Manado, Sulawesi Utara - Meskipun tersisih di babak tiga besar, Natasya Klarisa Paruntu (19) tetap bersyukur. Dia masih bisa menyabet gelar Puteri Budaya dan Tradisional Sulawesi Utara (Sulut).
"Memang sedikit ada perasaan kecewa. Tetapi sebenarnya saya bisa masuk enam besar saja sudah bersyukur. Saya tidak menduga. Teman mendorong saya ikut ajang pemilihan ini, untuk meramaikan dan menambah pengalaman," tuturnya.
Setelah menerima gelar Putri Budaya dan Tradisional Sulut itulah, Natasya langsung merasa prihatin atas perkembangan musik kolintang. Mahasiswi Fakultas Bahasa Inggris Universitas Negeri Manado ini melihat generasi muda seperti dirinya kurang tertarik dengan musik tradisional. Anak-anak muda Sulut cenderung menyukai musik-musik pop atau musik dari Barat.
"Musik kolintang lebih banyak dimainkan masyarakat Minahasa. Sementara generasi penerus yang bisa bermain kolintang cuma ada di sanggar-sanggar. Kalau saya diberi kesempatan, saya akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyampaikan pesan kepada kaum muda bahwa budaya dan kesenian tradisional Sulut harus dikembangkan," ujarnya.
Seperti kebanyakan kaum muda Sulut, Natasya terus terang mengaku juga tidak bisa memainkan kolintang. Namun dia yakin, kolintang bukan alat musik yang sulit dimainkan. Jika mau mencoba dan belajar, musik kolintang bisa dimainkan siapa saja.
Mengenai pariwisata Sulut, Natasya mengaku siap mendukung dengan upaya promosi budaya dan tradisi. Apalagi Sulut memiliki banyak objek wisata dan kesenian. Selain Taman Laut Bunaken, keindahan alam Danau Tondano juga menarik wisatawan. Namun gadis kelahiran Tondano 11 November 1988 ini khawatir keindahan danau akan hilang akibat meluasnya tumbuhan eceng gondok.
"Kelemahan saya masih kurang percaya diri. Waktu seleksi wawancara dengan juri, Ibu Kusuma Dewi bertanya ‘where do you learn English?‘. Saya salah tangkap. Saya juga tidak berani mendekat, padahal suara ibu juri kecil sekali," katanya sambil tersenyum malu. [U-5] 3/6/08
Sumber: www.suarapembaruan.com (3 Juni 2008)