lasem-Pamotan.
Setelah sampai di pertigaan BRI Jolotundo, belok ke kanan ke arah barat menyusuri Jalan Lasem-Sulang. Seusai menempuh jarak sekitar dua kilometer, tengoklah ke kanan jalan. Akan tampak warung-warung permanen yang tertata rapi di sekeliling perkebunan tebu.
Di tempat itu ada dua penjual lontong Tuyuhan yang ternama, yaitu Munzeri dan Sabit. Munzeri adalah penjual terlama di kompleks wisata kuliner itu.
Jadi, bila Anda kebetulan mampir ke Rembang, jangan lupa untuk mampir di sana menikmati lontong tayuhan. Mudah-mudahan Anda akan ketagihan.
Sumber: kompas.co.id (25 Mei 2008)